Kedudukan Konstitusi dan Basis Sosiologis
Konstitusi adalah landasan utama dalam membangun identitas dan arah bangsa. Sebagai political compact and contract, konstitusi Indonesia atau yang dikenal sebagai UUD 1945 menjadi dokumen yang merekam komitmen bersama untuk bersatu sebagai Indonesia. Hal ini tertulis jelas sebagaimana Pembukaan UUD 1945: “ … menyatakan kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia …”. Keputusan untuk bersatu berpadu dalam Indonesia direkam secara padat dalam Pembukaan UUD 1945: bahwa “perjuangan kebangsaan Indonesia telah … mengantarkan ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Kondisi di pintu gerbang kemerdekaan ini merupakan saat yang berbahagia.
UUD 1945 juga disusun di atas kemajemukan bangsa Indonesia. Karena itu konstitusi Indonesia harus dilihat sebagai dokumen kebersatuan unsur-unsur masyarakat yang majemuk (konsep sosiologis, kultural) untuk menjadi sebuah bangsa (konsep politik). Proses menjadi bangsa Indonesia itu disebut sebagai kesadaran kebangsaan. Kesadaran ini dibangun sebagai “imajinasi suprakultural.”
Nasionalisme Indonesia adalah agregasi kekuatan dari negeri-negeri yang dekat (seperti Betawi, Pasoendan) maupun negeri-negeri yang jauh (seperti Ambon, Celebes, Soematera) untuk melawan penjajahan. Keputusan untuk bersatu berpadu dalam Indonesia pada dasarnya adalah keputusan politik untuk “melupakan” asal-usul, suku bangsa, dan kelompok budaya.
Dengan kata lain, kebangsaan/nasionalisme Indonesia dicetuskan berdasarkan sesuatu “di atas primordialisme.” Menjadi Indonesia berarti menghindari benturan politik identitas kesukuan, kedaerahan, primordial (identity politics). Sebab, kita memilih politik kebangsaan (politics of a single nation), yang dalam rumus Soempah Pemoeda 1928 adalah “tumpah-darah, kebangsaan, bahasa” (tempat lahir dan berjuang, identitas nasional, modalitas komunikasi). Gerakan yang mengusungnya (seperti Kaoem Betawi, Kepandoean Indonesia, Jong Java, Jong Soematera, Jong Celebes, Jong Ambon) merupakan gerakan berbagai suku dari seantero Nusantara, yang ditransformasikan menjadi gerakan besar kebangsaan untuk memerdekakan diri sebagai satu bangsa.
Begitu kuat “imajinasi suprakultural untuk menjadi Indonesia” tersebut sehingga dalam syarat keanggotaan (kewarganegaraan) Indonesia dirumuskan secara nasional:
- “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara” (Pasal 26 UUD 1945).
- Negara Indonesia adalah warga negara Indonesia. Dan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945).
Kenyataan Saat Ini
Dewasa ini kita dihadapkan kepada suatu kenyataan yang menantang. Pendulum otonomi daerah semakin ditarik ke pusat melalui berbagi undang-undang. konteks ini-pun diperlebar dengan isu seputar kemandirian daerah serta konsepsi hubungan pusat-daerah ke depan.
Tarik menarik kepentingan pusat-daerah ini memerlukan arah agar kembali pada konsepsi konstitusi. Ide mengkalkulasikan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang directive menjadi haluan negara adalah kunci untuk melakukan perbaikan ketatanegaraan ke depan. Secara prinsip Tiongkok, Singapura telah melakukan untuk menjadi landasan ketatanegaraan mereka. Indonesia harus tetap berpijak pada Pancasila dan UUD 1945, agar kesinambungan visi dan misi serta arah ketatanegaraan menjadi lebih jelas.
Kini banyak provinsi dan kabupaten menguatkan otonominya dengan menggunakan simbol-simbol kebudayaan lokal. Dari sudut psikologis, ini bukan outward looking tetapi inward looking. Dari sudut kebudayaan, ini merupakan politik identitas. Pertanyaannya adalah, bagaimana kemajemukan itu bertransformasi menjadi keindonesiaan dengan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan sosio-kultural dan politik baru yang otonom dan genuine, sehingga menjadi semacam a constitution of the Indonesian society?.
