Kenapa Harus Ada Haluan Negara?
Rumusan asli UUD 1945 hanya mengatakan, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” (Pasal 1 ayat (2) pra-amandemen). Ada tiga hal penting yang tak dapat dileburkan begitu saja: substansi faham kerakyatan (demokrasi), institusi yang menjalankan kedaulatan rakyat, dan kekuasaan institusi. Secara sekilas rumusan ini sudah jelas, bahwa kedaulatan Indonesia ada di tangan rakyat. Untuk menjalankannya dibentuk MPR (baca: demokrasi perwakilan). Rumusan demikian sejalan dengan dasar “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Namun, merupakan pandangan yang amat menyesatkan bila dasar kerakyatan dan rumusan kelembagaannya diartikan senapas, bahwa yang merupakan prinsip adalah MPR, bukan paham kerakyatan itu sendiri.
Para pendiri Indonesia merumuskan kerangka institusi berdemokrasi dalam “konstitusi perang” (revolutie grondwet) tahun 1945, yaitu dengan memilih sistem perwakilan berbentuk parlemen dan lembaga legislatif. Lembaga-lembaga itu disebut sebagai “penyelenggara negara” (bandingkan dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan UUD Sementara tahun 1950 yang menyebut “alat-alat perlengkapan negara”).
Soepomo menafsirkan, MPR merupakan lembaga pemegang kekuasaan negara tertinggi, karena dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Artinya, argumen tentang negara dan lembaga negara sebagai puncak pengejawantahan akal budi dan aktualisasi manusia (baca: bangsa), seperti diteorikan Hegel, telah dipinjam untuk mengemas suatu faham religio-kultural Jawa tentang manunggaling kawulo lan gusti yang dirujuk dalam pidato Soepomo di depan Sidang BPUPK tahun 1945.
Pemahaman MPR sebagai lembaga negara tertinggi juga termaktub dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen), pada bagian III, dijabarkan sebagai berikut:
“Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama “Majelis Permusyawaratan Rakyat”, sebagai penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia (vertretungsorgan des Willens der Staatsvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-undang dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden).
Majelis inilah yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Ia ialah “mandataris” dari Majelis, ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis.
Cara pandang ini amat berbeda dengan perspektif yang “membiarkan” paham kedaulatan rakyat sebagai konsep abstrak sehingga dapat ditransfer ke berbagai kerangka institusional seperti lembaga perwakilan, kekuasaan kehakiman, atau konstitusi. Kedaulatan rakyat yang abstrak tidak berarti terbagi habis karena distribusi itu, tetapi hanya mengalami desentralisasi ke lembaga-lembaga negara.
Hasilnya, memunculkan ketegangan paradigmatik dalam konstitusi, apakah yang dianut adalah faham kedaulatan rakyat atau kedaulatan (lembaga) negara. Persoalan ini makin menkerucut ketika konsep pendisiplinan peraturan perundang-undangan dibaitkan dalam ketatanegaraan Indonesia. Dalam rumusan hierarki hukum menurut Ketetapan (Tap) MPRS No XX/MPRS/1966. Dalam perspektif Kelsen, dasar pamungkas hidup bernegara adalah sebuah grundnorm yang diisi dengan Pancasila. Padahal, grundnorm juga bermakna proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, yaitu self-determination of people, kemerdekaan bangsa, atau faham kerakyatan. Pembukaan UUD 1945 secara gamblang menegaskan, “kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa.” Sebuah negara diakui berdaulat di hadapan negara lain karena rakyat dan bangsa, dengan kelembagaan negara yang mengikuti kehendak bangsa itu.
Konteks ini ketika digunakan sebagai dasar membahas perlu tidaknya haluan negara akan dapat lebih memberikan gambaran daripada terjebak dalam konteks normatif belaka. Secara historis pada saat pembentukan negara, kedudukan MPR di desain, sebagai lembaga yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (vertretungsorgan des Willens der Staatsvolkes) yang berbeda dengan lembaga negara lainnya. Dengan kedudukan tersebut, memposisikan lembaga ini sebagai pembentuk Undang-Undang Dasar dan kebijakan nasional negara melalui garis-garis besar haluan negara (GBHN) serta menempatkan Presiden sebagai mandataris MPR. Pada pemahaman ini, maka level kekuasaan tertinggi ketatanegaraan Indonesia ada di MPR.
Setelah UUD 1945 mengalami Perubahan ketiga tahun 2001, ketegangan paradigmatik bertambah karena penguatan prinsip negara hukum (rechtstaat) dan supremasi konstitusi (Pasal 1 Ayat 2 dan 3 perubahan). Dikatakan ketegangan, karena usaha mengukuhkan prinsip negara hukum justru rawan untuk dimentahkan, yaitu dengan memanipulasi atribut MPR sebagai lembaga tertinggi negara menurut Penjelasan UUD 1945 (tahun 1946). Lebih-lebih dengan memunculkan tafsir sendiri yang secara destruktif justru meniadakan MPR, misalnya menuntut MPR harus tetap menjadi lembaga negara tertinggi atau sebaliknya “hilang” (konstitusi di mana?).
