Tanggapan terhadap Pernyataan Presiden Terkait dengan Pengembalian Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi

Oleh Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H.

Masyarakat kembali dikejutkan dengan pernyataan Presiden Prabowo. Setelah menyatakan akan memberikan amnesti terhadap 44.000 narapidana, beliau juga menyampaikan terkait pandangannya terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi. Dalam pernyataannya, Presiden pada prinsipnya menginginkan para koruptor untuk mengembalikan kerugian negara daripada pemidanaan. Alhasil, para koruptor ini terkesan akan dimaafkan atau tidak diproses hukum jika mereka mengembalikan kerugian negara. Pernyataan ini juga dapat dikaitkan dengan rencananya untuk pemberian amnesti terhadap para narapidana, yang salah satunya adalah napi tipikor. Namun seperti apa sebenarnya kondisi yang sedang dihadapi oleh Presiden saat ini terkait dengan program pemberantasan korupsi?

Pertama, dalam pandangan saya penanganan tindak pidana korupsi ini memang terkesan serius dan khusus. Saya setuju bahwa penanganannya membutuhkan cara-cara yang luar biasa, termasuk cara-cara unik dan kreatif. Saya melihat bahwa Pemerintah telah memikirkan berbagai cara untuk penanganan perkara korupsi dan upaya pengembalian kerugian negara atau pemulihan asetnya yang boleh dikatakan sebagai tujuan utama. Maka dari itu saya melihat bahwa kemungkinan besar Pemerintah mulai merasa “frustasi” dan memikirkan alternatif cara untuk menindak para koruptor dan menjamin pengembalian kerugian negara. Saya pribadi menganggap hal itu wajar, karena saya juga melihat bahwa Korupsi ini merupakan salah satu penyakit yang paling kronis di Indonesia. Perkara Narkotika, TPPU, mafia tanah, dan mafia hukum misalnya juga menjadi kejahatan yang kerap terjadi, di mana sama dengan tindak pidana korupsi, kejahatan ini tergolong tindak pidana terorganisasi.

Kedua, jika kita melihat sejarah, perilaku koruptif ini seolah menjadi salah satu “budaya” yang sudah ada sejak lama, masif, dan sistemik. Reformasi 1998 misalnya juga salah satunya disebabkan oleh kroniknya korupsi Pemerintah saat itu yang tergolong Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Seluruh elemen bangsa kemudian menyatakan bahwa KKN ini perlu diberantas secara masif dan telah mengeluarkan berbagai aturan hingga lahirnya KPK. Hadirnya KPK membawa perubahan baru, namun makin kesini justru kejahatan korupsi tidak juga hilang. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena disertai dengan hilangnya keuangan dan aset negara. Bilamana kondisi ini terus menerus terjadi bukan tidak mungkin kita mengarah pada kejatuhan dan resesi ekonomi yang parah. Perekonomian masyarakat akan terdampak dan tentunya mempengaruhi posisi Indonesia dan efek samping lainnya.

Ketiga, korupsi ini juga makin diperparah dengan kondisi bahwa politik dan kekuasaan sangat mempengaruhi. Saat ini misalnya, banyak politisasi penegakan hukum (terutama kasus korupsi) yang mengandung unsur politis. Pameo di masyarakat mengatakan bahwa oposisi akan selalu menjadi pihak yang tidak akan diuntungkan, sebaliknya yang berkuasa akan terkesan “aman”. Kita dapat melihat hal ini nyata terjadi. KPK misalnya melihat bahwa korupsi ini telah merugikan negara dan ikut menyebabkan bengkaknya utang negara. Selain itu, KPK juga melihat banyaknya kebocoran negara di berbagai sektor, termasuk Pemilu dan perizinan yang sangat terkait dengan pengaruh dan kekuasaan. Demikian pula dalam berbagai penelitian, termasuk kajian akademis karena topik pemberantasan korupsi ini selalu menjadi topik menarik, terutama mahasiswa hukum.

