Pelepasan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan? Sorotan Kritis terhadap Penyerahan Akreditasi kepada LAM

I Made Suyasa

Diskursus mengenai arah kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia kembali menghangat, kali ini dipicu oleh pergeseran signifikan dalam sistem penjaminan mutu. Penyerahan kewenangan akreditasi program studi kepada berbagai Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) memunculkan pertanyaan mendasar: apakah langkah ini sekadar inovasi untuk efisiensi, atau justru mengindikasikan erosi tanggung jawab negara dalam memastikan kualitas pendidikan bagi seluruh warga negara? Kekhawatiran ini, yang juga tercermin dalam gugatan terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), menuntut analisis kritis mendalam.

Meskipun gagasan awal pembentukan LAM mungkin didasari oleh keinginan untuk meningkatkan relevansi dan kedalaman penilaian mutu sesuai dengan kekhasan disiplin ilmu, implementasi yang mengarah pada dominasi LAM dalam sistem akreditasi menyimpan sejumlah potensi masalah yang tidak boleh diabaikan. Alih-alih menjadi mitra strategis, LAM berpotensi menggantikan peran fundamental negara dalam mengawal standar mutu pendidikan tinggi secara komprehensif.

Kritik pertama dan paling mendasar adalah ancaman terhadap koherensi standar mutu nasional. Pendidikan tinggi adalah aset bangsa, dan kualitasnya harus terjamin melalui kerangka standar yang jelas, konsisten, dan berlaku di seluruh penjuru negeri. Menyerahkan mandat akreditasi kepada beragam LAM, yang mungkin mengembangkan interpretasi dan fokus evaluasi yang berbeda, berpotensi melahirkan fragmentasi standar yang sulit dikelola. Konsekuensinya bisa beragam, mulai dari hambatan dalam transfer kredit mahasiswa, kesulitan dalam pengakuan kualifikasi lulusan di pasar kerja nasional, hingga ketidakselarasan mutu antar program studi dan institusi. Negara, sebagai pemegang amanah konstitusi, seharusnya mempertahankan peran sentral dalam merumuskan dan memastikan implementasi standar mutu yang terpadu.

Lebih jauh, potensi komersialisasi dan risiko benturan kepentingan menjadi perhatian yang tak terhindarkan. Sebagai entitas yang beroperasi di luar struktur birokrasi pemerintah, LAM berpotensi memiliki ketergantungan finansial pada biaya akreditasi yang dibayarkan oleh perguruan tinggi. Situasi ini membuka celah terjadinya kompromi dalam objektivitas penilaian demi menjaga kepuasan klien. Akreditasi, yang seharusnya menjadi proses evaluasi independen dan imparsial untuk peningkatan mutu, dapat tereduksi menjadi sekadar transaksi jasa. Negara berkewajiban untuk melindungi sistem penjaminan mutu dari pengaruh kepentingan ekonomi sesaat.

Aspek akuntabilitas publik dan kontrol negara juga terancam tergerus. Pemerintah, sebagai representasi kedaulatan rakyat, memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas terkait kualitas layanan publik, termasuk pendidikan. Ketika kewenangan krusial seperti akreditasi dilimpahkan kepada entitas eksternal, rantai akuntabilitas menjadi lebih kabur dan pengawasan publik menjadi lebih sulit. Masyarakat berhak atas transparansi dan kejelasan dalam proses penjaminan mutu pendidikan tinggi, yang seharusnya tetap berada di bawah kendali strategis negara.

Implikasi lain yang perlu dipertimbangkan adalah potensi ketidakadilan akses terhadap akreditasi berkualitas. Perguruan tinggi dengan sumber daya finansial dan administratif yang kuat akan lebih mampu memenuhi tuntutan dan biaya akreditasi dari LAM yang mungkin memiliki standar tinggi atau tarif yang signifikan. Hal ini berisiko menciptakan jurang kualitas akreditasi antar-institusi, terutama antara perguruan tinggi di wilayah maju dan tertinggal, atau antara perguruan tinggi negeri dan swasta dengan keterbatasan sumber daya. Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa sistem akreditasi tidak memperparah ketidaksetaraan dalam pendidikan tinggi.

Terakhir, dominasi LAM dalam sistem akreditasi berpotensi mereduksi peran strategis Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Sebagai satu-satunya badan akreditasi nasional yang dibentuk oleh pemerintah, BAN-PT seharusnya memegang otoritas tertinggi dalam penjaminan mutu pendidikan tinggi. Peran LAM sebaiknya bersifat komplementer, bekerja dalam kerangka koordinasi dan supervisi BAN-PT, bukan mengambil alih fungsi utamanya dalam menetapkan kebijakan dan standar akreditasi nasional.

Dalam konteks gugatan terhadap UU Sisdiknas, penting untuk mempertimbangkan apakah undang-undang tersebut secara implisit atau eksplisit memberikan ruang bagi pelepasan tanggung jawab negara dalam penjaminan mutu pendidikan, termasuk melalui pelimpahan wewenang akreditasi yang berlebihan kepada LAM tanpa mekanisme pengawasan dan standar yang kuat dari negara. Amanat konstitusi jelas: negara bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjamin hak setiap warga negara atas pendidikan yang layak dan berkualitas. Tanggung jawab fundamental ini tidak dapat didelegasikan sepenuhnya tanpa kerangka kerja yang kokoh dari negara.

Sebagai kesimpulan, meskipun pelibatan pihak eksternal dalam penjaminan mutu pendidikan memiliki potensi manfaat, penyerahan kewenangan akreditasi secara dominan kepada LAM tanpa pengawasan dan standar yang kuat dari negara dapat menjadi indikasi mengkhawatirkan tentang erosi tanggung jawab negara. Hal ini berisiko mengarah pada fragmentasi standar, komersialisasi, penurunan akuntabilitas publik, ketidakadilan akses, dan pelemahan peran BAN-PT. Negara harus menegaskan kembali peran sentralnya dalam menetapkan standar mutu nasional, mengawasi proses akreditasi, dan memastikan bahwa sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi berjalan demi kepentingan seluruh bangsa dan masa depan Indonesia yang lebih baik. Diskusi dan evaluasi mendalam terhadap kebijakan ini menjadi krusial untuk menghindari potensi pengabaian tanggung jawab negara dalam pilar penting pembangunan bangsa ini. *

Lokapalanews.com hadir sebagai salah satu media daring terpercaya di Indonesia dengan informasi tajam, terpercaya, mencerahkan!