Sebenarnya, masih dapat dimengerti jika MPR disebut sebagai lembaga pemegang “kekuasaan negara yang tertinggi” di antara lembaga-lembaga negara. Ini hanya menempatkan MPR sebagai “penyelenggara negara” yang dianggap sebagai “penjelmaan rakyat” karena yang merupakan prinsip konstitusionalisme demokratik adalah “rakyat yang memegang kedaulatan negara” (kutipan dari Penjelasan UUD 1945). Jadi, ini harus diartikan menyangkut distribusi kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, menghadapkan atribut tertinggi pada MPR dengan konstitusi, sambil menggunakan wacana reduksionis tentang faham kerakyatan atau demokrasi, jelas menunjukkan argumen yang menentang faham negara hukum.
Sebaiknya diakui secara terang, perumusan UUD 1945 tidak diwarnai perdebatan mendalam tentang faham negara hukum. Belakangan, Penjelasan UUD 1945 menyebut Indonesia sebagai sebuah negara hukum. Hal ini menunjukkan kesadaran post-factum, setelah terjadi kekalahan fasisme Jerman di bawah Adolf Hitler dan fasisme Jepang di bawah Tenno Heika dalam Perang Dunia II. Kedua rezim fasis ini dirujuk dengan rasa kagum dan percaya diri dalam pidato Soepomo di depan BPUPKI, dan keduanya merupakan negara kekuasaan (machtstaat). Maka dapat diemengerti, Penjelasan UUD 1945 hanya menerangkan tentang negara hukum dengan cara melawankan antara rechtsstaat, sistem konstitusi, dan tidak bersifat absolutisme, di satu sisi, dengan machtstaat di sisi lain.
Oleh karena tidak ada elaborasi lain mengenai prinsip negara hukum itu, apalagi justru berkembang pendapat UUD 1945 mengakomodasi segala macam kedaulatan (negara, hukum, rakyat, dan Tuhan), maka kuasa-kuasa utama (primary forces) mendefinisikan UUD 1945 sebagai constitution realia yang menganut faham negara kekuasaan. Padahal, prinsip negara hukum memiliki ramifikasi yang kaya, dengan bagian penting di antaranya justru bersitegang dengan negara kekuasaan dan faham kedaulatan (lembaga) negara.
Oleh sebab yang demikian, prinsip-prinsip kedaulatan rakyat harus dituntaskan dalam konteks bernegara. Tidaklah cukup, ketika mempersanidngkan prinsip negara hukum dengan prinsip kedaulatan rakyat secara komparatif. Pastinya akan terjebak pada hal-hal yang bersifat normatif.
“GBHN Pertama” justru adalah tafsir Soekarno atas tiga hal, pertama, UUD 1945; kedua¸ kondisi perpolitikan pada waktu itu yang dirasa memerlukan arah dan panduan; dan ketiga, kedaulatan rakyat. Prinsip- prinsip tersebut, justru mengingkari “rasa normatif” konstitusi.
GBHN/PNSB tertuang dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia. Sebagai Garis-garis Besar Daripada Haluan Negara, kemudian dijabarkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor II/MPR/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.
Sesudah perubahan UUD 1945 dan MPR tidak lagi dapat membuat GBHN. MPR kemudian mencoba mendorong adanya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) merupakan instrumen kebijakan strategis yang dirancang untuk memberikan arah pembangunan nasional yang berkesinambungan. Sejak dihapuskannya Garis-Garis Besar Haluan Negara pasca-amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Indonesia mengalami tantangan dalam memastikan kesinambungan pembangunan di tengah dinamika politik yang berubah setiap periode pemerintahan.
Ketidakhadiran haluan negara yang mengikat telah menimbulkan berbagai persoalan, seperti perbedaan visi dan misi antarperiode pemerintahan, inkonsistensi dalam kebijakan pembangunan, serta ketidakseimbangan dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Oleh karena itu, muncul gagasan untuk merumuskan kembali PPHN dengan bentuk hukum yang tepat agar dapat menjadi acuan bagi pemerintahan dalam menyusun kebijakan pembangunan nasional.
Dalam merancang PPHN, salah satu aspek utama yang perlu ditentukan adalah bentuk hukumnya. Bentuk hukum PPHN akan menentukan kekuatan normatif dan daya ikatnya terhadap penyelenggara negara. Beberapa alternatif bentuk hukum yang menjadi perdebatan meliputi:
Diatur dalam UUD NRI 1945, sehingga memiliki kekuatan hukum yang tertinggi dan mengikat seluruh lembaga negara.
Diatur melalui Ketetapan MPR, yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan Undang-Undang tetapi lebih fleksibel dibandingkan konstitusi.
Diatur melalui Undang-Undang, yang memungkinkan fleksibilitas dalam implementasi tetapi memiliki risiko perubahan setiap periode pemerintahan.
Setiap pilihan bentuk hukum memiliki implikasi yang berbeda terhadap stabilitas sistem pemerintahan, kesinambungan pembangunan, serta keseimbangan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam proses perumusan kebijakan. Oleh karena itu, perlu kajian terhadap bentuk hukum PPHN baik melalui komparasi bentuk PPHN di negara lain maupun dari sudut pandang teori hukum.
