Melawan Lupa Dualisme Kekuasaan Desa di Bali

Oleh I Nengah Merta

Menuturkan kembali satu dari banyak hasil penelitian sejarah, di antaranya (Sudantra, dkk: 2012) yang menceritakan bahwa keberadaan desa di Bali diawali dengan kedatangan seorang Maha Rsi dari India yang bernama Rsi Markandya ke Jawa di bukit Damalung pegunungan Dieng (Jawa Tengah), namun tidak lama kemudian pindah ke daerah Jawa Timur serta membuat pasraman di Gunung Raung (Giri Rawang). Kemudian Rsi melanjutkan perjalanan ke Timur dengan menyeberangi lautan menuju ke suatu pulau (sekarang pulau Bali) dengan disertai sekitar 8.000 orang pengikut. Namun, kedatanganya gagal karena pengikutnya banyak yang mati maupun sakit, sehingga sang Rsi bertolak lagi ke Jawa.

Kemudian untuk yang kedua kalinya beliau datang lagi ke Bali, kedatanganya yang kedua atas petunjuk dari hasil beliau bersemedi dan mendapatkan pawisik bahwa untuk memasuki daerah tersebut(Bali) harus menanam lima macam logam (panca datu) di sekitar bukit Tohlangkir lereng Gunung Agung. Daerah tersebut diberi nama basukian atau sekarang diperkirakan di Besakih.

Beliau membangun sebuah pura yang bernama Pura Penulisan. Dalam perjalanannya beliau kemudian menetap di sebuah tempat yang diberi nama Sarwada (serba ada) sekarang dikenal dengan nama Desa Taro dan di sana beliau membangun sebuah pura yang diberi nama Pura Gunung Raung.

Konon Gunung Raung yang ada di Jawa kelihatan dari sana (Desa Taro). Beliau membangun pasowakan di Desa Puwakan di mana desa tersebut dipimpin oleh seorang Bang Desa atau disebut juga Bendesa. Sedangkan yang berkaitan dengan pertanian disebut subak (pengairan) dipimpin oleh kelian subak (pekaseh) dan pemukimannya disebut pakraman atau banua atau desa.

Dengan demikian, diperkirakan Desa pertama yang ada di Bali adalah Desa Taro. Pada masa itu telah terjadi kekacauan di Bali akibat ulah seorang raja yang bernama Maya Danawa. Semenjak kedatangan Empu Kuturan, maka Maya Danawa dapat dikalahkan namun masih terjadi pertentangan antar-kelompok, sehingga atas inisiatif dari Empu Kuturan, maka dikumpulkanya ke sembilan wedanta (Pasupatya, Bhairawa, Wesnawa, Bodha/sogatha, Rsi, Brahma, Sora, Siwa Sidhanta, Ganapatya) menjadi tiga kelompok yang dilakukan disuatu tempat yang sekarang kita kenal dengan nama Samuan Tiga (rapat tiga kelompok).

Dari ketiga kelompok tersebut dicarilah persamaannya, yang sama-sama percaya adanya Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa). Sehingga dengan demikian disepakati bahwa semua desa mempunyai kahyangan tiga (Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem). Namun ada desa yang tidak mempunyai kahyangan tiga seperti desa tua. Dari pesamuan tersebut ada 5 (lima) kesepakatan yang dicapai yaitu: 1. Percaya akan Tri Murti, 2. Bahwa setiap desa mempunyai Kahyangan Tiga, 3. setiap keluarga mempunyai sanggah/merajan, 4. Setiap desa memiliki tanah desa, 5. Agama yang dianut adalah Agama Ciwa-Budha.

Setelah masuknya pengaruh Majapahit (Gajah Mada) ke Bali, maka untuk mengawasi pelaksanaan pemerintahan di tingkat bawah ditempatkanlah seorang wakil raja di desa (perbekel).
Masuknya wakil raja (Perbekel dan Pungawa) di desa menyebabkan terjadinya dualisme desa di Bali. Desa sebagai desa yang mandiri (otonom) dan desa dalam artian sebagai penyelenggaraan kekuasaan kerajaan. Sampai dengan periode jatuhnya Bali ke tangan Belanda pada tahun 1906 keberadaan masyarakat adat di Bali masih tetap eksis, hanya saja demi kepentingan politik pemerintah Hindia belanda untuk mengatur desa tersebut dengan menempatkan wakil pemerintah untuk dapat mengawasi ataupun menyelenggarakan fungsi pemerintahan.

