Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan adalah teknologi yang dapat melakukan hal-hal yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia, seperti berpikir, berkomunikasi dan menyelesaikan masalah. Dengan demikian, kehadiran AI dapat memberikan manfaat besar bagi manusia, masyarakat, dan lingkungan serta membuka peluang baru untuk inovasi dan kolaborasi.
Di tengah meluasnya penggunaan AI, ada kekhawatiran potensi dampak negatif atau bahaya yang tidak diinginkan seperti merusak reputasi dan kredibilitas, serta mengancam keamanan dan kedamaian. Misalnya, wajah dan suara seseorang diolah dengan teknologi AI, sehingga sangat mirip dengan aslinya dan dibuatkan narasi fitnah sesuai keinginan pembuatnya. Hal ini tentu saja akan berdampak fatal. Disinformasi yang disebabkan penyalahgunaan AI dapat memicu konflik di masyarakat. Bahkan, raksasa teknologi Microsoft pun mewanti-wanti potensi bahaya AI, karena penyalahgunaan AI bisa membuat disinformasi merajalela.
Melalui kecanggihan teknologi kecerdasan buatan tersebut, banyak hal bisa dilakukan. Salah satunya dengan menggunakan beberapa kata kunci tertentu, komputer akan bisa menyusun naskah sendiri sesuai kehendak sang pemesan. Komputer juga akan secara otomatis mencari data atau naskah yang dibutuhkan dari berbagai sumber.
Kelebihan lainnya, kecerdasan buatan tersebut juga mampu menduplikasi tokoh atau seseorang dengan wajah yang mirip. Setelah merekam suara tokoh yang diduplikasi, wajah rekaan itu bisa menirukan suara sang tokoh dengan akurasi yang relatif tinggi. Tokoh hasil rekayasa AI itu bisa membuat dia mampu berbicara dengan berbagai bahasa. Intonasi dan logatnya, tidak usah diragukan, nyaris sama dengan bahasa aslinya.
Kehadiran AI memang membawa dilema khususnya bagi insan pers, namun cepat atau lambat dunia jurnalistik akan bisa menerima hal itu sebagai kenyataan yang tak bisa dihindari.
Tak bisa dipungkiri AI mampu meringkas pekerjaan jurnalis dan mempermudah yang rumit menjadi lebih sederhana. Jika dicermati, hakikatnya kehadiran AI merupakan bentuk ”pembunuhan” terhadap banyak sumber daya manusia, mengingat kelahiran AI merupakan upaya para ahli teknologi untuk menciptakan jenis pekerjaan baru. Akan tetapi kenyataan lain memperlihatkan adanya pemangkasan kesempatan kerja, seperti kehadiran presenter artificial intelligence (AI) di salah satu televisi nasional yang menggantikan tugas presenter yang sesungguhnya.
Mencegah penyalahgunaan AI, khususnya dalam dunia jurnalistik adalah kembali ke tujuan dan fungsi jurnalisme itu sendiri, yakni menyediakan informasi untuk kepentingan publik, sehingga publik dapat mengatur dirinya untuk bersikap atau tidak terhadap kebijakan dan lingkungan yang ada. Hal itu akan membuat jurnalisme bisa bersikap adaptif terhadap perkembangan teknologi. Ini artinya, jika memberikan manfaat, pergunakan sebaik mungkin. Namun, jika ada hal-hal yang bisa merugikan atau mengganggu kinerja jurnalistik, sebaiknya dihindari atau ditinggalkan saja.
Seorang jurnalis wajib memastikan akurasi informasi yang dipasok oleh AI. Dengan kata lain, jurnalis harus melakukan verifikasi terhadap semua informasi yang disediakan kecerdasan buatan. Jika informasi yang dipasok oleh AI itu sudah sahih, maka barulah didistribusikan kepada khalayak melalui media massa.
Penggunaan AI maupun ChatGPT (generative pre-training transformer) oleh platform global itu, ternyata juga menimbulkan masalah. Belum lama ini, Media The New York Times menggugat OpenAI dan Microsoft karena pemakaian data-data mereka. Produk yang merupakan karya terbitan teknologi kecerdasan buatan ini dianggap tidak sah lantaran hanya mengambil saja data yang dimiliki oleh media itu. Tindakan itu bisa disebut sebagai sebuah pelanggaran hak cipta oleh platform digital. Microsoft pun mengakui potensi adanya pelanggaran hak cipta dalam produk AI-nya. Ini menyebabkan perusahaan platform global ini membuat pernyataan dan jaminan, jika pelanggan yang memanfaatkan platform AI dan terkena tuntutan hak cipta, maka Microsoft akan mengganti kerugian dan bersedia menanggung biaya hukum yang terkait.
Guna mengatasi masalah hukum dalam pemanfaatan AI, khususnya dalam bidang jurnalistik, penerapan kode etik untuk produk jurnalistik berbasis AI memang harus segera dilakukan. Selama ini KEJ yang disusun pada 14 Maret 2006 memang belum mencakup soal karya jurnalistik yang bahannya diambil dari aplikasi AI. Kalaupun perlu aturan kode etik bagi karya jurnalistik dari AI, maka cukup dengan menambah pasal dan penafsiran KEJ yang telah ada saat ini sehingga KEJ tetap hanya ada satu saja seperti sekarang.
Prinsip yang harus dipegang dalam penggunaan AI di bidang jurnalistik adalah mengedepankan transparansi, baik dalam proses penyusunan informasi maupun penyampaian informasi. Dalam konteks jurnalisme, peraturan AI menekankan pada kerangka pengambilan keputusan yang etis dalam artian media harus mengembangkan dan mengadopsi kerangka pengambilan keputusan etis yang disesuaikan dengan penggunaan AI.
Di samping itu, program literasi media dan informasi penting untuk dilakukan guna membantu individu memahami secara kritis konten yang didorong oleh AI, mengidentifikasi potensi bias, dan membuat keputusan yang tepat.
Meski sampai saat ini belum ada regulasi yang secara khusus mengatur penggunaan AI dalam dunia jurnalisme, namun Kominfo telah mengirim surat edaran kepada media terutama media nasional untuk memiliki pedoman penggunaan AI. Surat edaran tersebut memberikan panduan dari aspek prinsip, pelaksanaan dan mendorong semua memiliki pedoman yang berlaku di dalam organisasi tersebut.
Di samping itu, peran masyarakat juga sangat penting khususnya dalam mewaspadai munculnya konten hoaks yang menggunakan AI. Salah satu cara menangkal sebaran hoaks tersebut adalah menguasai kecakapan berpikir kritis. *