Beberapa waktu lalu kita mendengar kembali Kejaksaan Agung menangkap empat hakim dan dua orang pengacara, serta seorang panitera, terkait kasus ekspor CPO. Namun, tidak tertutup kemungkinan tersangka lainnya akan menyusul di proses oleh Kejaksaan Agung. Kasus ini menambah daftar panjang kasus yang terkait dengan mafia peradilan, yang telah diungkap oleh penegak hukum, setelah pada kasus sebelumnya seorang mantan hakim agung juga ditangkap karena suap.
Komisi III DPR pada saat itu menyoroti para hakim pada kasus Ronald Tannur yang divonis bebas pada tingkat pertama sebelum diputus bersalah di tingkat kasasi. Fenomena suap pada sistem peradilan ini sudah sejak lama terjadi dan masih terjadi hingga saat ini. Permasalahan ini ternyata belum hilang sama sekali. Seperti penyakit kronik yang belum ada obatnya.
Fenomena suap hakim dan mafia peradilan di Indonesia telah menjadi masalah sistemik yang merusak integritas penegakan hukum. Praktik suap, intervensi pihak eksternal, dan kolusi antara penegak hukum, pengacara, dan para pihak berperkara telah menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Pemerintah dan DPR telah berupaya dengan berbagai cara seperti membentuk Satuan Tugas Khusus maupun Panitia Kerja untuk menyoroti hal ini, namun ternyata kartel hukum ini tidak hilang atau bisa dikatakan justru semakin nyata terjadi. Saya meyakini jika saat ini dilakukan survei terbuka terhadap masyarakat, sudah bukan rahasia umum bahwa sistem peradilan dan penegakan hukum sangat rentan dengan suap maupun mafia atau calo. Hal ini sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat.
Namun sebenarnya apa yang salah dari sistem peradilan kita ini? Sudah sejak lama atau sejak zaman reformasi, telah ada komitmen untuk mereformasi sistem hukum dan peradilan secara lebih terbuka, profesional, dan terpercaya. Seluruh model dan format kajian terhadap independensi, kemandirian, maupun upaya untuk meningkatkan integritas dan kualitas peradilan yang tinggi telah dicoba untuk digalakkan. Akan tetapi seolah permasalahan ini tidak akan pernah berhenti dan terus menerus terjadi, bahkan semakin marak dan kasat mata. Kita tidak hanya berbicara dari permasalahan suap di pengadilan saja, yang baru saja terungkap oleh Kejaksaan Agung, namun juga berbicara di seluruh tahap peradilan. Ini berarti sistem peradilan pidana misalnya juga menyangkut penyidikan, upaya paksa, penuntutan, hingga putusan itu sendiri. Atau dari pengajuan gugatan atau permohonan, putusan, hingga eksekusi. Seluruh tahap seolah memiliki “tarif” tersendiri.
Saya meyakini bahwa hal itu bukanlah bualan semata. Dalam praktik di lapangan, banyak modus-modus yang telah tercipta untuk memuluskan peran dan pengaruh mafia hukum dan peradilan ini. Oleh sebab itu, kita tidak hanya berbicara soal struktur dan substansi dari hukum dan peraturan perundang-undangan, namun juga kultur dari hukum dan fenomena tersebut. Tidak berhenti di situ, kajian ilmiah dan akademis juga terus dilakukan untuk menjawab dan mencegah permasalahan ini dari sudut pandang penegakan hukum dan etik, ketatanegaraan, pengawasan, atau hingga sistem hukum yang telah berjalan saat ini. Oleh sebab itu, nampaknya menarik untuk menganalisis akar masalah atau modus operandi, dampak, serta langkah-langkah strategis untuk memberantas mafia hukum dan peradilan.
Persoalan Suap Hakim dan Mafia Peradilan
Permasalahan mengenai suap menyuap dalam sistem peradilan bukanlah hal baru karena pasti terkait dengan penanganan perkara dan kewenangannya. Hal ini bisa teridentifikasi dari beberapa akar permasalahan. Pertama adalah budaya korupsi yang sudah sangat kronis dan sistemik dibarengi dengan lemahnya pengawasan internal dan eksternal. Kita sering mendengar adanya penanganan terhadap hakim yang bermasalah, tapi tampaknya tidak juga memberikan dampak yang signifikan. Penanganan permasalahan hakim dan aparat penegak hukum sepertinya hanya “gesture” belaka atau untuk meredam amarah publik.
