Jakarta (Lokapalanews.com) – Anggota Komisi XIII DPR RI, Agun Gunandjar, menegaskan pentingnya penguatan undang-undang yang mengatur Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) agar lembaga tersebut memiliki kewenangan yang lebih kuat dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Menurut Agun, saat ini LPSK masih memiliki keterbatasan dalam menjalankan tugasnya untuk melindungi saksi dan korban, terutama dalam tahap penyidikan dan persidangan yang rentan terhadap potensi bias dan manipulasi.
“Saat ini, LPSK seperti LSM, jika undang-undangnya tidak diperkuat, tidak memiliki kewenangan yang signifikan dalam peradilan pidana. Keamanan dan keselamatan saksi serta korban harus dilihat dalam konteks sistem peradilan pidana yang sebenarnya, bukan hanya sebagai perlindungan eksternal,” ujar Agun dalam RDPU Komisi XIII dengan pakar/akademisi di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2).
Agun menjelaskan bahwa banyak kasus yang menunjukkan betapa rentannya posisi saksi dan korban dalam proses hukum. Ia mengungkapkan, di dalam tahap penyidikan dan persidangan seringkali terdapat dugaan pemalsuan kronologi perkara, bahkan saksi bisa berubah status menjadi tersangka. Hal ini terjadi karena kurangnya pengawasan dan perlindungan yang memadai dari pihak berwenang, termasuk LPSK. Oleh karena itu, Agun mendesak agar LPSK memiliki kewenangan yang lebih besar, terutama di tahap penyidikan dan penuntutan.
“Peran LPSK di sini sangat vital, terutama dalam menjaga agar saksi dan korban tidak hanya dilihat sebagai alat bukti yang bisa diperlakukan semena-mena. Pengacara seharusnya wajib mendampingi saksi dalam penyidikan dan BAP, namun saat ini kondisi ini tidak menjamin perlindungan yang memadai,” kata Agun, dilansir Parlementaria.
Terkait dengan isu restitusi, Agun juga menyoroti pentingnya penanganan kerugian yang dialami oleh korban kejahatan, yang harus disertai dengan penyitaan terhadap harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Ia menilai, adanya ketidakpastian dalam penyitaan barang bukti dan pengembalian kerugian yang seharusnya diterima oleh korban menjadi masalah yang perlu diatasi dengan peraturan yang lebih jelas.
“Restitusi ini merupakan hak korban, dan kami berharap LPSK bisa lebih berperan dalam hal ini. Jangan hanya memberikan rekomendasi, tapi LPSK harus punya kewenangan lebih dalam memberikan perlindungan kepada korban dan saksi, serta bisa memastikan agar proses hukum berjalan sesuai dengan prinsip keadilan,” jelas politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Lebih lanjut, Agun mengungkapkan bahwa banyak saksi yang tidak bisa didampingi oleh pengacara saat memberikan keterangan, yang membuat mereka rentan dipaksa memberikan pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta. Oleh karena itu, ia mendorong agar LPSK memiliki kapasitas untuk mengawasi proses penyidikan dan memberikan rekomendasi yang harus dipatuhi oleh pihak berwenang.
“Proses keadilan itu tidak hanya tentang menghasilkan keputusan hukum yang benar, tetapi juga memastikan bahwa saksi dan korban mendapatkan perlindungan yang tepat. Kami, sebagai wakil rakyat, harus memperjuangkan keadilan ini untuk seluruh rakyat Indonesia,” kata Agun.
Agun berharap, melalui penguatan undang-undang yang mengatur LPSK, lembaga ini dapat lebih efektif dalam menjalankan tugasnya dan memperkuat perlindungan bagi saksi dan korban. Ia juga menyarankan agar LPSK bisa berperan aktif dalam memonitor jalannya proses hukum, termasuk dengan melakukan gelar perkara atau menyusun MoU dengan sistem peradilan pidana yang memastikan perlindungan terhadap saksi dan korban terjamin.
“Ini adalah langkah konkret yang harus kita lakukan untuk memastikan bahwa sistem peradilan pidana kita lebih transparan, adil, dan melindungi hak-hak saksi serta korban,” tutup Agun. *R106