Kolom  

Problematika Penanganan Perkara Judol

Oleh Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H.

Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H.

Kasus judi online (judol) memang sangat menarik perhatian masyarakat. Seperti tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Kasus Judi Online: Menunggu Pembuktian terhadap Komitmen Besar Pemerintah”, saya menekankan bahwa kasus judol memiliki sejarah tersendiri di mata masyarakat Indonesia. Selain melibatkan transaksi uang yang fantastis, permasalahan judol juga menimbulkan korban atau permasalahan sosial, serta yang lebih buruk lagi adalah pengendalian bisnis besar dari para pengusaha besar dan tentunya dugaan adanya keterlibatan dari pejabat publik di Indonesia. Dugaan ini tentu bukan tidak beralasaan mengingat bahwa beberapa waktu lalu, Satgas Judol Polda Metro Jaya mengungkap adanya penyalahgunaan oleh pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang berusaha mengambil alih kendali dari ribuan situs yang semestinya diblokir.

Permasalahan ini menandakan bahwa kasus judol adalah kasus besar karena melibatkan uang yang besar dan menggiurkan termasuk mencari keterlibatan pejabat dan pengusaha besar di Indonesia. Data dari Komdigi misalnya menunjukkan bahwa sejauh ini diketahui telah terdapat kurang lebih 8,8 juta pelaku (pendapat Menko Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar). Ditengarai, 80 persen dari jumlah tersebut tergolong menengah ke bawah dan dua persennya adalah pelaku anak di bawah 10 tahun. Lebih miris lagi, banyak pelaku judol yang kini harus menjalani rehabilitas di rumah sakit. Di RSCM misalnya, angka pasien naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Data tersebut menunjukkan permasalahan judol ini merupakan permasalahan yang cukup berat di Indonesia.

Namun belum selesai dengan itu, belakangan ini masyarakat kembali disibukkan dengan kasus judi online yang menyeret pegawai Kementerian Komunikasi dan Digitalisasi (Komdigi). Kasus judi online ini memang menarik perhatian masyarakat karena banyak menimbulkan permasalahan sosial hingga ekonomi dalam masyarakat. Kasus judol di Indonesia ini ditengarai memiliki perputaran hingga Rp 283 triliun (Rp 327 triliun di tahun 2023 dan akumulasi mencapai Rp 517 triliun – data Juli 2024) dan telah menimbulkan banyak korban. Kasus ini sangat menjadi perhatian publik hingga pemerintah membentuk Satuan Tugas khusus untuk memberantas judi online sebagaimana Keppres Nomor 21 Tahun 2024. Alhasil, kini Satgas Judi Online telah mulai mencoba mengungkap kasus yang terorganisir dan melibatkan banyak pihak tersebut.

Apa yang diungkap Polda Metro Jaya untuk mengungkap jaringan judol di Komdigi tersebut memang mengundang banyak perhatian masyarakat. Publik mulai melihat perkembangan positif dari sisi penegakam hukum terhadap judol. Sejauh ini Polda Metro Jaya telah menetapkan 11 orang tersangka. Dengan adanya pengungkapan ini, Menteri Komdigi maupun pihak Polda Metro Jaya berjanji untuk menerapkan keterbukaan informasi terkait permasalahan ini. Para pegawai yang ditetapkan menjadi tersangka ini telah diberhentikan dan saat ini sedang menjalani proses hukum.

Namun begitu, sejumlah kalangan kini mulai menunggu kelanjutan dari penanganan kasus ini. Pihak Polda mengisyaratkan adanya pemeriksaan terhadap sejumlah orang, namun sebagian masyarakat menilai bahwa penanganan tersebut masih lamban dan pihak kepolisian belum merilis nama-nama yang menjadi perluasan dari penanganan kasus tersebut. Sejauh ini, Polda telah menetapkan tersangka lagi, yakni istri dari tersangka A yang merupakan pegawai Komdigi. Perkembangan lanjut dari para terperiksa masih didalami oleh pihak kepolisian. Namun begitu, sebagian kalangan mulai memunculkan kecurigaan publik terhadap penanganan perkara ini. Ada yang menilai bahwa kepolisian belum mampu untuk mempercepat penanganan, dan ada pula yang mencurigai adanya kecenderungan bahwa kepolisian menutup-nutupi atau dengan kata lain adanya kecurigaan penyalahgunaan kewenangan.

