BALI Nusa Dua Convention Center (BNDCC) menjadi saksi bisu pentas perdana tari kebesaran Undiknas Ardha Nareswari. Tarian tersebut menjadi bagian dari acara wisuda pada 2008 silam. Komposisi musik yang berkesinambungan, alunan yang indah pada instrumen gamelan gong kebyar yang terdengar harmonis di seantero aula tersebut.
Karya yang menjadi pengiring tari kebesaran Ardha Nareswari ini, berkat kerjasama antara Undiknas dengan ISI Denpasar. Tari kebesaran Undiknas ini diciptakan tahun 2008 oleh I Gusti Ayu Srinatih, S.S.T., M.Si., dan I Wayan Sutirtha, S.Sn., dengan penata karawitan, I Ketut Garwa, S.Sn., M.Sn.
Kala itu, pada 2008 silam, audiensi yang bertempat di Gedung Natya Mandala ISI Denpasar, Prof. Sri Darma selaku Rektor Undiknas didampingi Prof. Budiana sebagai Wakil Rektor bertemu dengan Prof. Rai selaku Rektor ISI Denpasar. Melalui surat tugas yang diterbitkan Rektor ISI Denpasar, Prof. Rai mempercayakan kepada Dr. Garwa dari Fakultas Seni Pertunjukan untuk menggarap tabuh tari kebesaran Undiknas. Proses penggarapan yang bertempat di ISI Denpasar melibatkan dosen penata beserta para mahasiswa dari program studi karawitan dan tari dari Fakultas Seni Pertunjukan dan dibentuknya tim kecil untuk produksi garapan ini.
Dr. Garwa yang diberi kepercayaan dan kesempatan untuk menggarap tabuh tari Ardha Nareswari melakukan dialog dengan penata tari serta pihak yang terlibat untuk menganalisis, merapatkan ide dan konsep yang sudah ditetapkan untuk memenuhi koridor yang disebut tari kebesaran. Dalam menggarap tari kebesaran, suatu lembaga harus meramu segenap kekuatan, simbol hingga visi dan misi yang nantinya menghasilkan karya yang dapat membingkai atau representasi suatu lembaga.
Ia menggandeng para mahasiswa karawitan untuk meramu ide dan konsep yang diterjemahkan ke dalam bahasa musikal lalu dituangkan ke dalam media ungkap melalui gamelan gong kebyar. Di tengah-tengah produksi, Prof. Sri Darma beserta jajaran rutin meninjau produksi tari kebesaran. Pada proses penggarapan berjalan lancar karena mahasiswa memiliki kemampuan teknis dan rasa pemahaman terhadap musikal gamelan Bali dan sedikit mengalami kesulitan mengatur dan mengumpulkan penabuh, sehingga menemukan jalan tengah dengan mengkompensasikan mata kuliah dengan materi garapan yang akan dilakukan.
Proses panjangnya adalah bagaimana menjiwai konsep yang telah ditetapkan dengan rasa personal dari penabuh dan harus terbawa pada situasional yang diharapkan. Meskipun paham teknisnya, karya harus dijiwai untuk merasakan apa yang diciptakan dan diceritakan narasi per babaknya. Dalam prosesnya, pikiran komposer menjadi liberal untuk dapat berekspresi namun tetap pada koridor yang telah ditetapkan. Menjadi esensial seorang komposer untuk memberi teknik, mengaplikasikan teknik gong kebyar, pengaturan unsur musik, mengelola ketukan untuk mendapatkan suasana yang berbeda, melakukan penuangan untuk mendapatkan ruang atau suasana yang diharapkan. Jika karya keluar dari koridor yang diharapkan maka karya akan menjadi liar dan diluar representasi. ”Dalam berkarya, tentu terima kasih karena telah diberi kesempatan, kepercayaan, ruang dan waktu untuk menggali, mengasah potensi diri dan mengimajinasikan konten yang harus diselesaikan,” kata Dr. Garwa.
Sebagai seorang komposer, pengrawit sekaligus seniman akademik tentu tidak meninggalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk pengabdian masyarakat. Melalui karya seni ini untuk melanjutkan apa yang disebut dengan budaya ‘ngayah’ serta apa yang bisa disampaikan juga mempertaruhkan nama pribadi dan eksistensi Lembaga di mata masyarakat. Dengan komunikasi yang baik antar lembaga, terkait kepercayaan untuk mewujudkan tari kebesaran sebagai identitas kelembagaan maka garapan yang dipentaskan perdana oleh mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan di BNDCC selanjutnya dapat dilatih untuk mahasiswa Undiknas.
Sudah 15 tahun karya ini menjadi identitas kelembagaan Undiknas yang sudah mengalami dan melewati banyak perubahan, akankah ada revitalisasi dengan melibatkan sang penata? *
Penulis: Ni Kadek Ari Septia Santi