Iklan Berganti

Jeritan Pilu Dosen Senja: Hanya Rp 50 Ribu Harga Sebuah Pengabdian?

Gerbang kampus swasta itu menjulang gagah, simbol kemajuan dan tempat lahirnya para cendekiawan. Namun, di balik kemegahannya, tersembunyi sebuah ironi yang menganga, sebuah luka yang menganga dalam dunia pendidikan kita. Di sana, di antara lorong-lorong ilmu yang dulu mereka rambah dengan penuh semangat, kini bersemayam para dosen senior yang memasuki masa purna bakti, namun tak jua menemukan kedamaian dan penghargaan yang selayaknya.

Kontrak kerja yang diperpanjang setiap tahun, alih-alih menjadi wujud terima kasih atas pengabdian puluhan tahun, justru terasa seperti beban yang terus menghimpit. Mereka, yang dulu adalah pilar-pilar utama institusi, kini hidup dalam ketidakpastian, menunggu belas kasihan perpanjangan kontrak layaknya seorang pekerja harian.

Dan yang lebih menyayat hati, imbalan atas ilmu dan waktu yang mereka curahkan tak ubahnya sebuah penghinaan: Rp 50 ribu per jam mengajar. Tanpa tunjangan kesehatan, tanpa jaminan hari tua yang layak. Angka yang bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sederhana di era serba mahal ini. Bagaimana mungkin para pendidik yang telah berjasa ini dapat mempertahankan martabat dan kehormatan dirinya dengan upah yang sedemikian rendah?

Keputusan ini, yang kabarnya diputuskan secara sepihak oleh pimpinan PTS, tanpa melibatkan musyawarah dengan pihak-pihak terkait, adalah sebuah tamparan keras bagi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Di mana letak empati dan kebijaksanaan para pemimpin institusi pendidikan ketika memperlakukan para seniornya dengan cara yang sedemikian merendahkan? Bukankah mereka adalah fondasi intelektual kampus, sumber kearifan yang tak ternilai harganya?

Para petinggi PTS yang terhormat, coba renungkan sejenak. Bayangkan jika orang tua atau kakek nenek Anda diperlakukan seperti ini di masa senjanya. Bagaimana perasaan Anda? Apakah hati Anda tidak tergerak melihat para pendidik yang telah mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan anak bangsa, kini harus berjuang untuk sekadar bertahan hidup layak?

Ingatlah, institusi pendidikan bukan hanya tentang gedung megah dan jumlah mahasiswa. Jantung dari sebuah perguruan tinggi adalah para pendidiknya, terutama mereka yang telah menorehkan sejarah dan memberikan kontribusi besar. Memperlakukan mereka dengan tidak layak bukan hanya mencoreng citra institusi, tetapi juga mengkhianati amanah dunia pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika.

Keputusan ini bukan hanya berdampak pada kesejahteraan para dosen senior, tetapi juga mengirimkan pesan yang buruk kepada generasi muda. Apa yang akan dipelajari oleh para mahasiswa ketika melihat para dosennya di masa senja diperlakukan dengan tidak adil? Apakah mereka akan termotivasi untuk mengabdikan diri pada dunia pendidikan jika masa depan mereka tampak suram dan tidak terjamin?

Sudah saatnya para petinggi PTS membuka mata hati dan pikiran. Kekuasaan dan jabatan yang diemban adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Jangan biarkan keserakahan dan keangkuhan membutakan mata hati hingga mengabaikan nasib para dosen senior yang telah berjasa.

Mari kita bangun kembali budaya penghargaan dan penghormatan di lingkungan kampus. Mari kita tunjukkan bahwa kita adalah komunitas akademik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Pertimbangkan kembali keputusan yang tidak adil ini. Berikanlah imbalan yang layak bagi para dosen senior, bukan hanya sebagai bentuk materi, tetapi juga sebagai pengakuan atas dedikasi dan pengabdian mereka yang tak ternilai harganya.

Ingatlah, kehormatan sebuah institusi pendidikan tidak hanya diukur dari kemegahan bangunannya, tetapi juga dari bagaimana ia memperlakukan para pahlawan pendidikannya. Jangan biarkan kisah pilu para dosen senja ini menjadi noda abadi dalam sejarah PTS Anda. Mari kita bersama-sama menciptakan lingkungan pendidikan yang adil, humanis, dan bermartabat bagi semua. *

Lokapalanews.com hadir sebagai salah satu media daring terpercaya di Indonesia dengan informasi tajam, terpercaya, mencerahkan!