Jakarta (Lokapalanews.com) – Pemerintah menegaskan bahwa perguruan tinggi di Indonesia tidak bisa disamakan. Setiap kampus harus berjalan sesuai konteks daerah dan keunikannya masing-masing.
Dirjen Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek), Khairul Munadi, menekankan pentingnya program penyesuaian kampus dengan potensi lokal.
“Transformasi pendidikan tidak bisa satu model untuk semua. Setiap daerah mempunyai tantangan dan kekuatan yang berbeda-beda,” ujar Khairul saat berkunjung ke Kalimantan Selatan, belum lama ini.
Empat pilar utama pendidikan tinggi – akses, mutu, relevansi, dan dampak – harus dijalankan dengan pendekatan lokal agar benar-benar terasa manfaatnya di masyarakat.
Program Kampus Merdeka, misalnya, tidak harus selalu terjadi dengan industri besar. Di wilayah seperti Kalimantan, mahasiswa bisa magang di pemerintahan atau lembaga lokal. Hal ini bertujuan agar kampus tidak menjadi menara gading, melainkan hadir dan hidup bersama masyarakat.
“Kampus harus jadi tempat lahirnya solusi. Ilmu dari kampus harus menjawab masalah nyata di sekitar kita,” kata Khairul.
Menurutnya, mahasiswa adalah agen perubahan yang membutuhkan ruang untuk berkembang, bukan hanya di ruang kelas, tapi juga dalam kehidupan nyata.
Ia menyebut kampus harus menjadi house of champion, tempat memperjuangkan juara, baik untuk pelajar maupun masyarakat.
Tak hanya itu, Khairul juga mendorong perguruan tinggi negeri (PTN) memperkuat statusnya sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Ini penting untuk tata kelola yang lebih fleksibel dan akuntabel.
Dengan pengelolaan yang baik, kampus bisa lebih cepat menanggapi kebutuhan dan tantangan yang berkembang di masyarakat.
Khusus di Kalimantan, Khairul memberikan apresiasi kepada Universitas Lambung Mangkurat (ULM) yang dinilai mampu menjadi contoh kampus berbasis potensi lokal. Ia berharap ULM bisa menjadi inspirasi dan mitra strategis dalam membentuk generasi unggul Indonesia. “ULM punya potensi jadi rumah pembentuk generasi emas, bukan generasi cemas,” katanya. *R104
