Sengit, Sidang PTUN Atas Batalnya Sertifikat Hak Pakai Pemprov Bali

Gubernur Bali Langgar Pasal 53 UU PTUN, Bisa Dilaporkan ke Presiden

Sidang sengketa tanah di Desa Ungasan, Badung, dalam perkara Nomor 27/G/2023/PTUN.DPS, yang digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar, Selasa (20/2). Dalam sidang tersebut, terungkap bahwa Gubernur Bali melanggar Pasal 53 ayat 1 UU PTUN dalam gugatan tersebut.

Denpasar (Lokapalanews.com) – Sidang sengketa tanah di Desa Ungasan, Badung, dalam perkara Nomor 27/G/2023/PTUN.DPS, Selasa (20/2), di Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar, berlangsung sengit. Terungkap, bahwa Gubernur Bali melanggar Pasal 53 ayat 1 UU PTUN dalam gugatan tersebut.

Pasal 53 tersebut berbunyi: (1) Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi.

Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 53 diterangkan: Ayat (1) : Sesuai dengan ketentuan Pasal I angka 4, maka hanya orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai objek hukum saja yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.

Dalam perkara Nomor 27/G/2023/PTUN.DPS tersebut, Gubernur Bali menggugat Kakanwil BPN Provinsi Bali karena membatalkan dua sertifikat hak pakai Pemprov Bali, yakni SHP No. 121 dan SHP No. 126. Jelas menurut pasal 53 ayat 1 UU PTUN tersebut, Pemerintah Provinsi Bali bukanlah badan hukum perdata, tetapi Lembaga pelayan publik sehingga jadi aneh karena Pemprov menggugat Kakanwil BPN Bali, karena hal itu tidak dibolehkan oleh undang-undang.

‘’Kami agak heran, mengapa Pj. Gubernur Bali sampai menggugat Kanwil BPN Bali. Kok pemerintah menggugat pemerintah, seperti jeruk makan jeruk. Ini tidak saja terasa aneh dan janggal, tapi juga mengundang kecurigaan, ada apa dan siapa dibalik gugatan yang bertentangan dengan undang-undang ini. Setahu saya, ini baru pertama kali terjadi di Indonesia, agar tidak menjadi tradisi buruk dan ditiru oleh gubernur lainnya, maka presiden perlu menaruh perhatian serius dan memberi peringatan yang keras kepada Pj. Gubernur Bali,’’ ujar Putu Wirata.

“Apalagi di balik perkara yang digugat tersebut, ada hak dan nasib Tergugat II Intervensi yang sudah menang di PTUN sampai kasasi dan berkekuatan hukum tetap, telah 24 tahun lebih memperjuangkan haknya, dan belum bisa menikmati haknya secara hakiki. Bagaimana teman-teman kuasa hukum memberi nasihat kepada Pj. Gubernur, kok memaksakan diri mengajukan gugatan yang melanggar pasal 53 UU PTUN ini?’’ ujar Dr. Teguh Samudra dan Putu Wirata, S.H., Kuasa para Tergugat II Intervensi.

Apalagi, dalam persidangan yang berlangsung sengit itu, penggugat dan kuasa hukumnya diduga menggunakan surat-surat palsu. ‘’Untuk menegakkan hukum dan keadilan, siapapun yang terkait dalam membuat maupun menggunakan surat-surat palsu itu, termasuk rekan kuasa hukum, bisa dilaporkan ke polisi,’’ imbuh Putu Wirata.

Semua hal itu terungkap dalam sidang sengketa tanah di Desa Ungasan, Badung, Selasa (20/2), di Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar. Kuasa Penggugat, Pj Gubernur Bali, I Ketut Ngastawa, S.H., dkk yang sedianya menghadirkan 2 orang Saksi tersebut ternyata tidak hadir, sementara Tergugat II Intervensi I Nyoman Mandra, dkk yang dibela oleh Kuasa Hukumnya, Dr. Teguh Samudra, S.H., M.H., dan I Putu Wirata, S.H., menghadirkan 3 orang Saksi, I Wayan Sudirta, SH yang dahulu menjadi Ketua Pansus Konflik Agraria dan SDA DPD RI pada tahun 2013, I Wayan Wandra (Kepala Dusun Bakungsari tahun 1998-2016), dan I Made Suka, warga Ungasan yang bertetangga dengan para Tergugat II Intervensi. Adapun majelis adalah Zubaida Djaiz Baranyanan, S.H., M.H., (Ketua) dan Anggota Simson Seran, SH MH., Dewi Yustitiani, S.H., MKn.

