Di depan gerbang kampus, para mahasiswa berlalu-lalang. Beberapa sibuk mengejar kuliah, lainnya duduk menatap layar laptop, mencoba merampungkan proposal skripsi atau tugas kuliah. Di balik itu semua, ada satu pertanyaan sederhana yang pelan-pelan berubah jadi desakan: ke mana sebenarnya larinya uang kampus?
Uang kuliah terus naik, dan plakat akreditasi terpajang di mana-mana. Tapi di ruang dosen, cerita yang terdengar justru sebaliknya: honor dosen masih belum cukup untuk hidup layak. Fasilitas laboratorium sering kali usang. Dan staf akademik yang menopang jalannya birokrasi kampus harus bekerja rangkap hanya demi bertahan hidup. Ironis? Tentu. Tapi lebih dari itu, ini menyakitkan.
Ketika Keuangan Kampus Jadi “Rahasia Negara”
Sebagai institusi pendidikan, kampus seharusnya menjadi ruang paling terbuka, paling jujur, dan paling bisa dipercaya. Tapi kenyataannya, laporan keuangan kampus kerap menjadi dokumen yang tertutup rapat. Sulit diakses. Disajikan dalam format teknis yang rumit. Kalaupun ada, seringkali tidak menjawab pertanyaan esensial: berapa yang benar-benar digunakan untuk pendidikan?
Banyak kampus besar di Indonesia mengelola dana hingga ratusan miliar rupiah per tahun. Sumbernya? Uang mahasiswa, hibah dari pemerintah dan donor internasional, pendapatan dari unit bisnis, hingga dana penelitian. Tapi jumlah sebesar itu tak selalu tercermin dalam kehidupan sehari-hari sivitas akademika.
Kampus Modern, Dosen masih Diupah Seperti Relawan
“Gaji saya Rp1,7 juta sebulan. Itu pun masih dipotong,” kata seorang dosen tetap di salah satu PTS. Ia mengajar dengan gelar magister, membimbing mahasiswa, membuat soal ujian, hingga mengisi beban SKS.
Transparansi Bukan Ancaman, Tapi Kebutuhan
Indonesia Corruption Watch (ICW) berkali-kali mengingatkan bahwa sektor pendidikan adalah salah satu yang paling rentan terhadap praktik korupsi dan penyalahgunaan anggaran. Tapi ironisnya, suara untuk transparansi sering dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Seolah bertanya ke mana larinya uang kampus adalah tindakan yang tidak sopan.
Padahal, keterbukaan informasi adalah bagian dari demokrasi. Mahasiswa, dosen, dan staf kampus berhak tahu bagaimana uang yang mereka kontribusikan digunakan. Ini bukan soal mencurigai. Ini soal membangun kepercayaan dan tanggung jawab bersama.
Harapan Itu masih Ada
Kita tidak butuh kampus yang hanya terlihat megah dari luar. Kita butuh kampus yang jujur, adil, dan berpihak pada kualitas serta kesejahteraan.
Apa yang bisa dilakukan? Tentu saja laporan keuangan harus dipublikasikan secara rutin dan bisa diakses publik, libatkan mahasiswa dan dosen dalam pengawasan anggaran, audit kampus secara independen dan buka hasilnya, pastikan prioritas anggaran benar-benar untuk kualitas pendidikan dan kesejahteraan sivitas, bukan hanya estetika.
Pendidikan bukan hanya soal ruang kelas dan ijazah. Ia adalah soal keadilan, soal keberpihakan, soal harapan akan masa depan yang lebih baik. Dan harapan itu, harus dibangun dari kejujuran sejak hari ini. *yas