Data menunjukkan bahwa penyakit korupsi ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara juga selalu memiliki permasalahan tentang korupsi ini. Namun penanganannya tentu berbeda-beda. Hampir di setiap negara menyatakan bahwa korupsi merupakan kejahatan serius yang penanganannya membutuhkan cara-cara luar biasa. Di beberapa negara seperti Islandia dan Brazil bahkan pernah memberikan semacam amnesti atau pengampunan dalam kasus-kasus tertentu. Di Swiss dan AS misalnya juga menawarkan amnesti dan perlindungan bagi pihak yang mau membuka rekeningnya jika terkait dugaan TPPU atau hasil korupsi.

Namun di setiap negara, ketentuan terkait dengan kasus korupsi diatur secara ketat dan menghasilkan pemidanaan yang berat. Salah satu negara yang dinilai paling ekstrim dalam pemberantasan korupsi adalah Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Komitmen Presiden RRT untuk memprosekusi kasus korupsi sangat tinggi hingga menangkap para pejabat tingginya. Presiden waktu itu mengatakan tidak pandang bulu, bahkan jika dilakukan terhadap keluarganya sendiri. Ancaman pidana mati juga menunggu. Alhasil, saat ini RRT dinilai sangat berhasil dalam mengurangi angka korupsi. Contoh selanjutnya adalah Hongkong di mana Kepolisiannya yang terkenal sangat korup, berani untuk membuka diri dan secara brutal menindak para polisi yang korup. Sebagai hasil kini polisi Hongkong dinilai sebagai salah satu yang paling bersih dan transparan. Demikian pula di Korea maupun Singapura yang terkenal dengan hukum yang berat terhadap pelaku korupsi. Negara-negara ini berhasil meningkatkan indeks persepsi korupsinya.

Data-data tersebut di atas hanya sebagai pembanding kita dalam berpikir dan berdiskusi. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia saat ini memiliki hukum pidana yang berat terhadap pelaku korupsi. Demikian pula dengan berbagai instrumen untuk mencegah dan mengawasi. Namun mengapa masih saja terjadi dan menjadi seperti penyakit kronis? Menurut saya, dalam hal ini bangsa dan negara kita justru membutuhkan sikap tegas.

Pandangan Solutif
Pertama, kita perlu melihat bahwa rencana Presiden Prabowo tersebut berpotensi melanggar ketentuan. Pasal 4 UU Tipikor jelas menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidananya, namun menjadi faktor yang meringankan. Hal ini sejalan dengan ketentuan perundang-undangan terkait lainnya, seperti UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP dan UU KPK, yang memberi kekhususan terhadap penanganan tindak pidana korupsi.

Kedua, pernyataan Presiden tersebut berpotensi menciderai hati masyarakat, walaupun boleh diikatakan juga merupakan kreasi dan upaya untuk merespon perkembangan prinsip keadilan yang lebih menekankan pada restorasi. Over-kriminalisasi memang menjadi fenomena buruk yang harus diakui terjadi sehingga menyebabkan penuhnya hunian Lapas. Namun jika dikihat dari data, maka penghuni Lapas terbanyak adalah Napi Narkotika, termasuk napi tipiring dan UU ITE yang sebenarnya tidak perlu dimasukkan dalam penjara. Ini bukan berarti tipikor bukan menjadi permasalahan, namun justru menunjukkan bahwa banyak koruptor yang masih melenggang bebas dan merasa nyaman dan aman-aman saja. Masyarakat sebenarnya sudah sangat marah (condemnation) dengan perilaku pejabat yang korup, bergaya hidup mewah, (tak jarang) arogan, dan banyak intervensi politis di berbagai sektor kehidupan. Sehingga pernyataan tersebut justru semakin menyakiti masyarakat pembayar pajak. Pengembalian keuangan negara tidak bisa disamakan perhitungan awalnya, karena sejak korupsi sudah terjadi perubahan nilai yang disebabkan oleh berbagai hal, seperti: inflasi, kenaikan bunga, dan berbagai keuntungan yang bisa didapat dari lenbaga keuangan. Belum lagi kebocoran tersebut juga berdampak sistemik terhadap keuangan negara tidak perlu menunggu ketahuan, namun dari menit atau detik uang tersebut diambil, sudah merugikan masyarakat dan pemerintah sendiri.