Suka dan Wandra membenarkan, bahwa penggarap tanah negara di Desa Ungasan adalah Tergugat II Intervensi, Nyoman Mandra dkk, yang menggarap sekitar 14 ha tanah negara secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu. Saksi menjelaskan, sekitar tahun 1970-an, disana masih ada yang bertanam padi gage, kedelai, kacang-kacangan, pisang, jati, gamal, silik, beternak sapi, dan diatas Garapan Nyoman Nulung bahkan berdiri Pura Batu Nunggul, tempat bersembahyang keluarga Nulung, guna memohon keselamatan dan berkah dari Hyang Widhi.

‘’Saya tahu, karena bertetangga dengan mereka. Juga sering lewat di sekitar tanah sengketa. Bahwa sekarang tidak ada lagi yang bertanam padi, karena perubahan jaman, banyak yang bekerja di swasta, tapi mereka tetap menggarap sampai sekarang,’’ ujar Made Suka. Ketika ditunjukkan oleh Kuasa Tergugat II Intervensi sejumlah bukti-bukti surat sebagai alas hak para penggarap, Made Suka membenarkan dan mengetahui adanya surat-surat tersebut adalah alas hak untuk menggarap tersebut, yakni Surat Pernyataan Menggarap dari Para Tergugat II Intervensi, serta Surat Keterangan Perbekel Desa Ungasan.

Sementara Saksi Wayan Sudirta membeberkan adanya Kesimpulan Pansus Konflik Agraria dan SDA DPD RI, dimana terungkap bahwa atas obyek sengketa di Ungasan yang notabena tanah negara tersebut, sudah ada putusan PTUN dari tingkat pertama, banding dan kasasi di MA yang memenangkan Para Tergugat II Intervensi, yang mulai berperkara pada tahun 2000. Gugatan di PTUN dilakukan melawan Kantor Pertanahan Kabupaten Badung, yang menolak permohonan sertifikat hak milik, walaupun sudah dilakukan proses dan seluruh persyaratan sudah terpenuhi dalam mengurus permohonan sertifikat hak milik tersebut. Di antara dasar hukum dan alas hak untuk mengajukan permohonan hak milik adalah Surat Pernyataan Menggarap yang disahkan oleh Kepala Dusun Bakungsari Ungasan, Surat Keterangan Perbekel Ungasan tentang penguasaan tanah, Sporadik dari para penggarap, serta Kesimpulan Pansus Konflik Agraria dan SDA DPD RI pada 14 Maret 2013. Dalam kesimpulan Pansus Konflik Agaria ini, disepakati bahwa tanah yang dimohon adalah tanah negara, merujuk pada putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap.

Namun, walaupun sudah memegang putusan PTUN Denpasar sampai kasasi yang memenangkan para Tergugat II Intervensi, juga ada Kesimpulan Pansus DPD RI, justru yang memohon SHP sampai terbitnya SHP No. 121 dan SHP No. 126 adalah Pemprov Bali, yang pada tahun 2015/2016 dijabat oleh Made Mangku Pastika. Sudirta tak segan-segan mengungkap adanya 4 bukti surat yang diduga palsu yang diajukan oleh Kuasa Hukum Pemprov Bali dalam perkara Nomor 27/G/2023/PTUN.Dps tersebut. “Melihat liku-liku perjuangan Nyoman Mandra dkk ini nampak betapa Pemprov Bali berlaku tidak adil, tidak peduli pada hak-hak rakyat, menindas hak-hak rakyat, padahal mereka sudah memegang putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, juga sudah ada rekomendasi Pansus DPD RI. Dimana letak keadilan, dimana letak kepastian hukum? Apalagi, dalam permohonan sampai Pemprov Bali mendapat dua SHP, jelas-jelas ada pejabat yang membuat surat palsu, seperti diungkap Saksi Wayan Sudirta dalam persidangan,’’ imbuh Putu Wirata lagi.

Karena itu, Putu memberikan catatan dan mengingatkan ke sekian kalinya, para Tergugat II Intervensi yang telah puluhan tahun teraniaya dan terhalang memperoleh haknya, khususnya yang membuat dan menggunakan surat palsu dalam perkara ini, bisa dilaporkan ke polisi, agar perjuangan para petani penggarap di Desa Ungasan ini jangan dipermainkan. *r