Di balik dinding-dinding kampus yang seharusnya menjadi katedral ilmu pengetahuan, tersembunyi ironi yang begitu pedih. Para dosen, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam mencetak generasi penerus bangsa, justru terjerat dalam labirin kemiskinan yang menyesakkan. Gelar-gelar akademik yang mereka raih dengan susah payah, pengorbanan waktu dan materi yang tak terhingga, seolah tak lagi memiliki arti di hadapan realitas gaji yang jauh dari kata layak. Sebuah tragedi intelektual yang menggerogoti fondasi pendidikan tinggi negeri ini.
Bayangkanlah, para sarjana dan magister ini, yang telah mengabdikan diri untuk mendalami ilmu pengetahuan dan mentransfernya kepada generasi muda, harus menerima kenyataan pahit bahwa jerih payah mereka dihargai setara, bahkan lebih rendah, dari seorang pekerja bangunan. Beban Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mereka emban bukanlah sekadar rutinitas mengajar, melainkan juga kewajiban melakukan penelitian yang inovatif dan pengabdian kepada masyarakat yang membutuhkan. Mereka adalah “setengah dewa” di dunia akademik, namun ironisnya, kesejahteraan mereka jauh dari kata “layak”.
Lebih tragis, survei yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Kampus (SPK) dengan jelas memperlihatkan betapa mirisnya kondisi ini: mayoritas dosen hanya membawa pulang gaji di bawah Rp3 juta. Sebuah angka yang tak hanya tidak manusiawi, tetapi juga merendahkan martabat kaum intelektual yang seharusnya menjadi motor penggerak kemajuan bangsa.
Luka ini terasa semakin menganga lebar di lingkungan perguruan tinggi swasta (PTS). Di sana, para dosen seringkali harus berjuang dengan gaji di bawah Rp2 juta. Sebuah ironi yang sungguh memilukan, mengingat tanggung jawab mereka yang sama besarnya dengan rekan-rekan di perguruan tinggi negeri. Bagaimana mungkin semangat untuk mencerdaskan anak bangsa dapat terus berkobar, jika para pendidiknya sendiri harus berjuang keras untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar hidup?
Setiap hari, telepon genggam para pengurus serikat pekerja kampus tak berhenti berdering, dipenuhi dengan keluhan dan jeritan hati para dosen. Bukan hanya soal gaji yang minim, tetapi juga tentang lingkungan kerja yang penuh tekanan, ketidakpastian karier, dan bahkan ancaman pemberhentian bagi mereka yang berani menyuarakan ketidakadilan. Praktik penahanan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) menjadi simbol betapa rentannya posisi mereka, seolah-olah kebebasan untuk mencari kehidupan yang lebih baik pun dirampas. Kisah-kisah pilu seperti “Bu Melani,” yang selama bertahun-tahun terombang-ambing tanpa kejelasan status hanya karena ingin pindah ke kampus yang lebih menghargai, adalah potret buram dari sistem yang kurang berpihak pada para pendidik.
Data dari LP3ES semakin memperkuat narasi keprihatinan ini. Hanya sebagian kecil, tak lebih dari 9 persen dosen di Indonesia, yang dapat menikmati gaji di atas Rp5 juta. Mayoritas lainnya harus berjuang dengan penghasilan yang jauh di bawah standar kelayakan hidup. Ketidakadilan ini bukan hanya menciptakan jurang kesejahteraan, tetapi juga berpotensi meruntuhkan motivasi dan dedikasi para dosen dalam menjalankan tugas mulia mereka. Bagaimana mungkin kita mengharapkan lahirnya generasi yang cerdas dan berdaya saing, jika para pendidiknya sendiri merasa terpinggirkan dan tidak dihargai?