Hubungan pusat-daerah yang sudah diletakkan dalam konstitusi dapat digunakan sebagai contoh. Konstitusi menetapkan pola hubungan pusat-daerah yang asimetrik, tidak seragam, namun menyatu dalam Indonesia. UUD 1945 menegaskan (Pasal 18B):
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.**)
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.**)
Jelas bahwa daerah merupakan komponen Indonesia. Daerah adalah pasangan negara kesatuan. Ketika Indonesia tak memuat daerah, bagaimana Indonesia ada? Daerah-daerah itu meng-indonesia. Konstitusi menentukan bahwa tiap provinsi memilih utusan daerahnya ke pusat (regional representation), jumlah utusan masing-masing setara (equal representation), dan melembaga dalam Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 22C UUD 1945).
Konstitusi menjamin perlindungan terhadap identitas dan kebudayaan daerah maupun masyarakat dan hak-hak adat: Meski bahasa negara adalah Bahasa Indonesia (Pasal 36 UUD 1945), tetapi bahasa daerah dihormati dan dipelihara oleh negara (Pasal 32 ayat (2) UUD 1945).
Pola lain menyikapi kemajemukan ditunjukkan dalam ketentuan konstitusi tentang jaminan atas hak-hak kolektif serta kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat (2) jo. Pasal 28E ayat (1) UUD 1945). Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28E ayat (2) UUD 1945).
Untuk memimpin Indonesia yang majemuk, yang berdiri di atas kenyataan kebangsaan yang bersifat “suprakultural” ditentukan syarat bahwa Presiden dan Wapres harus “WNI sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri …” (Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen). Dulu Presiden dan Wapres harus “orang Indonesia asli” (Pasal 6 UUD 1945 UUD 1945 sebelum amandemen).
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasangan yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A ayat (3) UUD 1945).
Berdasarkan hal-hal tersebut, pendulum kebijakan yang terus bergerak antara sentralisasi dan desentralisasi memerlukan arah yang jelas dan berkelanjutan. Untuk itu, Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) diusulkan sebagai solusi guna memastikan kesinambungan pembangunan nasional dengan tetap menjunjung prinsip demokrasi dan supremasi konstitusi
Substansi dan Bentuk Hukum PPHN
Dihidupkannya kembali PPHN harus dilihat secara jernih sebagai wujud akselerasi upaya untuk mencapai kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. PPHN sesungguhnya memiliki peran strategis sebagai rambu-rambu pembangunan nasional dikarenakan PPHN memilki visi dan misi negara bukan visi misi dari perorangan atau kelompok golongan. Oleh karena itu, dalam pembentukannya MPR sebagai lembaga yang diberikan kewenangan harus merangkum pandangan dan pertimbangan dari masyarakat, daerah, dan lembaga-lembaga negara yang ditentukan dalam UUD 1945. Dengan demikian, koridor supremasi konstitusi dan kedaulatan rakyat tetap dijunjung tinggi. PPHN yang disusun nantinya dapat menampung segala kebutuhan masyarakat dan menyediakan alternatif solusi atas permasalahan negara.
Mengingat arti penting PPHN sebagai blue print dalam pelaksanaan pembangunan serta untuk menghindari tumpang tindih kebijakan antarlembaga negara dan juga pemerintah daerah, maka penyusunan dan penetapannya dilakukan oleh MPR. Penguatan kelembagaan MPR melalui kewenangan untuk menyusun dan menetapkan PPHN bukanlah dengan maksud mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Selanjutnya perumusan PPHN harus memuat pokok-pokok kebijakan nasional yang bukan hanya ditujukan untuk Presiden melainkan seluruh lembaga negara bahkan pemerintah daerah sehingga tercipta harmonisasi dan kesinambungan antarlembaga negara. Meskipun tidak ada konsekuensi hukum dari MPR, laporan kinerja lembaga negara dalam menjalankan PPHN menjadi bentuk akuntabilitas kinerja masing-masing lembaga negara. Mekanisme demokrasi seperti pemilu-lah yang akan menentukan dan menilai layak atau tidaknya pemimpin lembaga negara tersebut dipilih kembali.
Menghidupkan kembali PPHN harus dilakukan dengan amandemen UUD 1945 (terbatas), kenapa amandemen? Karena putusan MK Nomor 66/PUU-XXI/2023 menetapkan MPR tidak dapat menyusun Ketetapan yang bersifat regeling. Hal yang perlu dilakukan penyempurnaan yakni terhadap kedudukan MPR yang merupakan representasi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu sudah menjadi suatu keharusan bagi MPR untuk diberikan kewenangannya kembali agar dapat membentuk PPHN sebagai pedoman arah pembangunan nasional yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Amandemen UUD 1945 kelima secara terbatas dilkukan untuk melakukan penambahan wewenang MPR dalam membentuk PPHN khususnya dalam Pasal 3 UUD 1945, Bab khusus tentang Pokok-Pokok Haluan Negara yang merangkum Bab-Bab yang ada dalam UUD 1945 yang sifatnya directive, serta melakukan perubahan dalam Aturan Tambahan UUD 1945 untuk menegaskan kedudukan Ketetapan MPR khusus untuk menetapkan secara administratif PPHN. Ketetapan MPR tentang PPHN tersebut tidak perlu lagi dipahami sebagai “ketetapan” yang merupakan produk regulasi, melainkan cukup dipahami sebagai produk administrasi, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di masa yang akan datang.
