Tren  

Senja Terakhir di Plaga

Di Balik Bunuh Diri di Jembatan Tukad Bangkung, Ada Luka yang tak Terdengar

Matahari belum sepenuhnya tenggelam ketika seorang warga melihat motor matic terparkir diam di tepi Jembatan Tukad Bangkung, Kamis (3/4) lalu. Tak ada pemiliknya. Tak ada suara. Hanya angin pegunungan yang berembus sepi, lengang jalan yang biasa dilalui petani dan pelancong.

Beberapa jam kemudian, ditemukan jasad seorang perempuan muda di dasar jurang. Ia dikenal warga sebagai KMS (26), berasal dari Desa Tamblang, Buleleng. Dugaan sementara: ia melompat dari jembatan, berakhir hidup dalam diam, di senja yang ia pilih sendiri.

Jembatan yang Tinggi, Rasa yang Jatuh
Tukad Bangkung adalah kebanggaan Bali. Jembatan megah yang menghubungkan Badung, Bangli, dan Buleleng ini menyuguhkan panorama luar biasa. Tapi keindahannya kini dibayangi reputasi kelam – sebagai lokasi orang mengakhiri hidup.

KMS bukan yang pertama. Dalam lima tahun terakhir, sejumlah kasus serupa terjadi di tempat yang sama. Tak semua diberitakan. Tak semua dicatat. Tapi warga tahu. Dan trauma itu diam-diam tumbuh.

Sudah seperti tempat kematian. Tapi pemerintah diam saja. Tak ada penjagaan, tak ada kamera, tak ada pagar tinggi. Dibiarkan.

Ketika tak Ada lagi Tempat Menangis
Belum ada keterangan resmi mengenai motif bunuh diri KMS. Tapi para ahli sepakat: banyak kasus seperti ini dihapus dari masalah psikologis yang tidak terselesaikan.

Orang tidak tiba-tiba melompat dari jembatan. Mereka sering membawa beban bertahun-tahun. Tekanan ekonomi, hubungan yang rusak, trauma masa kecil, kehilangan arah. Dan parahnya, mereka merasa tidak punya tempat untuk berbicara.

Masalahnya, kesehatan mental masih dianggap tabu. Masih dianggap aib. Tak banyak yang berani berpikir. Dan yang mau pun, sering kali tak tahu harus ke mana.

Mereka yang Terlambat Ditolong
KMS hanyalah satu nama dari sekian banyak orang yang pernah berdiri di tepi Jembatan Tukad Bangkung dengan hati yang nyeri. Di tempat yang seharusnya jadi penghubung, justru mereka merasa tak punya arah pulang.

Mengapa mereka tidak dapat dicegah? Karena jembatan ini tidak dirancang untuk menyelamatkan siapa pun . Tidak ada sistem pengawasan. Tidak ada protokol intervensi. Tidak ada penjaga malam. Tak ada yang tahu—kecuali setelah semuanya terlambat.

Sunyi yang Menjadi Tanda Bahaya
Di Bali, bunuh diri kerap disembunyikan mitos, tabu, dan diam. Tapi setiap jasad yang ditemukan bukan sekedar statistik. Itu adalah cerita yang terputus. Mereka adalah pertanyaan yang tak terjawab: Apa yang bisa kita lakukan sebelum ini terjadi?

Kita tidak tahu apa isi hati KMS sakit itu. Mungkin dia hanya ingin seseorang bertanya, “Apa kamu baik-baik saja?” Tapi tak ada yang datang. Tak ada yang sempat.

Jembatan itu terlalu tinggi untuk tempat menyerah. Tapi terlalu sepi untuk berharap ada yang menyelamatkan. Semoga tidak ada lagi kejadian serupa di jembatan tertinggi di Bali itu. *tim

Lokapalanews.com adalah salah satu media online di Indonesia hadir dengan sajian informasi yang aktual, informatif, inspiratif, dan mencerahkan di tengah derasnya aliran informasi yang tak jelas kebenarannya.