Iklan Berganti

DPR Desak RI Tinjau Ulang Kebijakan Luar Negeri!

Ketua Grup Kerja Sama Bilateral (GKSB) DPR RI-Parlemen Palestina Syahrul Aidi Maazat. Foto : Dok/Andri

Jakarta – Dinamika geopolitik global yang memanas, dicontohkan oleh konflik India-Pakistan, mendorong seruan dari Parlemen agar Indonesia meninjau ulang arah kebijakan luar negerinya. Pergeseran teknologi persenjataan menjadi salah satu sorotan utama dalam hal ini.

Seruan ini datang dari Ketua Grup Kerja Sama Bilateral (GKSB) DPR RI-Parlemen Palestina, Syahrul Aidi Maazat. Ia menyampaikannya dalam diskusi “Mitigasi Geopolitik Indonesia Menghadapi Dampak Perang India – Pakistan” di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (16/5/2025).

Syahrul menyoroti bagaimana konflik India-Pakistan baru-baru ini menunjukkan perubahan signifikan dalam peta kekuatan militer global. “Kita melihat dari hasil perang itu, ada kemenangan di pihak Pakistan,” ujarnya, menggarisbawahi hasil aktual di lapangan.

Kemenangan Pakistan tersebut, menurut analisis Syahrul, tidak lepas dari dukungan kekuatan teknologi persenjataan yang berasal dari Tiongkok. Ini menjadi kontras dengan kondisi pihak lawan. “Sementara India kalah meski alat tempurnya berasal dari Amerika dan Rusia,” lanjut politisi Fraksi PKS ini.

Berkaca dari situasi tersebut, ia menekankan krusialnya Indonesia untuk mulai melirik dan mempertimbangkan sumber persenjataan alternatif. Tiongkok disebut sebagai salah satu opsi strategis untuk memperkuat daya tawar dan postur pertahanan nasional di tengah ketidakpastian global.

Dalam peta geopolitik yang kian terpolarisasi, Syahrul menilai Indonesia tidak bisa lagi hanya bersikap netral tanpa arah yang jelas. “Pakistan didukung China dan Rusia, sementara India oleh Amerika dan sekutunya. Indonesia harus cermat menentukan sikap dengan strategi yang cerdas,” tegasnya.

Meskipun Indonesia menganut kebijakan luar negeri politik bebas aktif, Syahrul berpendapat bahwa negara tetap perlu menyiasati agar memiliki daya tawar kerja sama yang tinggi. Hal ini penting, baik dalam menjalin hubungan dengan Tiongkok maupun dengan Amerika Serikat dan sekutunya.

“Saya lihat Arab Saudi misalnya, Arab Saudi hubungan dengan Amerika kuat, tetapi di jalan hubungan dengan Chinanya juga kuat, sehingga daya tawarnya akan naik,” jelas legislator dari daerah pemilihan Riau ini, memberikan contoh bagaimana negara lain bermanuver.

Tanpa strategi cerdas dan daya tawar yang kuat, posisi Indonesia dikhawatirkan akan menjadi lemah dan hanya bisa bergantung pada negara-negara besar. “Kalau kita lihat ya, sebuah negara itu akan disegani ketika dia, negaranya itu dibutuhkan oleh banyak orang, dan oleh banyak negara lain,” paparnya.

Oleh karena itu, menurutnya, penguatan sektor lain di samping alat utama sistem persenjataan (alutsista) menjadi vital. Ia mencontohkan Tiongkok yang tidak hanya unggul dalam teknologi militer, tetapi juga memiliki kemandirian produksi yang dibutuhkan banyak negara.

Ia mengapresiasi langkah-langkah yang telah diambil pemerintah, seperti yang diupayakan oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto terkait kemandirian pangan. “Ada kemandirian pada pangannya. Nah, ini sudah dilakukan Pak Prabowo yang dengan mandiri pangan kita,” ungkapnya.

Syahrul menutup pernyataannya dengan menekankan bahwa ada tiga hal fundamental yang harus dapat diproduksi secara mandiri oleh Indonesia untuk kedaulatan sejati: pangan, obat-obatan, dan senjata. “Kita akan bisa menguasai orang lain,” pungkasnya merujuk pada kekuatan yang timbul dari kemandirian. *R103