Di balik gerbang salah satu perguruan tinggi swasta (PTS), udara kekuasaan tunggal terasa begitu pekat, mencekik kebebasan berpikir dan berkreasi. Alih-alih menjadi ruang inkubasi ide dan kolaborasi yang dinamis, kampus ini justru menjelma menjadi teater bisu, di mana monolog seorang pemimpin bergema tanpa respons berarti dari khalayak akademisi yang terbungkam. Keputusan-keputusan krusial, yang seharusnya menjadi hasil dari dialektika intelektual, dilahirkan secara sepihak, dipaksakan bagai dekrit dari langit, menganga jurang antara elite penguasa dan komunitas akademik yang terpinggirkan.
Bagaimana mungkin institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir nalar kritis dan partisipasi demokratis justru terjerumus ke dalam praktik kepemimpinan yang usang dan represif? Sang nahkoda, yang seharusnya memandu kapal ilmu pengetahuan dengan kearifan dan keterbukaan, bertransformasi menjadi tirani kecil yang alergi terhadap kritik, imun terhadap saran konstruktif, dan terperangkap dalam ilusi omnipotensi. Gagasan-gagasan cemerlang dari para cendekiawan dan staf pengajar membentur tembok arogansi yang kokoh, sementara kebijakan-kebijakan strategis yang menentukan masa depan institusi diputuskan dalam sunyi kesendirian, tanpa melibatkan mereka yang akan menanggung konsekuensinya.
“Dulu, setiap kebijakan strategis selalu kita telaah bersama. Forum rapat pimpinan adalah ruang terbuka di mana setiap suara dihargai dan dipertimbangkan dengan seksama. Sekarang? Jangankan urun rembuk, kami seringkali hanya bisa menarik napas panjang saat menerima surat edaran yang tiba-tiba muncul, mengumumkan keputusan yang bahkan tak pernah kami dengar prosesnya,” kata salah seorang dosen.
Ketidakpedulian pemimpin terhadap denyut nadi komunitas kampus ini bagai kanker yang perlahan menggerogoti vitalitas dan semangat juang. Konsekuensi dari kepemimpinan yang pongah ini sungguh mengenaskan. Para pekerja ilmu pengetahuan, yang merasa direduksi menjadi sekadar alat pelaksana kebijakan tanpa hak untuk berpendapat, mulai menunjukkan simptom apatisme yang kronis. Inisiatif layu sebelum berkembang, inovasi terpasung oleh ketidakberdayaan, dan yang paling tragis, rasa memiliki terhadap institusi yang seharusnya mereka bangun bersama pun terkikis habis. Mereka hadir hanya sebagai formalitas, menjalankan tugas tanpa antusiasme, tanpa lagi bara semangat untuk melampaui ekspektasi. Loyalitas menguap seiring dengan bertambahnya rasa frustrasi dan alienasi.
“Untuk apa kami bersusah payah menawarkan perspektif baru atau solusi kreatif jika pada akhirnya semua ide hanya akan mentah di meja pimpinan yang tertutup rapat? Lebih baik kami menjadi robot-robot penurut saja, meskipun akal sehat kami berteriak bahwa ada jalan yang lebih baik,” ujar seorang staf administrasi dengan nada getir bercampur sinisme. Ketiadaan komunikasi yang jujur dan transparan menciptakan jurang yang semakin dalam antara “mereka di atas” dan “kami di bawah.” Kecurigaan dan ketidakpercayaan tumbuh subur di lahan yang kering akan dialog.
Sungguh ironis, di saat institusi pendidikan tinggi lainnya berpacu menciptakan ekosistem kerja yang kolaboratif, inklusif, dan responsif, PTS yang terperangkap dalam cengkeraman otoritarianisme ini justru bergerak mundur, menuju kegelapan stagnasi. Potensi luar biasa yang terpendam dalam diri para akademisi dan staf terbuang percuma akibat kepemimpinan yang tidak akuntabel dan terindikasi kuat memiliki tendensi narsistik.
Sudah saatnya bagi pihak yayasan dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengambil tindakan tegas. Membiarkan praktik kepemimpinan yang opresif ini berlanjut hanya akan menyeret PTS ini menuju jurang kehancuran yang tak terhindarkan. Diperlukan audit menyeluruh terhadap praktik kepemimpinan yang berjalan, serta implementasi prinsip-prinsip tata kelola perguruan tinggi yang baik (good governance) dan partisipatif secara konsisten.
Menara gading seharusnya menjadi simbol kearifan kolektif dan semangat kebersamaan, bukan monumen keangkuhan dan kekuasaan absolut. Jika perubahan fundamental tidak segera diinisiasi, bukan mustahil PTS yang dulunya menjadi kebanggaan akan tercatat dalam sejarah pendidikan tinggi sebagai monumen kelam, tempat di mana arogansi seorang pemimpin telah merenggut vitalitas intelektual dan potensi tak terhingga dari seluruh komunitas akademika. *R104