Apa yang dapat masyarakat lihat dan pelajari dalam permasalahan ini terdapat setidaknya dua perspektif. Pertama, terkait dengan kemampuan Polri dalam menangani permasalahan judi online ini. Saya menilai bahwa kemampuan Polri tentu bergantung pada sumber daya maupun kompleksitas permasalahan, sebagaimana penanganan sebuah perkara pidana. Polda Metro Jaya saat ini telah bekerja dengan baik, namun tentu memiliki berbagai kendala atau hambatan. Publik atau sebagian kalangan boleh memberikan kritik dan masukan untuk percepatannya, namun tentu hal ini harus memperhatikan prosedur (akuntabilitas) dan prinsip kehati-hatian. Sistem penegakan hukum juga tidak boleh serampangan dan tetap menghormati asas prosedural (due process of law)

Perspektif kedua adalah kecurigaan skeptis bahwa adanya permainan atau penyalahgunaan kewenangan untuk menutup-nutupi beberapa pihak tertentu. Dalam hal ini, bisa jadi ada kecurigaan publik terkait “main mata” atau adanya potensi penyalahgunaan kewenangan. Kepercayaan publik (public trust) terhadap Polri di sini kembali diuji. Sebagian masyarakat mulai berpikir skeptis terhadap penanganan perkara, walaupun mungkin pada kenyataannya memang terdapat sejumlah kendala dalam strategi penegakan hukum untuk mengungkap jaringan judol secara lebih luas. Namun hal ini seharusnya tidak akan menjadi masalah jika terdapat penerapan sebuah transparansi bertanggung jawab. Artinya, adanya keterbukaan, transparansi publik namun tetap memperhatikan koridor aturan dan asas keadilan dan keseimbangan terhadap sistem penegakan hukum (fair trial).

Perlu dikemukakan disini pula bahwa terdapat kesulitan untuk mengungkap kejahatan yang tergolong kejahatan terorganisasi seperti judol. Kita tentu memahami sulitnya menerobos dan mengungkap seluruh keterlibatan dan pengendalian dari para pelaku yang termasuk “otak intelektual”, terutama dalam jaringan kartel dengan kultur yang tertutup dan merugikan banyak orang. Keingina penegak hukum untuk membuat para pelaku mengungkap jaringannya tentu bukan hal yang mudah.

Oleh sebab itu, apapun pemikiran dari sebagian maupun seluruh masyarakat, saya menekankan pentingnya mengedepankan transparansi termasuk kesulitan yang sedang dihadapi. Aparat penegak hukum harus terbuka dan transparan, namun tentu harus memperhatikan hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan seperti perlindungan hukum dan hak privasinya. Media boleh saja melakukan ekspose terhadap seluruh warga dan terutama pejabat publik, tetapi aparat penegak hukum tidak boleh begitu saja sembarangan melakukan eksposur sebuah kasus. Hal ini karena ada kepentingan atau hak hukum yang harus dihormati, apalagi jika menyangkut masa depan seseorang yang tidak bersalah, dimana hukum menjamin prinsip praduga tak bersalah (pressumption of innocence). Kecurigaan mengenai “ketertutupan” ini memang wajar terjadi, namun tidak boleh menegasikan independensi aparat penegak hukum maupun sistem atau badan peradilan. Maka apa yang dapat kita lalukan tentu adalah mengawasi keterbukaan dan transparansinya, tentu dengan prinsip kehati-hatian atau menghormati hak asasi seseorang untuk mendapat perlakuan yang adil dan sama (equality before the law). Indonesia adalah negara hukum.

Saya melihat bahwa apa yang diinginkan publik lebih kepada keterbukaan untuk mengungkap jaringan judi online yang sangat penetratif, menimbulkan adiktif, dan meresahkan masyarakat. Walaupun begitu, kita tetap harus menghormati independensi Polri dan sistem hukum dalam menangani perkara sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Kita tentu berharap yang terbaik dan tercepat, namun juga harus memperhatikan proporsionalitas hak hukum dan asas keadilan. Prinsip kehati-hatian jangan sampai hilang dan dikesampingkan, sehingga justru mengurangi kualitas penanganan perkara itu sendiri. Publik tentu berharap agar seorang pelaku tindak pidana tidak kemudian “terlepas” dari jeratan hukum karena ketidakmampuan atau kecerobohan aparat penegak hukum.

Saya tetap melihat bahwa Komisi III DPR RI dan seluruh pihak terkait tetap harus melakukan pengawasan publik terhadap penanganan kasus judi online. Komisi III DPR RI juga berencana membentuk panitia kerja penegakan hukum yang akan berfokus pada permasalahan seperti judi online. Saya melihat bahwa proses check and balances tetap harus dijalankan untuk meningkatkan responsivitas dan transparansi penegakan hukum. Namun disisi lain, saya tetap mengajak seluruh pihak untuk secara bijaksana menyikapi permasalahan judol ini. Kita harus mempercayakan penanganannya kepada Polri dan seluruh perangkat penegakan hukum dan peradilan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Publik dapat terus memantau dan mengawasi implementasi sistem penegakan hukumnya. Masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam memberi masukan kepada Polri dan sistem peradilan pidana untuk memudahkan dan mempercepat penanganan perkara. Demikian pula dalam hal memberi kepercayaan kepada pemerintah, khususnya Kementerian Komunikasi dan Digitalisasi untuk melakukan perubahan revolusioner dalam rangka bersih-bersih dari pengaruh mafia judol maupun mafia hukum.

*Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan