Institusi Polri selalu mendapat perhatian dari masyarakat luas. Selain karena alokasi anggarannya yang besar, Polri merupakan salah satu lembaga terbesar dan tersebar hingga seluruh wilayah di Indonesia. Hal ini sebenarnya bukanlah hal yang mengagetkan karena Polri memang merupakan institusi besar yang selalu bersentuhan dengan masyarakat. Boleh dibilang bahwa Polri merupakan representasi dari pemerintah, karena tugas, fungsi, dan kewenangannya besar. Selain fungsinya dalam penegakan hukum, Polri memiliki peran yang berhubungan dengan pelindungan, pengayoman, maupun pelayanan publik, di samping memiliki tanggung jawab pemeliharaan keamanan dan ketertiban. Hal ini membuat Polri memiliki jangkauan yang sangat luas dalam kehidupan masyarakat.
Kita dapat melihat begitu besar antusiasme masyarakat ketika berbicara mengenai kepolisian. Di berbagai media massa termasuk media sosial, masyarakat terus menerus memberi sorotan kepada Polri, baik yang berupa apresiasi, kritik, maupun fenomena permasalahan hukum yang terkait dengan tugas dan fungsi Polri. Saya mencatat bahwa terdapat beberapa permasalahan yang menyangkut Polri yang mendapat perhatian besar oleh Komisi III DPR. Dimulai dari penanganan kasus almarhum Afif Maulana di Sumbar dan kasus almarhum Bayu Adhityawan di Polresta Palu yang dihadirkan di forum Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR. Komisi III DPR mencatat juga permasalahan meninggalnya tahanan di Polres Polewali Mandar atau Polresta Banyumas, dan beberapa permasalahan yang viral terkait dengan kriminalitas, pelanggaran lalu lintas, tindak pidana khusus dan sumber daya alam, hingga gangguan Kamtibmas.
Polri kembali mendapat sorotan negatif. Masyarakat kini dihadapkan dengan permasalahan tindakan penembakan yang terjadi di Polres Solok Selatan, Sumatera Barat yang dilakukan oleh seorang Polisi (Kabag Ops) terhadap rekan kerjanya (Kasat Reskrim). Hal ini membuat semua mata tertuju pada permasalahan ini, karena tidak hanya terkait dengan penembakannya yang sudah sangat meresahkan, namun juga karena ini mencerminkan permasalahan dalam internal kepolisian, atau istilah frasa “jeruk makan jeruk”. Selain itu, dalam kasus ini juga diduga disebabkan oleh permasalahan keterlibatan oknum Polri dalam kegiatan tambang ilegal (backing).
Permasalahan yang terjadi di Polres Solok Selatan Sumbar dilansir dari berbagai media, diduga terjadi karena adanya pemeriksaan dari Kasat Reskrim dalam kasus tambang galian C. Kasat Reskrim yang melakukan penangkapan kemudian mendapat telepon dari Kabag Ops dan kemudian didatangi oleh Kabag Ops. Tak lama, setelah keduanya bertemu secara pribadi, terdengar suara tembakan. Para saksi kemudian menemukan Kasat Reskrim tak bergerak dan Kabag Ops meninggalkan tempat kejadian. Alhasil, korban meninggal dunia. Walaupun pelaku kemudian menyerahkan diri, namun tindakan arogansinya mengundang kemarahan publik, terlebih masyarakat melihat bahwa korban meninggal disaat dirinya melakukan kerjanya yakni penegakan hukum. Di berbagai media sosial, masalah ini langsung mengundang komentar negatif dan menurunkan citra Polri. Komisi III DPR merespon dengan akan mengundang Polda Sumatera Barat dan akan mengawasi Polri dalam penanganan kasus ini.
Permasalahan seperti ini bukan pertama kali terjadi dan tentunya wajar jika pasti sering terjadi, walaupun tidak banyak mencuat ke publik. Permasalahan di Solok tersebut mengingatkan kita pada kasus Ferdi Sambo yang menembak ajudannya sendiri. Pembunuhan ini bahkan melibatkan banyak pihak untuk menutup-nutupi pembunuhan yang dilakukan oleh Ferdi Sambo. Bahkan permasalahan ini melebar ke arah “konsorsium 303” (kartel perjudian). Kasus Polisi tembak polisi sebagaimana kasus Sambo juga beberapa kali terjadi hingga mencuat ke publik. Sebut saja seperti kasus di Polsek Sirenja, Donggala pada 2019, peristiwa di Polres Lombok Timur (2021), kasus di Lampung (Polsek Way Pengubuan di tahun 2022)
Kini semua mata menunggu Polri menindak tegas, baik dari sisi penegakan hukum, penanganan pelanggaran etik, maupun hingga langkah strategis Polri untuk mencegah citra dan budaya arogansi dan represif yang sangat melekat pada Aparat Kepolisian. Walaupun selama ini, Polri telah dianggap terbuka dan responsif terhadap penanganan kasusnya, namun kasus ini tetap menyisakan beberapa pekerjaan rumah yang besar bagi Polri untuk mengembalikan citranya kepada publik.