Adapun langkah yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda ketika itu adalah: 1) Menempatkan perbekel yang diangkat oleh pemerintah; 2) Dibuatkannya batas-batas desa yang jelas; 3). dibangunnya administrasi tingkat desa.

Masuknya pemerintah Hindia Belanda ke Bali rupanya tetap memanfaatkan Perbekel sebagai wakil pemerintah Hindia Belanda untuk membangun lembaga administrasi di tingkat desa, serta membuat desa baru. Kondisi ini memunculkan 2 (dua) kategori desa, yakni desa lama dan desa baru yang keduanya kemudian dikenal dengan sebutan “desa adat” dan “desa dinas” (government desa).

Pemerintah Hindia Belanda memandang kedua desa ini secara terpisah, yang seolah-oleh desa adat tersebut tidak tersentuh atau dipengaruhi oleh pemerintah, melainkan bersifat mandiri dengan hukumnya sendiri.

Ketika peristiwa tersebut dikaitkan dengan apa yang diungkapkan oleh Sudantra, dkk. (2012:12), bahwa penataan desa di Bali telah dilakukan sejak kedatangan kaum penjajah di Bali. “Sejarah pascaperang Puputan Badung dan Puputan Klungkung, pemerintah kolonial Belanda mulai menata desa di Bali. Beberapa desa kecil digabung menjadi satu, sementara desa yang luas dipecah menjadi beberapa desa. Maka akibatnya, terdapat dua jenis desa di Bali, yaitu desa tradisional adalah desa-desa yang ada sebelum penataan dan desa baru bentukan Belanda. Desa tradisional yang telah ada dikenal dengan sebutan desa adat, sedangkan desa baru bentukan belanda dikenal dengan istilah desa dinas. Desa adat mengurus adat Bali dan agama Hindu di wilayahnya, desa dinas mengurus kepentingan pemerintah kolonial Belanda.

Walaupun diyakini bahwa dalam konsep negara kesatuan tidak ada istilah negara di dalam negara, yang artinya semuanya harus seragam sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Semua kewenangan berasal dari pemerintah pusat yang berdasarkan atas asas desentralisasi diserahkan sebagaian urusan pemerinthan kepada pemerintah daerah untuk diatur dan di urus sendiri (otonomi).

Tetapi kenyataannya desa adat kaitannya dengan sistem pemerintahan tetap berada di luar struktur pemerintahan formal sehingga desa adat tidak mempunyai hubungan hierarki dengan pemerintah provinsi, kabupaten maupun kota.

Hal ini secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Menurut pendapat saya yang paling tepat untuk bentuk desa di Bali adalah menempatkan kedua bentuk desa adat dan dinas pada porsi yang sebenarnya sesuai dengan fungsinya masing-masing tanpa adanya intervensi dari kedua belah pihak, walaupun warga masyarakatnya sama yaitu di satu sisi dia sebagai warga masyarakat adat sedangkan disisi lain juga sekaligus sebagai warga masyarakat dinas. Walaupun ada program pemerintah yang dilaksanakan di suatu desa yang melibatkan warga masyarakat ini bukan berarti desa yang satu lebih di atas dari desa yang lainya, melainkan merupakan koordinasi dan partisipasi dari masyarakat adat untuk menunjang program pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara konstitusional keberadaan desa adat masih tetap diakui sepanjang masih ada sebagaimana ketentuan Pasal 18B ayat 2 UUD NRI 1945. Apabila desa adat melebur ke desa dinas diyakini akan menimbulkan permasalahan baru karena akan sulit untuk mengakomodasikan kepentingan-kepentigan masyarakat adat yang telah berlangsung turun-temurun dalam kaitanya dengan fungsi sosial-religius. Dengan demikian kontektasi dualisme kekuasaan desa dinas dan desa adat semakin menguat. *

Penulis adalah Dosen Stispol Wira Bhakti.