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dipertajam mengenai:
- Mekanisme agar penyusunan PPHN benar-benar mencerminkan kepentingan masyarakat luas, bukan hanya kepentingan elit politik;
- Alternatif lain menghidupkan PPHN selain melalui amandemen UUD 1945; dan
- Mekanisme akuntabilitas bagi lembaga yang tidak menjalankan PPHN.
Implementasi UUD 1945
Terkait dengan PPHN dan kebutuhan amandemen UUD 1945, maka menarik untuk disimak bahwa sejak dilakukan amandemen (1999-2002), UUD 1945 mengalami perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek ketatanegaraan. Implementasi konstitusi saat ini mencakup beberapa hal utama:
- Sistem Pemerintahan yang Lebih Demokratis
- Presiden, wakil presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
- Dalam parlemen, DPR memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran, sementara DPD mewakili daerah dalam proses legislasi tertentu.
- Lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Yudisial (KY) berperan dalam menjaga konstitusionalitas hukum dan peradilan yang independen.
- Desentralisasi dan Otonomi Daerah
- UU Otonomi Daerah memberi kewenangan lebih besar kepada daerah dalam mengatur pemerintahan sendiri.
- Pemerintah daerah memiliki hak mengelola anggaran dan sumber daya sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat setempat.
- Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM)
- HAM dijamin dalam Pasal 28A-28J UUD 1945.
- Pembentukan Kementerian HAM (saat ini), Komnas HAM dan peradilan HAM untuk menangani pelanggaran HAM berat.
- Kesejahteraan Sosial dan Ekonomi
- UUD 1945 mengamanatkan pembangunan ekonomi berbasis keadilan sosial (Pasal 33 dan 34).
- Program jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan sebagai bentuk implementasi negara kesejahteraan.
Meskipun berbagai aspek UUD 1945 telah diimplementasikan, terdapat tantangan yang masih dihadapi, di antaranya:
- Kesenjangan Antara Regulasi dan Realitas
Banyak kebijakan yang secara teori sesuai konstitusi, tetapi dalam praktiknya masih jauh dari harapan. Contoh: otonomi daerah masih menghadapi tantangan dalam pemerataan pembangunan dan penyalahgunaan anggaran.
- Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan
- Korupsi di berbagai lembaga negara melemahkan efektivitas pemerintahan yang demokratis.
- Kasus suap dan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi membuktikan masih lemahnya penegakan hukum.
Indikator: Data KPK Tahun 2025, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2024 mengalami peningkatan dengan skor naik menjadi 37/100 dari tahun sebelumnya yang berada di angka 34/100. Walaupun demikian, peningkatan ini hanya mengangkat peringkat Indonesia ke posisi 99 dari 180 negara, lebih baik dibanding tahun sebelumnya di peringkat 115.
- Dinamika Politik yang Tidak Stabil
- Polarisasi politik sering terjadi, terutama pada saat pemilu dan pilkada.
- Praktik politik transaksional menghambat demokratisasi yang sehat.
Indikator: Indeks Demokrasi yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun ini (2025), menunjukkan skor demokrasi di Indonesia pada tahun 2024 sebesar 6,44. Skor ini membuat Indonesia masuk dalam kategori negara dengan demokrasi yang cacat atau flawed democracy. Indonesia turun tiga peringkat dari posisi 56 di tahun sebelumnya, menjadi peringkat 59 di tahun ini dari total 167 negara yang diteliti.
- Penegakan Hukum yang Belum Konsisten
- Meski sistem peradilan semakin kuat, masih ada kesenjangan dalam penerapan hukum.
- Kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu masih belum terselesaikan sepenuhnya.
Indikator: Indeks Negara Hukum (Rule of Law Index-Rol Index 2023) Tahun 2023 yang disusun World Justice Project, menunjukkan bahwa skor RoL Indeks Indonesia tahun 2023 sebesar 0,53 atau sama seperti skor tahun lalu (2022). Hal ini mengindikasikan stagnasi dalam perkembangan pembangunan hukum di Indonesia.