Di tengah kegelapan ini, janji Kemendiktisaintek untuk segera menuntaskan pembahasan mengenai peningkatan gaji dosen pada akhir Juni mendatang menjadi secercah harapan yang dinanti-nantikan. Penegasan ini disampaikan langsung oleh Direktur Sumber Daya Kemendiktisaintek, Prof. Sri Suning Kusumawardani. Ia menyatakan bahwa pihaknya tengah intens mengkaji formulasi gaji yang lebih berkeadilan bagi para pengajar di perguruan tinggi.
“Pengembangan tarif dosen, ini kita sedang terus melakukan, berusaha untuk segera mengeluarkan rencana dan juga mengembangkan. Harapannya nanti di akhir Juni, kita sudah mendapatkan hal tersebut. Hal tersebut yang menjadi kepastian hukum,” ujar Prof. Sri Suning dalam acara Ngopi bareng Kemendiktisaintek di Jakarta, Selasa (29/4).
Langkah ini tentu menjadi angin segar di tengah keluhan bertubi-tubi mengenai kesejahteraan dosen yang selama ini dianggap kurang memadai, bahkan tak sebanding dengan beban kerja dan tingkat pendidikan yang diemban.
Seperti diketahui, regulasi mengenai gaji dosen sebenarnya telah tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2024. Namun, aturan yang diteken pada September 2024 tersebut masih terus dievaluasi, terutama terkait aspek penggajian.
Saat ini, sistem penggajian dosen masih mengacu pada peraturan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk dosen tetap, dan peraturan ketenagakerjaan untuk dosen tidak tetap. Komponen tunjangan dosen meliputi tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan tunjangan kehormatan.
Selain fokus pada pengembangan gaji, Kemendiktisaintek juga tengah merancang program peningkatan kualifikasi dosen. Salah satunya adalah Beasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor Untuk Sarjana Unggul (PMDSU).
Program ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia di perguruan tinggi dan mendorong kolaborasi antara akademisi dengan dunia industri.
Target penyelesaian pembahasan gaji dosen pada akhir Juni ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan meningkatkan kesejahteraan para pendidik, sehingga mereka dapat lebih fokus dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan berkontribusi maksimal bagi kemajuan bangsa.
Kenaikan gaji hanyalah langkah awal. Perlu adanya reformasi sistemik yang komprehensif, yang tidak hanya meningkatkan pendapatan, tetapi juga memberikan kepastian hukum, perlindungan hak-hak, dan lingkungan kerja yang kondusif bagi para dosen. Suara-suara dari serikat pekerja dosen harus didengar dan diakomodasi, agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar mampu menjawab permasalahan yang ada.
Program-program peningkatan kapasitas dosen yang dicanangkan oleh Kemendiktisaintek, seperti beasiswa dan platform pengembangan kompetensi, tentu saja merupakan langkah positif. Namun, upaya peningkatan kualitas ini akan terasa sia-sia jika fondasi kesejahteraan para dosen masih rapuh. Mereka adalah ujung tombak pendidikan tinggi, garda terdepan dalam mencetak masa depan bangsa. Bagaimana mungkin mereka dapat menjalankan tugas mulia ini dengan optimal jika pikiran mereka terus dihantui oleh masalah ekonomi yang mendera?
Sudah saatnya bangsa ini membuka mata dan menyadari betapa pentingnya peran para dosen dalam membangun peradaban yang lebih baik. Gaji yang layak bukanlah sekadar hak, melainkan juga investasi jangka panjang bagi kualitas pendidikan dan masa depan bangsa. Jangan biarkan tangisan para guru bangsa terus menggema di tengah sunyinya malam. Kebijakan Kemendiktisaintek terkait gaji dosen harus menjadi babak baru dalam menghargai dan memuliakan para pendidik, bukan sekadar janji-janji kosong yang hanya menambah luka di hati mereka. Masa depan Indonesia ada di tangan para dosen, dan kesejahteraan mereka adalah fondasi utama untuk membangun bangsa yang cerdas, berkarakter, dan berdaya saing global. *