Beberapa hal yang menurut saya perlu untuk menjadi perhatian Polri adalah:
1. Polri harus melakukan penanganan secara transparan dan profesional terhadap kasus ini dengan terbuka seluas-luasnya kepada publik. Kapolri telah menurunkan tim khusus bersama Kabareskrim untuk melakukan investigasi dan penanganan kasus. Meskipun begitu, tim khusus Polri harus terbuka kepada publik dan menyampaikan segala hasilnya kepada publik, karena masyarakat tentu menunggu seluruh hasilnya dan tidak boleh kesan ditutup-tutupi.
2. Polri harus kembali mengevaluasi pemilikan dan penggunaan senjata api, termasuk dalam pengendaliannya. Kini saatnya Polri melakukan bersih-bersih dengan mengevaluasi penggunaan senjata api dan berbagai peralatan lainnya. Saya tentu berpendapat bahwa Polri perlu menyampaikan kepada publik tentang langkah pengendaliannya, dan tidak bisa hanya disampaikan secara normatif. Publik tentu menunggu sebuah kebijakan pengetatan, namun juga langkah konkrit untuk pengendalian dan pengawasannya.
3. Polri harus menjalankan revolusi mental secara nyata dan menyeluruh, bukan hanya menjadi tagline atau kampanye kosong. Hal ini sejalan dengan rekomendasi besar Komisi III DPR RI dalam melakukan reformasi kultur dan struktur yang masih menjadi permasalahan besar di Polri. Beberapa permasalahan internal dan moralitas seperti kasus Solok ini menyebabkan citra Polri yang buruk, erat dengan budaya kekerasan, dan tidak profesional. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Polri untuk mengubah citra buruk dan meraih kredibilitas dan kepuasan masyarakat yang tinggi. Polri perlu berbenah diri melalui profesionalitas, transparansi, dan keterbukaan. Polri harus memperkuat pengawasan terhadap kualitas, integritas, dan akuntabilitas seluruh anggota Polri. Publik menunggu langkah nyata Kepemimpinan Polri untuk memberikan peringatan besar kepada seluruh anggota Polri di seluruh wilayah untuk menaati peraturan perundang-undangan dan menjadi contoh yang baik bagi masyarakat sebagai pengayom masyarakat.
4. Polri harus melakukan re-evaluasi fungsi pengawasan terhadap netralitas dan profesionalitas Polri, terutama keterlibatan Polri di luar tugas dan fungsi utamanya. Keterlibatan Polri dalam berbagai pelanggaran hukum, seperti ilegal mining, penyelundupan, hingga Narkoba dan beberapa tindak pidana lainnya. Istilah “backing” atau bisnis pengamanan ini harus senantiasa dilepaskan dari citra Polri, sehingga terjaga netralitas dan integritasnya (menghindari sejauh mungkin conflict of interest). Pengawasan yang ketat terhadap kepatuhan perundang-undangan dan etik menjadi kunci bagi Kapolri dan seluruh jajarannya dalam meningkatkan integritas dan profesionalisme Polri. Secara tegas, sistem reward and punishment harus dilakukan secara konsisten.
5. Evaluasi juga terhadap fungsi pengamanan terhadap aparat penegak hukum yang sedang menjalankan tugas dan fungsinya. Demikian pula secara seimbang, dibentuk mekanisme yang baik terhadap pelaporan dan pengaduan dari masyarakat. Aparat penegak hukum harus dapat dilindungi dan diperhatikan kesejahteraan dan karirnya, terutama bagi mereka yang sedang melakukan pengamanan atau penegakan hukum/penanganan perkara. Demikian pula, dalam hal adanya anggota yang melaporkan anggota lainnya secara beritikad baik (whistleblowing system) dan menjadi bagian dari profesionalitas Polri.
Masyarakat pada saat ini berada pada era keterbukaan informasi yang menuntut akuntabilitas dan transparansi yang tinggi, terutama bagi institusi negara seperti Polri yang harus menjalankan sistem evaluasi berkelanjutan terhadap sistem pelaksanaan tugas dan fungsi secara komprehensif. Oleh sebab itu, Komisi III DPR selalu mendorong agar pelaksanaan tugas dan fungsi Polri dapat dijalankan secara efektif, seimbang, dan profesional. Hal ini terutama penguatan terhadap sistem intelijen dan pengamanan harkambitmas yang ada pada Polri secara lebih adil dan proporsional dengan ketentuan perundang-undangan. Komisi III DPR telah mendorong penanganan kasus yang seimbang dan menghormati hak asasi manusia. Selanjutnya kini masyarakat dapat menunggu dan mengawasi tindak lanjut dari penanganan kasus di Solok Selatan tersebut dan tentunya ketegasan Polri dalam menjalankan sistem pengawasan melekat pada seluruh tata kelola Sumber Daya Manusia Polri secara terbuka, adil, dan transparan. *
*Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan.