Kolom  

Mengintegrasikan Trisakti Soekarno Dalam Kebijakan Pengelolaan Ruang Udara

Oleh Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H. (Anggota Panitia Khusus RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara dari Fraksi PDI-Perjuangan)

Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H.

Pendahuluan
Dalam pidato peringatan 17 Agustus 1964, untuk pertama kalinya Presiden Soekarno menyampaikan gagasan tentang Trisakti, yaitu Berdaulat dalam politik, Berdikari dalam bidang ekonomi, dan Berkepribadian dalam berkebudayaan. Gagasan ini dipicu karena pengalaman kolonialisme di Indonesia yang berdampak pada rusaknya mental bangsa, sistem perekonomian yang tergantung pada pasokan asing, serta mental terjajah yang menggerus budaya bangsa sehingga melupakan semangat gotong royong yang menjadi modal sosial dalam meneguhkan solidaritas politik maupun ekonomi Indonesia. Singkatnya, Trisakti mengajarkan tiga prinsip untuk membangkitkan mental kejayaan nusantara.

Sejak kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, telah menjadi sebuah konsekuensi logis dan anugerah, bahwa Indonesia mendapatkan kedaulatannya sebagai suatu negara. Kedaulatan ini merupakan suatu hal yang harus senantiasa dijaga dan dipertahankan. Salah satunya adalah kedaulatan dalam mengelola kekayaan sumber daya yang meliputi sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia, sebagai berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa.

Ruang udara juga merupakan salah satu komponen dari kekayaan sumber daya yang perlu dijaga sebagai modal dasar pembangunan untuk mengakomodir berbagai kepentingan. Kepentingan tersebut meliputi kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya serta lingkungan hidup.

Soekarno pernah menegaskan konsepsi ini dalam sebuah kesempatan pada peringatan HUT TNI Angkatan Udara tahun 1955, Soekarno berpesan, “Kuasai Udara Untuk Melaksanakan Kehendak Nasional, Karena Kekuatan Nasional di Udara Adalah Faktor Yang Menentukan Dalam Perang Modern.” Pernyataan ini menunjukkan visi Soekarno tentang pentingnya penguasaan ruang udara bagi kedaulatan dan keamanan nasional.

RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara merupakan respons strategis terhadap meningkatnya kompleksitas penggunaan ruang udara nasional. Pengaturan ini mendesak seiring kemajuan teknologi seperti drone, pesawat nirawak, serta kebutuhan integrasi antara kepentingan sipil, militer, dan internasional.

Urgensi RUU ini semakin nyata dengan munculnya berbagai persoalan aktual di lapangan, seperti:
– Pelanggaran wilayah udara oleh pesawat asing tanpa izin;
maraknya penggunaan drone, balon udara, dan objek lainnya secara ilegal, termasuk di wilayah terlarang seperti objek vital nasional;
– Ketidaksinkronan antara kepentingan sipil dan militer dalam pengaturan ruang udara;
– Ketiadaan regulasi komprehensif untuk pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran udara; dan
– Lemahnya sistem pengawasan dan data integrasi ruang udara nasional yang menghambat efisiensi penerbangan sipil dan mitigasi risiko keamanan.

Oleh karena itu, pengaturan ruang udara secara komprehensif menjadi keharusan untuk memastikan kedaulatan negara, keselamatan penerbangan, keberlanjutan lingkungan, serta kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan. Tulisan singkat ini akan menguraikan lebih lanjut pemikiran Soekarno yang sangat relevan dengan konsepsi RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara.

Trisakti Soekarno dan Kedaulatan Ruang Udara Indonesia
Dalam konteks Indonesia, Trisakti, menurut Soekarno, merupakan gambaran dari tiga masalah yang perlu segera diperbaiki oleh bangsa Indonesia dengan cepat. Soekarno melihat bahwa diperlukan perbaikan dalam berbagai aspek kenegaraan dalam negara Indonesia agar dapat keluar dari jebakan. Trisakti sebagai sebuah gagasan politik diterjemahkan ke dalam 3 (tiga) poin, yaitu (1) kedaulatan politik, (2) kemandirian ekonomi, dan (3) berkepribadian dalam bidang sosial dan budaya.