- Ancaman terhadap Kebebasan Berpendapat
- Beberapa regulasi seperti UU ITE dianggap membatasi kebebasan berekspresi.
- Aktivis dan jurnalis masih menghadapi ancaman kriminalisasi.
Karena adanya berbagai tantangan diatas, beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah:
- Pelaksanaan mekanisme check and balances antara lembaga negara yang masih perlu dievaluasi;
- Penyusunan regulasi haruslah sesuai dengan kondisi faktual di masyarakat dan tidak hanya bersifat normatif; dan
- Implementasi kebijakan ekonomi nasional untuk mencapai keadilan sosial sesuai Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945.
Urgensi PPHN dengan Desentralisasi, Otonomi Daerah, Pemerintahan Daerah dan Desa
- Desentralisasi
Permasalahan utama:
Urgensi PPHN untuk mengatasi permasalahan desentralisasi:
- PPHN dapat menjadi pedoman nasional agar desentralisasi tetap sejalan dengan visi pembangunan negara.
- Standarisasi kebijakan nasional yang wajib diikuti oleh daerah untuk memastikan pemerataan pembangunan.
- Memperkuat pengawasan dan akuntabilitas terhadap kebijakan desentralisasi untuk mengurangi penyalahgunaan wewenang.
- Otonomi Daerah
Permasalahan utama:
- Ketidaksesuaian regulasi pusat dan daerah.
- Ketergantungan daerah pada dana pusat.
- Konflik antara pusat dan daerah dalam kewenangan pengelolaan sumber daya.
Urgensi PPHN untuk mengatasi permasalahan otonomi daerah:
- PPHN memberikan pedoman yang lebih jelas dalam hubungan pusat-daerah untuk menghindari tumpang tindih kebijakan.
- PPHN dapat merancang strategi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) agar daerah lebih mandiri dan tidak hanya bergantung pada dana pusat.
- PPHN memperjelas pembagian kewenangan dalam pengelolaan sumber daya untuk mengurangi konflik pusat-daerah.
- Pemerintahan Daerah dan Desa
Permasalahan utama:
- Kurangnya sinkronisasi kebijakan antar daerah, maupun terhadap internal di daerahnya (desa).
- Maraknya politik dinasti dan nepotisme. Hal ini dapat mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan dan dana pembangunan (misal dana desa).
- Kualitas pelayanan publik yang tidak merata. Salah satu permasalahannya adalah kurangnya kapasitas SDM.
Urgensi PPHN untuk mengatasi permasalahan pemerintahan daerah dan desa:
- PPHN dapat mengatur koordinasi dan sinergi kebijakan daerah (provinsi-kabupaten/kota-desa/kelurahan) maupun antar daerah, terutama dalam pembangunan infrastruktur dan layanan publik.
- PPHN dapat menekankan reformasi tata kelola pemerintahan daerah, termasuk aturan untuk mencegah politik dinasti dan nepotisme.
- PPHN dapat mengatur standar pelayanan publik yang harus dipenuhi oleh setiap daerah agar tidak terjadi kesenjangan antar wilayah.
Oleh karena itu, beberapa catatan penting yang perlu mendapat perhatian disini adalah:
- Adanya hubungan pemerintah pusat dan daerah yang mencerminkan otonomi yang sehat;
- PPHN juga harus berfungsi agar bisa mencegah ketimpangan pembangunan antar daerah, terutama bagi daerah yang masih bergantung pada dana pusat;
- PPHN diharapkan dapat mengatasi ketidaksesuaian regulasi antara pusat dan daerah tanpa mengurangi semangat otonomi daerah; dan
- PPHN perlu menjadi pedoman yang efektif bagi daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) agar daerah tidak bergantung pada transfer dari pusat.
Kesimpulan
PPHN bukanlah sekadar dokumen kebijakan, melainkan fondasi penting dalam memastikan arah pembangunan nasional yang berkelanjutan. Dengan pendekatan yang inklusif dalam penyusunannya, serta mekanisme akuntabilitas yang jelas, PPHN dapat menjadi alat strategis dalam mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat.
Langkah ke depan adalah memastikan bahwa PPHN tidak hanya menjadi wacana politik, tetapi benar-benar diterapkan sebagai pedoman pembangunan yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Dengan begitu, kesinambungan kebijakan negara dapat terjaga tanpa mengorbankan prinsip demokrasi dan konstitusi. *