Ketiga, kita harus cermat melihat bahwa persoalan korupsi ini memang terjadi bukan di level kebijakan saja melainkan dalam tataran implementasi. UU sudah mengatur sedemikian rupa, namun kepatuhan dan implementasinya menjadi permasalahan. Banyak sektor seperti perizinan tambang, mafia lahan atau pengelolaan tanah, pengadaan barang dan jasa (kementerian/lembaga maupun BUMN/D), dan rekrutmen pegawai yang tidak transparan atau berbau money politic. Salah satu sektor yang masih rawan dengan korupsi adalah sektor penegakan hukum. Jenis tindak pidana ini sekilas hanya merupakan suap atau pungli, namun efeknya sangat besar terhadap keberlangsungan masyarakat. Selain tidak diprosekusi dan tetap merugikan negara, masyarakat juga tidak melihat adanya efek jera.

Keempat, yang perlu dicermati pula adalah akibat korupsi, kerugian masyarakat tidak hanya dirugikan secara materiil namun juga immateriil. Para mafia dan kartel atau pelaku kejahatan yang melenggang bebas tentu akan arogan dan merasa kebal hukum. Masyarakatlah yang menjadi korban yang palinh dirugikan, misalnya kerusakan lingkungan, polusi, penyerobotan lahan, hingga korban terdesaknya ekonomi akibat monopoli dan manipulasi dari para pelaku kejahatan yang memanfaatkan mafia hukum dan peradilan. Masyarakat tentu menginginkan para pelaku “pencurian” ini harus bisa dihukum atau diprosekusi.

Kelima, bahwa keberadaan KPK, Polri, Kejaksaan dan instrumen lainnya terkait dengan pengawasan, pencegahan, dan penindakan terhadap korupsi dan tindak pidana turunan atau terkait lainnya, perlu untuk diperkuat alih-alih diberi kewenangan penghapusan atau penghentian perkara, kecuali dalam hal-hal tertentu. Kita tidak boleh membedakan antara maling kecil dan besar dalam unsur pidananya, walaupun tetap menghormati bahwa ada tindakan-tindakan tertentu atau jumlah tertentu yang menjadi pertimbangan hakim untuk meringankan atau memberi sanksi alternatif.

Dengan demikian, saya mengajak kepada seluruh pihak untuk secara arif dan bijaksana menyikapi rencana Presiden atau pemerintah ini. Saya tentu menghormati upaya dan concern beliau mengenai cara-cara untuk memberantas korupsi yang belum efektif. Namun jangan sampai kemudian tujuan mulia tersebut justru meninggalkan celah atau kelemahan (flaws) yang justru merugikan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan korupsi secara jangka panjang maupun penciptaan budaya anti korupsi.

Pemerintah, termasuk KPK dalam hal ini, lebih baik berfokus pada cara dimana transparansi dan akuntabilitas menjadi hal utama. Digitalisasi dapat menjadi salah satu cara untuk peningkatan transparansi. Berbagai kebijakan dan instrumen harus mampu menciptakan transparansi dan kredibilitas yang bebas dari konflik kepentingan. Penguatan pengawasan internal menyeluruh terhadap seluruh kegiatan dan sektor, dari rekrutmen hingga pelayanan publik (evaluasi 360) dan penguatan whistleblowing system.

Saya setuju bahwa pengembalian kerugian negara dapat secara signifikan memberikan dampak, termasuk meringankan para pelaku kejahatan korupsi. Namun setidaknya hal itu tidak serta-merta menghapus pidana. Pertanggungjawaban pidana tetap hadir dan terdapat sanksi pidana. Namun, saya juga setuju bahwa sistem keringanan ini membutuhkan aturan yang jelas dan terukur, sehingga tidak terkesan justru memperberat, atau menimbulkan celah bagi mafia hukum dan peradilan. Pelaku dan data kriminalnya harus tetap ada di dalam catatan kriminal (criminal record) sehingga timbulnya efek jera bagi pelaku kejahatan korupsi. *

*Penulis adalah Anggota Komisi III DPR RI