Pertama, secara politik bangsa Indonesia masih belum mampu menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah bangsa karena masih kuatnya aliansi pusat-satelit antara penjajah dan negara terjajah. Artinya, hubungan ketergantungan kepada penjajah masih kuat, baik itu dalam bentuk patronase politik maupun patronase ekonomi. Kondisi ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia belum sepenuhnya berdaulat secara politik, karena masih rawan dirongrong oleh pihak-pihak penjajah.

Kedua, secara ekonomi bangsa Indonesia juga mengalami ketergantungan terhadap pasokan bantuan ekonomi asing agar dapat mengembangkan ekonominya secara mandiri. Namun tak disangka, ketergantungan tersebut membuat perekonomian nasional dieksploitasi melalui keberadaan borjuasi nasional yang berkolaborasi dengan imperialisme global dalam memperoleh keuntungan pribadi.

Ketiga, secara kultural, mentalitas kolonial membuat bangsa ini melupakan semangat gotong royong sebagai modal sosial dalam memperkuat solidaritas politik dan ekonomi. Budaya Indonesia semakin teracuni oleh esensi individualisme dan liberalisme yang ditanamkan dalam skema free fight liberalism. Ketiga masalah tersebut merupakan bentuk ancaman dari sisa-sisa kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme yang telah menemukan bentuknya yang baru dalam wujud nekolim.

Melalui ketiga aspek kehidupan bernegara tersebut, nekolim berusaha menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Budaya Indonesia semakin teracuni oleh esensi individualisme dan liberalisme yang ditanamkan dalam skema free fight liberalism. Ketiga masalah tersebut merupakan bentuk ancaman dari sisa-sisa kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme yang menemukan bentuk baru dalam wujud nekolim, melalui ketiga aspek kehidupan bernegara tersebut, nekolim mencoba menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Budaya Indonesia semakin teracuni oleh esensi individualisme dan liberalisme yang ditanamkan dalam skema free fight liberalism. Ketiga masalah tersebut merupakan bentuk ancaman dari sisa-sisa kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme yang menemukan bentuk baru dalam wujud nekolim. Melalui ketiga aspek kehidupan bernegara tersebut, nekolim berusaha menancapkan pengaruhnya di Indonesia.

Pemikiran Soekarno mengenai Trisakti ini sangat relevan dengan konsepsi  RUU tentang Ruang Udara. Sebab kebijakan ruang udara harus dirumuskan dan diputuskan secara mandiri oleh bangsa Indonesia, tanpa adanya tekanan atau intervensi dari negara lain atau kepentingan asing. Ini berarti Indonesia harus memiliki kemampuan untuk menentukan batas wilayah udara, mengatur lalu lintas udara, dan menetapkan aturan-aturan yang berlaku di wilayah udaranya sesuai dengan kepentingan nasional.

Kedaulatan politik dalam ruang udara berarti Indonesia memiliki kontrol penuh dan eksklusif atas wilayah udaranya. Ini termasuk penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara oleh pihak asing dan kemampuan untuk melindungi kepentingan nasional di udara.

Kebijakan ruang udara Indonesia juga harus mampu mendorong kemandirian ekonomi bangsa. Ini dapat dilakukan dengan memprioritaskan pemanfaatan sumber daya dan potensi nasional dalam industri penerbangan, navigasi udara, dan teknologi kedirgantaraan.

Pengelolaan ruang udara harus memberikan manfaat ekonomi yang maksimal bagi rakyat Indonesia, baik melalui pendapatan negara, penciptaan lapangan kerja, maupun pengembangan wilayah.

Kebijakan ruang udara, meskipun bersifat teknis, tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Aspek budaya dan kearifan lokal dapat diintegrasikan dalam pengembangan pariwisata udara atau penamaan fasilitas dan wilayah udara.  Ruang udara sebagai bagian dari wilayah NKRI harus menjadi simbol persatuan dan identitas nasional. Pengelolaan dan penamaannya harus mencerminkan kebanggaan terhadap Indonesia.

Oleh karena itu, Pemikiran Trisakti Bung Karno sangat relevan dengan kebijakan ruang udara Indonesia. Untuk mewujudkan kedaulatan yang hakiki di wilayah udara, kebijakan harus didasarkan pada prinsip berdaulat dalam politik (kemandirian dalam pengambilan keputusan dan penguasaan wilayah), berdikari dalam ekonomi (pemanfaatan potensi nasional dan kemandirian industri), dan berkepribadian dalam kebudayaan (pelestarian nilai-nilai luhur dan penguatan identitas nasional). Implementasi Trisakti dalam kebijakan ruang udara akan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat di mata dunia.

