Jakarta (Lokapalanews.com) – Skandal suap yang melibatkan hakim dan korporasi minyak goreng mencoreng wajah peradilan Indonesia. Empat hakim diduga kuat menerima suap untuk membebaskan tiga perusahaan besar terdakwa kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO).
Keempat hakim tersebut adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, serta Hakim Tipikor Jakarta Pusat, Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. Selain para hakim, Kejaksaan Agung juga menetapkan tiga tersangka lainnya dalam kasus ini, yaitu seorang advokat bernama Ariyanto, seorang bernama Marcella Santoso, dan seorang panitera bernama Wahyu Gunawan.
Suap ini diduga bertujuan agar ketiga korporasi sawit, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group, mendapatkan putusan bebas dalam kasus korupsi yang mereka hadapi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Maret 2025.
Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan catatan kritis terkait kasus memalukan ini. ICW mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk segera melakukan pembenahan total terhadap sistem internalnya. Penetapan hakim sebagai tersangka suap adalah bukti nyata bahaya laten mafia peradilan di Indonesia. Praktik jual beli putusan untuk memanipulasi hasil persidangan telah mencapai titik yang mengkhawatirkan.
Data ICW mencatat, sejak tahun 2011 hingga 2024, sudah ada 29 hakim yang terjerat kasus korupsi, dengan total nilai suap mencapai lebih dari seratus miliar rupiah. ICW mendesak MA untuk mengakui mafia peradilan sebagai masalah serius yang harus segera diberantas hingga ke akarnya.
MA perlu bekerja sama dengan Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan elemen masyarakat sipil untuk memetakan potensi korupsi di lingkungan pengadilan. Selain itu, mekanisme pengawasan kinerja hakim dan persyaratan penerimaan hakim juga harus diperketat untuk menutup celah korupsi.
Kasus ini juga memperlihatkan betapa kuatnya cengkeraman oligarki dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Industri kelapa sawit di Indonesia dikuasai oleh segelintir perusahaan besar yang membentuk oligopoli, mulai dari produksi CPO hingga minyak goreng.
Oligarki ini memanfaatkan buruknya tata kelola industri sawit untuk mencari keuntungan pribadi melalui praktik perburuan rente. Mereka berusaha mempengaruhi kebijakan dan regulasi pemerintah agar menguntungkan bisnis mereka, termasuk kebijakan terkait ekspor CPO.
Dengan kekuatan finansialnya, oligarki ini juga dengan mudah menghindari jeratan hukum dengan menyuap hakim dalam kasus korupsi yang melibatkan mereka.
Pembiaran oligarki kelapa sawit oleh pemerintah menjadi penyebab utama terjadinya praktik korupsi ini. Oligarki dapat beroperasi tanpa pengawasan ketat dan seringkali mendapatkan berbagai kemudahan seperti insentif pajak, subsidi, dan perizinan.
Pemerintah harus segera memperbaiki tata kelola industri sawit secara menyeluruh, mulai dari hulu hingga hilir, termasuk dengan melakukan moratorium izin dan ekspansi perkebunan kelapa sawit untuk memberantas korupsi di sektor ini.
ICW juga menyoroti perlunya instrumen hukum yang lebih kuat untuk menjerat korporasi dalam kasus korupsi. Data ICW menunjukkan bahwa pelaku korupsi terbanyak setiap tahunnya berasal dari kalangan swasta.
Tren vonis ICW tahun 2023 mencatat 252 pengusaha atau pihak swasta yang menjalani persidangan kasus korupsi, sementara hanya sedikit korporasi yang berhasil didakwa.
Penegak hukum seringkali ragu menggunakan pendekatan vicarious liability untuk menuntut pertanggungjawaban pidana korporasi, padahal dasar hukumnya sudah ada dalam Pasal 20 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi yang seharusnya menjadi panduan, sayangnya masih jarang digunakan.
Selain itu, Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga belum memiliki ketentuan yang memadai dan progresif terkait pemidanaan korporasi. Oleh karena itu, penguatan regulasi di tingkat undang-undang sangat dibutuhkan untuk menyelaraskan interpretasi dan memudahkan penegak hukum dalam menjerat korporasi pelaku korupsi.
Dugaan suap dalam kasus korupsi minyak goreng ini menjadi pengingat pentingnya untuk lebih waspada terhadap kasus korupsi yang melibatkan korporasi.
Penyakit mafia peradilan yang sudah parah dan industri sawit yang rentan dikuasai oleh oligarki dapat menjadi kombinasi berbahaya yang merusak penegakan hukum di Indonesia. *R102