Program ambisius “Satu Keluarga Satu Sarjana” yang digagas Pemerintah Provinsi Bali dan 26 perguruan tinggi, telah menciptakan euforia sekaligus pertanyaan. Niat mulia untuk mengentaskan kemiskinan struktural melalui pendidikan tinggi tak terbantahkan. Namun, di tengah keberadaan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah yang telah lama menjadi program beasiswa nasional, muncul pertanyaan krusial: apakah program Pemprov Bali ini tidak berpotensi tumpang tindih atau bahkan mubazir?
KIP Kuliah adalah program unggulan pemerintah pusat yang menyediakan bantuan biaya pendidikan dan biaya hidup bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu. Syaratnya pun jelas: potensi akademik baik dan keterbatasan ekonomi, dibuktikan dengan kepemilikan KIP Pendidikan Menengah, terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), atau masuk dalam desil Data Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (PPKE). Bantuan yang diberikan KIP Kuliah pun bervariasi, termasuk pembebasan biaya kuliah sesuai akreditasi prodi (hingga Rp12 juta untuk kedokteran) dan bantuan biaya hidup yang disesuaikan klaster wilayah, dengan rentang Rp800 ribu hingga Rp1,4 juta per bulan.
Melihat rincian tersebut, sekilas program “Satu Keluarga Satu Sarjana” Bali (bantuan biaya kuliah gratis/ringan dan biaya hidup Rp1,4 juta per bulan) tampak memiliki kemiripan signifikan dengan KIP Kuliah. Keduanya menyasar kelompok penerima yang sama: siswa berpotensi dari keluarga prasejahtera. Jika demikian, bukankah program Pemprov Bali ini berisiko menjadi duplikasi yang mubazir, menghambur-hamburkan anggaran daerah untuk tujuan yang sudah dicover oleh program nasional?
Sinergi atau Tumpang Tindih?
Jawabannya tidak sesederhana itu. Ada beberapa perspektif yang perlu dianalisis:
Pertama, cakupan dan kuota. Meskipun KIP Kuliah adalah program nasional, kuota penerimanya terbatas dan persaingannya sangat ketat. Banyak siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu yang tidak lolos KIP Kuliah setiap tahunnya. Program “Satu Keluarga Satu Sarjana” Bali bisa menjadi pelengkap dan pelapis bagi mereka yang tidak beruntung mendapatkan KIP Kuliah. Dengan adanya kuota khusus dari 26 kampus mitra, Pemprov Bali dapat menjangkau lebih banyak anak-anak yang selama ini “jatuh” dari sistem KIP Kuliah.
Kedua, fleksibilitas dan spesifisitas lokal. Program daerah seperti “Satu Keluarga Satu Sarjana” berpotensi memiliki fleksibilitas lebih tinggi dalam adaptasi dengan kebutuhan dan karakteristik lokal. Misalnya, skema D2 jalur cepat di Politeknik Negeri Bali yang langsung mengarah pada dunia kerja adalah bentuk spesialisasi vokasi yang mungkin tidak secara eksplisit menjadi fokus utama setiap KIP Kuliah. Pemprov Bali juga bisa lebih mudah mengintegrasikan program ini dengan prioritas pembangunan daerah, seperti mencetak sarjana untuk sektor pariwisata atau ekonomi kreatif yang relevan dengan kebutuhan Bali.
Ketiga, komitmen APBD. Program ini mengalokasikan dana dari APBD Semesta Berencana Provinsi Bali. Ini menunjukkan komitmen fiskal daerah dalam mendukung pendidikan tinggi. Meskipun KIP Kuliah dari APBN, keterlibatan APBD bisa berarti kapasitas pendanaan untuk pendidikan tinggi di Bali meningkat secara keseluruhan. Ini juga bisa menjadi langkah diversifikasi sumber pendanaan, agar tidak sepenuhnya bergantung pada pusat.
Mengatasi Potensi Mubazir dan Membangun Dampak Luas
Namun, potensi mubazir tetap menjadi kekhawatiran yang valid jika tidak dikelola dengan baik. Untuk menghindari hal tersebut, Pemprov Bali harus memastikan:
Integrasi Data dan Koordinasi: Tim khusus yang dibentuk Pemprov Bali harus berkoordinasi erat dengan Pusat Pembiayaan dan Asesmen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang mengelola KIP Kuliah. Database penerima harus saling terintegrasi untuk mencegah penerima ganda dan memastikan bantuan benar-benar mencapai mereka yang belum terjangkau KIP Kuliah.
Kriteria Tambahan yang Jelas: Program “Satu Keluarga Satu Sarjana” bisa menetapkan kriteria tambahan yang spesifik, misalnya, memprioritaskan lulusan SMA/SMK yang secara geografis berada di wilayah terpencil di Bali atau memiliki potensi di bidang kebudayaan dan seni yang merupakan ciri khas Bali, namun mungkin belum terakomodasi sepenuhnya oleh KIP Kuliah.
Pengukuran Dampak dan Evaluasi Berkelanjutan: Pemprov Bali wajib melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala untuk mengukur efektivitas program dan membandingkannya dengan KIP Kuliah. Data ini penting untuk membuktikan bahwa program daerah ini memang memberikan nilai tambah yang signifikan dan tidak hanya menggandakan fungsi program nasional.
Sinergi, Bukan Kompetisi: Narasi yang dibangun haruslah sinergi antara program daerah dan nasional, bukan kompetisi. Program “Satu Keluarga Satu Sarjana” harus diposisikan sebagai jaring pengaman tambahan atau penguatan untuk mencapai target pendidikan tinggi yang lebih inklusif di Bali.
Pada akhirnya, program “Satu Keluarga Satu Sarjana” Bali berpotensi besar menjadi pelengkap yang berharga bagi KIP Kuliah. Ia dapat mengisi celah dan menjangkau lebih banyak generasi muda Bali yang membutuhkan. Namun, potensi ini hanya akan terwujud jika dikelola dengan cermat, transparan, dan terintegrasi, menghindari tumpang tindih dan memastikan setiap rupiah anggaran memberikan dampak maksimal bagi masa depan pendidikan di Pulau Dewata. *R104