Aspek Filosofis, Sosiologis dan Yuridis Pengelolaan Ruang Udara
RUU ini berakar pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, yang menjadi dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Pendekatan filosofis terhadap pengaturan ruang udara dapat dikaji secara mendalam melalui nilai-nilai utama Pancasila:

Ketuhanan Yang Maha Esa
Prinsip ini menekankan bahwa pengelolaan ruang udara harus menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika, serta menghormati kepercayaan masyarakat terhadap Tuhan. Ini berarti bahwa segala aktivitas dalam ruang udara harus menghindari kerusakan lingkungan atau penggunaan yang merugikan umat manusia secara spiritual maupun fisik.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
RUU ini harus menjamin bahwa ruang udara digunakan secara adil dan tidak membahayakan keselamatan manusia. Pengaturan penggunaan drone, lalu lintas penerbangan, dan pelanggaran wilayah udara harus dilakukan dengan pendekatan yang beradab dan menghargai martabat manusia.

Persatuan Indonesia
Pengelolaan ruang udara merupakan simbol dan instrumen kedaulatan. Dengan adanya regulasi yang kuat, RUU ini memperkuat persatuan nasional melalui kontrol atas wilayah strategis, termasuk wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar.

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Pengaturan ruang udara harus melibatkan partisipasi publik, termasuk masyarakat adat, dunia usaha, dan pemerintah daerah, dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan strategis.

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
RUU ini harus menjamin bahwa pemanfaatan ruang udara memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Tidak boleh ada monopoli atau eksploitasi ruang udara oleh pihak tertentu yang merugikan kepentingan umum.

Filosofi dasar pengaturan ini juga mencerminkan:
Kedaulatan Negara: Menegaskan otoritas penuh negara atas ruang udara nasional.
Keselamatan dan Kesejahteraan: Menyediakan payung hukum untuk perlindungan keselamatan penerbangan dan optimalisasi pemanfaatan ruang udara demi kesejahteraan masyarakat.
Keseimbangan: Harmonisasi antara kepentingan militer, sipil, lingkungan, dan teknologi serta UUD 1945, khususnya prinsip kedaulatan dan perlindungan warga negara.
Kedaulatan Negara: Menegaskan otoritas penuh negara atas ruang udara nasional.
Keselamatan dan Kesejahteraan: Menyediakan payung hukum untuk perlindungan keselamatan penerbangan dan optimalisasi pemanfaatan ruang udara demi kesejahteraan masyarakat.

Selanjutnya, dinamika sosial dan kebutuhan nyata masyarakat serta negara yang terus berkembang akibat disrupsi teknologi dan perubahan pola kehidupan modern dapat dianalisis melalui aspek sosiologis, yaitu:

Meningkatnya Penggunaan Drone dan UAV oleh Masyarakat
Menurut data Kementerian Perhubungan (2022), lebih dari 3.500 drone beroperasi tanpa izin resmi, banyak di antaranya melanggar zona larangan seperti bandara, instalasi militer, dan fasilitas publik. Ini menimbulkan keresahan masyarakat serta ancaman keselamatan dan keamanan.

Kesadaran Hukum yang Rendah
Berdasarkan survei LIPI (2021), 68% responden tidak mengetahui adanya larangan penggunaan drone di wilayah tertentu. Ini menunjukkan kebutuhan akan sosialisasi, literasi hukum, dan penguatan regulasi.

Ketimpangan Akses dan Penguasaan Teknologi
Akses terhadap ruang udara oleh komunitas adat atau daerah terpencil masih terbatas karena dominasi aktor besar seperti korporasi atau negara. Ini menimbulkan potensi konflik sosial dan kesenjangan manfaat.

Peningkatan Mobilitas Udara dan Urbanisasi
Di kota-kota besar, penggunaan taksi udara dan logistik udara berbasis drone mulai dikembangkan. Tanpa pengaturan yang jelas, inovasi ini bisa menimbulkan ketegangan antarsektor, ketidakteraturan lalu lintas udara, dan risiko sosial lainnya.

