Membongkar Praktik Kecurangan di PTS Nakal

BELUM lama ini dunia pendidikan tinggi dihebohkan dengan berita yang beredar. Pasalnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menutup puluhan kampus swasta karena melanggar aturan. Kebijakan tegas tersebut, tentu saja membuat sejumlah PTS yang selama ini merasa aman-aman saja melakukan pelanggaran mulai ketar-ketir terlebih yang masuk dalam radar Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek.

Menurut Plt. Ditjen Diktiristek Kemendibudristek, kampus tersebut telah melakukan berbagai pelanggaran, seperti jual beli ijazah kepada individu yang tidak memenuhi syarat, manipulasi data termasuk penyalahgunaan dana KIP kuliah. Penutupan 23 kampus bermasalah tersebut karena banyaknya aduan dari masyarakat.

“Pelanggaran yang dilakukan di perguruan tinggi, tentu bukan dilakukan orang sembarangan, namun melibatkan orang yang memiliki kekuasaan dan pengaruh,” ungkap mantan operator PDDikti di salah satu PTS yang minta identitasnya dirahasiakan.

Mantan operator tersebut mengaku diberhentikan dari PTS tempatnya bekerja, akibat keberaniannya menentang kebijakan atasannya yang memaksa untuk melakukan pelanggaran, yakni melakukan manipulasi data, dan mengakui mahasiswa yang statusnya sudah dikeluarkan di PTS asal menjadi mahasiswa pindahan. Operator tersebut tidak berani melakukan, karena masuk kategori pelanggaran berat dan berdasarkan data di PDDikti, di samping statusnya sudah dikeluarkan, status perkuliahannya juga non-aktif.

Namun, setelah operator tersebut diberhentikan, mahasiswa bermasalah tersebut justru langsung bisa lulus dengan nilai akal-akalan, karena memang tidak pernah menempuh pendidikan di tempatnya kuliah yang sekarang. Anehnya, ketika kasusnya sedang dibidik Itjen Kemendikbud, data mahasiswa tersebut berubah total. Nilai yang sebelumnya kosong, tiba-tiba terisi. Namun, yang tak bisa diakali adalah input data itu justru dilakukan di semester antara dengan jumlah SKS yang melebihi ketentuan, termasuk ada manipulasi SKS. Misalnya, salah satu mata kuliah sebelumnya 2 SKS, namun diakui 3 SKS. Dalam proses perubahan ini, tentu melibatkan perguruan tinggi lain termasuk lembaga lainnya.

Ia mengaku sering menemukan kasus manipulasi data yang dilakukan oknum pimpinan. Namun, tidak bisa berbuat banyak karena tekanan dari oknum tersebut luar biasa, termasuk membuat skenario busuk agar bisa dikeluarkan dari perguruan tinggi tempatnya bekerja.

Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Lokapalanews.com di sejumlah perguruan tinggi, praktik curang yang dilakukan adalah banyak mahasiswa yang berasal dari lembaga kursus diakui sebagai pindahan, mengakali SKS melalui nilai transfer dengan imbalan tertentu kepada oknum, termasuk memberikan nilai kepada mahasiswa yang sama sekali tidak pernah kuliah. Mahasiswa seperti ini biasanya berasal dari kalangan pejabat, di mana tak pernah kuliah tetapi bisa mendapatkan ijazah.

Informasi yang didapatkan di PTS lain lebih seru lagi. Mereka kebakaran jenggot, karena ada laporan masyarakat terkait dugaan praktik kecurangan. Konon, laporan itu langsung ditindaklanjuti Itjen Kemendikbudristek dengan meminta LLDikti untuk melakukan klarifikasi. Lebih heboh lagi, surat dari Itjen Kemendikbudristek yang bersifat rahasia itu bocor kemana-mana sehingga membuat mereka meradang dan membidik pelaku yang membocorkan surat yang bersifat sangat rahasia tersebut.

Akibat bocornya surat tersebut, sekalipun tidak disebutkan namanya, namun ada dugaan kalau laporan masyarakat itu dibuat oleh orang dalam. Ini sangat fatal, karena terjadi kegaduhan di PTS tersebut. Mereka yang kebakaran jenggot mulai mengusut pelakunya. Status di medsosnya diintai, kesalahannya dicari-cari termasuk kemungkinan dimintai klarifikasi. Sementara mereka yang melakukan praktik kecurangan yang menyebabkan PTS tersebut dalam masalah berat masih aman-aman saja karena tidak ada sanksi tegas yang bisa menimbulkan efek jera.

Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) M. Budi Djatmiko belum lama ini mempertanyakan mekanisme pencabutan izin 23 perguruan tinggi swasta (PTS) yang dilakukan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Ia mengaku tidak dilibatkan dalam penutupan PTS. “Tidak (dilibatkan), kalau dulu kami suka diajak bicara,” katanya, belum lama ini.

Ia menegaskan, jika pelanggaran dilakukan oleh beberapa individu, kata dia, yang mesti ditindak atau ditangkap adalah orangnya bukan menutup kampus. Budi mengatakan pemerintah punya andil dalam pengawasan dan pembinaan sebelum mencabut izin operasional PTS. Selain itu dalam kasus penutupan PTS sekarang, pihak pengelola atau yayasan, tidak ada yang membahasnya dengan Aptisi. “Kalau mereka diam saya tidak tahu sejauh mana kebenarannya,” ujarnya.

Sementara Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Nizam, kementeriannya memastikan agar mahasiswa yang terdampak tak kehilangan haknya. Selain itu, bagi dosen dan tenaga pendidik yang memiliki rekam jejak baik, lanjutnya, akan dipindah ke perguruan tinggi yang sehat. Sedangkan, bagi yang terbukti ikut serta dalam pelanggaran akan diberikan sanksi dan dimasukkan daftar hitam.

Nizam mengatakan, terkait penyelewengan sarana dan prasarana akan diserahkan kepada ketentuan hukum, termasuk hal-hal terindikasi pidana lainnya. “Indikasi pidana akan diproses Inspektorat Jenderal dan Biro Hukum Kemendikbudristek untuk kemudian diserahkan kepada kepolisian maupun kejaksaan,” katanya seperti dilansir dari Antaranews.com.

Nizam mengatakan berdasarkan peraturan maka pemenuhan hak mahasiswa untuk pindah merupakan tanggung jawab badan penyelenggara perguruan tinggi. Kemendikbudristek, kata dia, tetap melindungi, mengadvokasi, dan memfasilitasi, mahasiswa yang terdampak untuk pindah dan mendapatkan haknya.

Nizam menuturkan mahasiswa yang terdampak dapat menghubungi Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) setempat agar dibantu proses pengalihan angka kreditnya.

“Bagi mahasiswa penerima KIP-K maka LLDikti juga membantu memastikan agar mahasiswa yang pindah tidak kehilangan haknya,” ujar Nizam. *