Yang kedua adalah sistem rekrutmen dan seleksi hakim atau sistem pembinaan karier yang seringkali tidak transparan dan banyak “titipan”. Hal ini terasa biasa saja namun berdampak cukup jauh. Koneksi masuknya mafia hukum dan peradilan menjadi langgeng dan banyak yang kemudian tersandera dengan “utang budi” tersebut. Kita tidak membicarakan terlebih dahulu soal kapasitas dan kualitasnya, karena pada akhirnya bergantung pula pada “Koneksi”. Persoalan ini diperparah dengan sistem pembinaan karir yang tidak meritokratis. Sistem reward and punishment dikhawatirkan hanya menjadi slogan karena pada akhirnya tetap yang bisa menjaga keseimbangan dengan “penguasa yang sudah ada”. Hal ini seperti lingkaran setan.
Ketiga adalah permasalahan rendahnya gaji hakim dan kesejahteraannya dibandingkan dengan beban kerja dan godaan suap yang jauh timpang. Meskipun kini gaji dan tunjangan hakim sudah dinaikkan, tidak serta merta membuat hakim merasa “aman” dan tercukupi. Krisis ekonomi mempengaruhi dan beban kerja terutama di wilayah yang sangat sulit, membuat para hakim dan aparat kemudian berusaha untuk pindah ke pusat atau daerah-daerah kota yang bagus. Para personil ini melihat status dari wilayah kerja seperti daerah basah/bagus atau sulit. Inilah yang kemudian membuat stigma negatif dari para hakim dan aparat dalam menentukan wilayah kerja. Kecenderungan untuk hidup lebih layak dan mudah menjadi salah satu dasar pilihan atau motivasi.
Selanjutnya adalah banyaknya intervensi dan minimnya pengawasan. Mengapa saya menyatukan dua permasalahan ini, yakni karena pengaruh dari luar (mafia) cukup tinggi. Pengawasan internal dan eksternal tidak efektif karena kalah dengan asas kemandirian dan independensi yudikatif; yang bebas dan mandiri. Akibatnya banyak pengawasan yang gagal dan tidak menyentuh akar permasalahan. Penegakan hukum atau penindakan tidak membuat efek jera karena sudah sangat sistemik. Pengawasan eksternal dari KY maupun lembaga pengawas eksternal lainnya akhirnya hanya mengandalkan publik untuk menekan bukan komitmen dari pengawas yang memegang kewenangan. Bukan tidak mungkin pula pengawasan ini hanya sebuah simbol saja dan tidak memiliki skema pengawasan yang efektif dan melekat secara implementatif.
Persoalan selanjutnya adalah minimnya pendidikan dan pelatihan yang mendorong integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Kesalahan-kesalahan kecil seringkali hanya dimaklumi dan pemberian hukuman yang tidak tegas. Pelatihan integritas, pembangunan zona integritas dan wilayah bebas korupsi tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan obyektif. Pengabaian kesalahan bukan hal baru dan seringkali tidak mendapat hukuman atau bahkan hanya teguran pun terlewatkan.
Selanjutnya yang saya juga ingin soroti adalah identifikasi terhadap permasalahan sistem dan perlakuannya. Modus operandi penyuapan terhadap lembaga penegak hukum dan peradilan sebenarnya sudah teridentifikasi, namun tidak memiliki semacam roadmap untuk penanggulangannya. Seringkali para pencari keadilan dihadapkan pada permasalahan permintaan uang “Operasional”, pemberian fasilitas, dan berbagai modus pemberian yang tampaknya tidak terelakkan. Hal ini berakar pada imbalan uang pada jasa litigasi yang memang cukup mahal dan memiliki tingkat kesulitan tinggi. Demikian pula beberapa mekanisme hukum acara memiliki celah-celah yang menyuburkan “calo” atau pengurusan perkara. Lebih jauh lagi bahkan untuk mendapatkan Salinan atau dokumen lainnya sangat sulit dan memiliki “harga”. Masyarakat seringkali dihadapkan pada dilema seperti “bocoran” putusan perkara yang memiliki harga untuk dapat diubah seperlunya.
Hal yang paling dapat terlihat tentunya adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan atau penegakan hukum. Ketidakpastian berdampak pada sistem ekonomi dan investasi serta pelindungan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian dapat terlihat adanya penyimpangan terhadap tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaaatan. Hingga kini adagium seperti “keadilan hanya milik penguasa atau orang kaya” atau “hukum tajam kebawah tumpul ke atas” akan selalu muncul. Persoalan penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan-penyimpangan dalam sistem hukum dan peradilan selalu mencuat dan seolah tidak memiliki solusi yang jelas. Transparansi dan akuntabilitas akan senantiasa terhambat.