Kebutuhan Partisipasi Publik
Masyarakat menuntut hak untuk dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait ruang udara, terutama yang berdampak langsung terhadap lingkungan hidup dan tata ruang tempat tinggal mereka.

Dengan demikian, RUU ini harus menjawab kebutuhan riil masyarakat, menjamin rasa aman, dan menghindari konflik horizontal melalui pengaturan yang inklusif dan berpihak pada kepentingan bersama.

Terakhir, analisis aspek yuridis setidaknya melihat landasan hukum atas urgensinya pengaturan pengelolaan ruang udara dan kesesuaian asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

Landasan Hukum
RUU ini didasarkan pada dan memperkuat berbagai ketentuan hukum nasional dan internasional:

Pasal 25A UUD 1945
Menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan kedaulatan wilayah yang mencakup darat, laut, dan udara.

UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
Mengatur asas dan prinsip umum penerbangan, namun belum mencakup aspek pengelolaan ruang udara secara menyeluruh.

UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
Menyiratkan penguasaan atas ruang udara sebagai aspek strategis pertahanan.

Konvensi Chicago 1944
Menegaskan kedaulatan penuh setiap negara atas ruang udara di atas wilayahnya.

Kesesuaian asas pembentukan peraturan perundang-undangan
RUU ini telah sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 13 Tahun 2022:

Asas kejelasan tujuan
RUU ini bertujuan jelas untuk melindungi kedaulatan dan keselamatan ruang udara nasional.

Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
Materi yang dimuat sesuai dengan kedudukannya sebagai undang-undang nasional.

Asas dapat dilaksanakan
RUU ini memperhatikan kapasitas lembaga dan sumber daya yang tersedia.

Asas keterbukaan
RUU ini mengatur partisipasi publik dan transparansi dalam pelaksanaannya.

Asas keadilan dan kepastian hukum
Menjamin perlindungan hukum dan tidak menimbulkan multitafsir.

Masukan Terkait Sistematika dan Materi Muatan
Walaupun Panitia Khusus yang membahas RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara baru terbentuk pada 6 Maret 2025, tapi sebagai masukan awal terhadap sistematika dan materi muatan adalah:

Perlu dimuat norma khusus ruang udara atas kawasan strategis: militer, adat, konservasi.
Tambahan ketentuan teknis dan klasifikasi drone/UAV.
– Harmonisasi dengan hukum udara internasional dan teknologi 4.0.
– Penegasan peran publik dan swasta dalam monitoring ruang udara.
– Penguatan kapasitas institusi pengawas, SDM, dan teknologi pemantauan.
– Penyesuaian dengan UU Perlindungan Data Pribadi terkait penggunaan perangkat udara berkemampuan kamera atau perekaman.

Kesimpulan
RUU Pengelolaan Ruang Udara merupakan perangkat hukum yang sangat strategis dalam menjamin kedaulatan, keselamatan, dan keadilan pemanfaatan ruang udara nasional. Menyusun Naskah Akademik yang didalamnya terdapat landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis yang komprehensif menunjukkan bahwa regulasi ini tidak hanya dibutuhkan secara teknis, tetapi juga sebagai bentuk pemenuhan nilai-nilai dasar negara.

Pengaturan pengelolaan ruang udara diarahkan untuk dapat mewujudkan semangat trisakti Soekarno dengan prinsip negara berdaulat penuh dan eksklusif dalam pengelolaan fungsi ruang udara secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna serta keberlanjutannya untuk kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu arah pengaturan pengelolaan ruang udara adalah untuk memberikan dasar hukum pengaturan dalam pengelolaan ruang udara yang memberikan kepastian hukum, keadilan,dan kemanfaatan.

Rekomendasi
– Percepatan pembahasan dan pengesahan RUU ini dengan pelibatan multipihak.
– Penguatan substansi mengenai teknologi baru seperti UAV, cyber-air defense, dan urban air mobility.
– Penyusunan peta jalan (roadmap) implementasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
– Pengembangan sistem pemantauan udara nasional berbasis kecerdasan buatan dan big data.
– Integrasi dengan kebijakan ruang laut dan darat agar tercapai sinergi dalam tata ruang nasional. *

 

Lokapalanews.com hadir sebagai salah satu media daring terpercaya di Indonesia dengan informasi tajam, terpercaya, mencerahkan!