Ketika Niat Baik Menabrak Realitas: Mengurai Kebijakan AMDK Kontroversial di Bali

Langkah Pemerintah Provinsi Bali menerbitkan Surat Edaran Gubernur Nomor 9 Tahun 2025 tentang pembatasan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di bawah satu liter, bak pisau bermata dua. Di satu sisi, kita tak bisa menampik urgensi untuk mengatasi darurat sampah plastik yang kian menggerogoti keindahan “Pulau Dewata”. Niat mulia untuk mewariskan Bali yang lestari kepada generasi mendatang patut diapresiasi setinggi langit. Namun, implementasinya justru memicu riak gelombang protes yang tak kalah kuat, mempertanyakan kembali kearifan sebuah kebijakan yang terkesan “memukul rata” tanpa mempertimbangkan kompleksitas sosio-ekonomi masyarakat Bali.

Mari kita telaah lebih dalam. Bali, dengan jutaan wisatawan yang datang silih berganti, memang menghasilkan gunungan sampah plastik yang mengkhawatirkan. AMDK kemasan kecil, praktis dan mudah dibawa, tak dapat dipungkiri menjadi salah satu kontributor signifikan. Namun, apakah lantas “menghapus” keberadaannya dari peredaran adalah solusi yang paling bijak?

Bayangkan nasib para pedagang kecil di pelosok desa, yang selama ini mengandalkan penjualan AMDK kemasan ekonomis sebagai salah satu sumber penghasilan utama. Kebijakan ini seolah merenggut periuk nasi mereka secara tiba-tiba. Bagaimana mereka bisa bersaing dengan supermarket yang notabene memiliki akses lebih mudah ke produk AMDK kemasan besar? Belum lagi kekhawatiran konsumen, terutama wisatawan dengan mobilitas tinggi, yang kini harus berpikir dua kali untuk sekadar membeli sebotol air minum praktis di tengah teriknya matahari Bali.

Di sisi industri, terutama para pemain skala kecil dan menengah, kebijakan ini bagai petir di siang bolong. Investasi yang telah ditanamkan, rantai pasok yang sudah mapan, kini terancam berantakan. Mereka mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak lebih fokus pada solusi yang lebih inklusif, seperti mendorong daur ulang yang efektif, mengembangkan kemasan yang ramah lingkungan, atau mengedukasi masyarakat untuk mengurangi konsumsi plastik secara keseluruhan?

Tentu, kita semua sepakat bahwa Bali harus bersih dari sampah plastik. Namun, kebijakan yang diambil hendaknya tidak kontraproduktif dan justru menimbulkan masalah sosial-ekonomi baru. Alih-alih “mematikan” satu jenis produk, mengapa pemerintah tidak lebih gencar memberikan insentif bagi inovasi kemasan ramah lingkungan? Mengapa tidak memberdayakan sektor informal untuk menjadi garda terdepan dalam pengumpulan dan pengolahan sampah plastik?

Kebijakan pembatasan AMDK ini menjadi cerminan betapa pentingnya dialog yang komprehensif sebelum sebuah regulasi besar diterapkan. Suara dari bawah, dari para pelaku usaha kecil, dari masyarakat konsumen, seharusnya didengar dan dipertimbangkan dengan seksama. Pemerintah perlu menyadari bahwa niat baik saja tidak cukup. Implementasi yang tergesa-gesa dan kurang mempertimbangkan realitas di lapangan justru dapat melahirkan resistensi dan kontraproduktif terhadap tujuan mulia yang ingin dicapai.

Sebagai penutup, mari kita berharap polemik kebijakan AMDK di Bali ini tidak berujung pada perpecahan, melainkan menjadi momentum untuk mencari solusi yang lebih bijak dan berkelanjutan. Bali yang bersih adalah impian kita bersama, namun mewujudkannya membutuhkan pendekatan yang holistik, inklusif, dan mendengarkan denyut nadi seluruh lapisan masyarakat. Jangan sampai, demi mewujudkan surga yang bersih, kita justru menciptakan “neraka” ekonomi bagi sebagian warganya. *R101

Lokapalanews.com hadir sebagai salah satu media daring terpercaya di Indonesia dengan informasi tajam, terpercaya, mencerahkan!