Urgensi Langkah Strategis
Beberapa upaya dan langkah-langkah strategis dalam mengeradikasi suap, penyimpangan, dan penyalahgunaan di sistem peradilan sebenarnya selalu dikaji. Namun yang paling penting adalah konsistensi dan keberlanjutan melalui komitmen yang tinggi. Pertama, reformasi struktur peradilan dan penegakan hukum perlu dijamin. Transparansi dari rekrutmen, pembinaan karir, uji kompetensi, dan peningkatan integritas harus dapat dijamin. Hal ini akan mendorong publik untuk dapat pula mengawasi. Sistem pembinaan karier, mutasi, promosi, demosi, dan pengisian jabatan harus memiliki tolok ukur yang jelas, objektif, dan kepastian atau ketegasan. Jaminan untuk pembinaan karier dan penempatan di wilayah harus dilakukan dengan sistem pengelolaan sumber daya manusia yang sesuai dengan kompetensi dan profesionalitasnya.
Kedua adalah perhatian terhadap hakim dan kesejahteraan maupun fasilitas yang mendukung optimalisasi kerja dan profesionalitas. Pada saat ini, banyak hakim atau aparat yang mengalami kekurangan baik dari sisi kesejahteraan maupun dukungan sarana dan prasarana kerja. Hakim adalah profesi mulia sehingga harus diberi kelayakan pendapatan, namun di satu sisi harus diganjar dengan sanksi yang terberat jika terdapat pelanggaran. Penanganan terhadap pelanggaran etik maupun hukum harus dapat dilakukan secara terbuka atau membuka ruang publik untuk dapat mengadu dan mendapat tindak lanjut yang jelas.
Selanjutnya adalah penguatan fungsi pengawasan, baik melalui sistem, pengawasan internal, maupun pengawasan eksternal. Sistem peradilan pidana misalnya memiliki pengawasan hakim secara internal (Bawas MA), Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal, hingga APIP ataupun penegakan hukum. Lebih jauh lagi perlu dipikirkan kembali bagaimana sistem dapat secara otomatis mengawasi akuntabilitas dan keakuratannya. Revisi Hukum Acara Pidana misalnya harus memungkinkan upaya untuk mengajukan keberatan terhadap beberapa tindakan atau upaya paksa yang telah diatur dalam undang-undang, secara objektif dan transparan. Revisi kebijakan kekuasaan kehakiman harus dapat diatur secara komprehensif sehingga membuka jalan bagi masyarakat untuk mengawasi dan mengoreksi ketidakprofesionalan atau ketidakadilan yang tercipta.
Penggunaan atau pemanfaatan teknologi informasi juga dapat dioptimalkan untuk pengawasan dan transparansi publik. Hal terkait adalah penggunaan “whistleblowing system” di mana dapat saling melaporkan penyimpangan tentunya dengan penghargaan (reward) jika terbukti dan bermanfaat. Sesama hakim atau pegawai harus juga dapat saling mengawasi dan mencegah, bukan hanya pertemanan atau koneksi. Demikian pula profesi advokat, notaris, atau lainnya juga harus diatur secara tegas dan jelas tentang hukuman terhadap penyimpangannya.
Selanjutnya adalah peningkatan keterlibatan masyarakat sipil dalam pemantauan dan pengungkapan praktik mafia hukum dan peradilan. Demikian pula kampanye untuk menghilangkan budaya suap dan korupsi. Selain edukasi terhadap seluruh aparat penegak hukum, hakim, dan termasuk advokat; dibutuhkan kejelasan sistem yang dapat memudahkan penanganan pelanggaran seperti hukum dan etik yang sangat berat dan dilakukan melalui SOP atau prosedur yang jelas dan objektif.
Pencegahan dan pemberantasan mafia hukum dan peradilan termasuk budaya suap hakim dan penyalahgunaan kewenangan adalah masalah serius yang membutuhkan pendekatan multidimensi. Reformasi struktural, pemanfaatan teknologi, penegakan hukum tegas, dan peningkatan kesadaran integritas harus dilakukan secara konsisten dan simultan. Tanpa upaya serius, kepercayaan publik terhadap hukum di Indonesia akan terus merosot dan tentunya menghambat pembangunan bangsa dan sumber daya manusia Indonesia. Untuk itu saya mendorong pendekatan penegakan hukum (penindakan), pencegahan, pelatihan, dan langkah-langkah sistemik dalam pengambilan kebijakan dan penanganannya harus terus dilakukan secara transparan dan berkelanjutan. Mudah-mudahan komitmen bersama kita akan mampu memberantas mafia hukum dan peradilan yang meresahkan.
*Penulis adalah Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan.