Kampus Swasta Krisis Mahasiswa, Industri Jadi Kambing Hitam?

I Made Suyasa

Di tengah gegap gempita digitalisasi dan inovasi pendidikan, perguruan tinggi swasta (PTS) justru menghadapi ancaman eksistensial yang semakin nyata: krisis mahasiswa baru. Tren penurunan pendaftaran yang terjadi dari tahun ke tahun bukan sekadar penurunan angka, namun peringatan dini bagi masa depan pendidikan tinggi Indonesia.

Serapan Kerja yang Mengecewakan
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto, angkat bicara mengenai fenomena ini. Menurutnya, salah satu penyebab utama krisis ini adalah mandatnya dunia industri nasional. “Lulusan banyak, tapi lapangan kerja minim. Masyarakat mulai ragu, untuk apa kuliah tinggi-tinggi jika akhirnya menganggur?” katanya.

Realitas ini memperkuat anggapan masyarakat bahwa biaya kuliah yang tinggi tak lagi sebanding dengan hasilnya. Terlebih lagi, banyak industri dalam negeri saat ini lebih fokus pada sektor perdagangan dan distribusi daripada produksi riil. “Negara tidak akan bisa melompat maju jika tidak punya dasar produksi. Tanpa produksi, tidak ada serapan kerja. Tanpa kerja, pendidikan menjadi barang mewah yang kehilangan maknanya,” katanya.

Yogyakarta: Barometer Krisis Nasional
DI Yogyakarta yang selama ini dikenal sebagai ‘kota pelajar’ ternyata juga tidak kebal terhadap krisis ini. Kepala LLDIKTI Wilayah V, Setyabudi Indartono, mengungkapkan bahwa lebih dari 100 kampus swasta di DIY mengalami penurunan penerimaan mahasiswa baru hingga 10% setiap tahun. Jika Yogyakarta, dengan ekosistem akademiknya yang kuat, bisa goyah, bagaimana dengan kota-kota lain yang infrastrukturnya tidak bisa melakukan hal itu? Fenomena ini bukanlah isu lokal semata. Ini adalah refleksi dari permasalahan struktural yang menyelamatkan pendidikan tinggi swasta di seluruh Indonesia.

PTN dan Regulasi: Kompetitor dalam Sistem yang tak Seimbang
Persaingan yang tidak sehat juga turut memperparah situasi. Sejak kebijakan dibukanya jalur mandiri, banyak perguruan tinggi negeri (PTN) berlomba-lomba menerima lebih banyak mahasiswa berbayar. Branding PTN yang lebih mapan membuat mereka lebih diincar oleh calon mahasiswa, meninggalkan PTS yang tidak hanya kalah pamor, tetapi juga semakin kesulitan bertahan secara finansial.

Regulasi yang kurang berpihak dan tidak memberikan playing field yang setara justru menempatkan PTS dalam posisi serba salah. Mereka harus tetap kompetitif, padahal sumber daya dan dukungan yang dimiliki jauh dari ideal.

Kampus Swasta harus Memutar Otak
Situasi ini memaksa PTS untuk tidak lagi berpikir konservatif. Berdiam diri menunggu siswa mendaftar bukanlah pilihan. Kampus harus aktif ‘jemput bola’ dengan strategi yang lebih progresif. Mulai dari membangun branding digital, menghadirkan program pembelajaran hybrid atau fleksibel, hingga bekerja sama dengan influencer melalui program beasiswa jalur kreatif – semuanya adalah upaya untuk tetap relevan dan menarik minat Gen Z yang kian disiarkan.

Beberapa kampus bahkan mulai merancang kurikulum yang terintegrasi langsung dengan kebutuhan dunia kerja berbasis industri 4.0, termasuk program magang panjang, proyek real industri, dan kolaborasi dengan startup.

SDM atau Industri Duluan?
Pertanyaan mendasarnya adalah: apa yang harus dibangun lebih dulu SDM unggul atau industri yang kuat? Brian Yuliarto menyatakan bahwa membanjiri pasar dengan lulusan-lulusan pintar tanpa kesiapan sektor industri untuk menyerap mereka hanyalah sia-sia. “Kita seperti membungkus satu tangan dan berharap bisa membangun rumah. SDM dan industri harus tumbuh bersama. Tidak bisa salah satu yang ditinggalkan.”

Menatap Masa Depan dengan Realisme dan Inovasi
Krisis yang dihadapi kampus swasta saat ini sebenarnya bukan akhir dari segalanya, melainkan titik balik yang menantang. Jika mampu beradaptasi, berevolusi, dan membangun strategi kolaborasi, PTS masih bisa menjadi tulang punggung pendidikan tinggi yang melahirkan generasi unggul.
Namun untuk itu, dukungan dari negara dan keberpihakan kebijakan sangat dibutuhkan. Tanpa itu, kita hanya akan menyaksikan satu per satu kampus swasta gulung tikar – bukan karena kualitasnya, tapi karena sistem yang tidak adil. *

Lokapalanews.com hadir sebagai salah satu media daring terpercaya di Indonesia dengan informasi tajam, terpercaya, mencerahkan!