Jebakan Normativisme
Pada saat norma konstitusi memberikan kewenangan untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan, secara substantif pengaturan lebih lanjut konstitusi diserahkan pada sumber hukum lain. Dalam hal konstitusi memberi wewenang kepada pengadilan untuk membatalkan undang-undang maka tampak norma dalam putusan tersebut berada di atas norma undang-undang, by virtue of the constitution. Apakah putusan pengadailan dalam judicial review tersebut lebih tinggi dari undang-undang? di mana meletakkan putusan terebut dalam hierarki stuffenbau theorie? Teori ini menunjukkan wataknya yang parsial dan kehilangan keampuhannya di sini. Jadi dalam preposisi yang demikian, menurut penulis, teori ini perlu direvisi, dalam arti bahwa teori hierarki stuffenbau theorie dibatasi hanya mencakup norma hukum umum-abstrak (perundang-undangan), bukan mencakup putusan pengujian undang-undang.
Problematik menempatkan prinsip supremasi konstitusi pada teori hierarki ini juga dapat dipahami sebagai berikut; UUD 1945 memerlukan pengaturan dengan undang-undang. Tetapi tidak seperti Konstitusi Amerika Serikat yang menganut non delegation principle bahwa legislasi adalah kewenangan ekslusif Kongres Amerika Serikat sebagai unsur pokok dalam sistem presidensil dan sebagai “kaki tangan konstitusi” atau sebagai daily constitution dalam sistem hukum Amerika Serikat, UUD 1945 baik sebelum perubahan dan sesudah perubahan tidak menjelaskan prinsip-prinsip tersebut.
UUD 1945 baik nasakah asli maupun hasil perubahan tahun 1999-2002 mengandung tiga delegation principle sekaligus: 1) pengaturan UUD dengan UU; 2) pengaturan UU dengan peraturan pelaksana yang dibuat pemerintah (executive orders); dan 3) presidential regulatory power in time of emergency (emergency power).
Konteks ini disampangi oleh Putusan MK Nomor 66/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MK hanya melihat kontruksi Ketetapan MPR dalam konteks hierarki norma Pasal 7 UU P3. MK tidak melihat konteks itu dalam balutan penafsiran kedaulatan rakyat dan negara hukum.
Fungsi norma menurut Hans Kelsen adalah memerintah, melarang, menguasakan, memperbolehkan, dan menyimpang dari ketentuan. Sehubungan dengan sifat dan fungsinya yang berbeda tersebut, asas hukum dan norma hukum memberikan pengaruh yang berlainan terhadap perundang-undangan. Dalam suatu sistem norma hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan misalnya harus sejalan dan searah dengan norma fundamental.
Dengan demikian, pembentukan norma hukum yang berada dalam suatu sistem hukum yang utuh maka akan medesak fungsi asas hukum untuk lebih ke belakang meskipun tidak hilang sama sekali. Lain halnya pada pembentukan norma hukum yang berada dalam lingkup kebijakan yang tidak terikat. Di sana asas hukum menjadi penting dalam memberikan bimbingan dan pedoman pada pembentukan norma hukum tersebut.
Di sinilah sebenarnya fungsi Ketetapan MPR dalam menetapkan Haluan Negara. fungsinya bukan dalam konteks pembentukan norma hukum namun lebih pada penetapan kebijakan negara melalui MPR dalam rangka menetapkan haluan negara.
Kenapa demikian, karena diferensi lebih lanjut teori hierarki peraturan tidak dapat disandarkan dan juga tidak dapat diterapkan kepada UUD 1945. Teori tersebut tidak dapat mengintervensi (imposing) pemahaman tentang konstitusi menurut ruang dan waktu seperti UUD 1945 atau konstitusi lainnya. Dapat dipahami bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi dalam arti luas. Ia bukan hanya dokumen hukum, melainkan juga mengandung aspek “non-hukum”, seperti pandangan hidup, cita- cita moral, dasar filsafati, keyakinan religius, dan paham politik suatu bangsa.
Sebagai hukum dasar, pengejawantahan konstitusi sebagai kerangka dasar dan rujukan negara terletak pada dasar, tujuan negara, serta strategi pencapaian tujuan negara dalam menyelenggarakan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur, baik secara material maupun spiritual. Karena itu, pemerintah yang cenderung menyalahgunakan kekuasaan harus dibatasi oleh konstitusi yang lahir dari kesepakatan nasional. Di sinilah fungsi MPR diperluas sebagai constitutional escape terhadap masalah/problem ketatanegaraan yang tidak dapat diselesaikan melalui UU ataupun delegation principles yang lain.
Komparasi Bentuk PPHN Di Negara Lain
PPHN disebut juga dengan Directive Principles of State Policy (DPSP). Berikut adalah komparasi bentuk hukum PPHN dengan DPSP di beberapa negara lain:
India
Bentuk Hukum: DPSP diatur dalam Bagian IV Konstitusi India (Pasal 36-51).
Kedudukan Hukum: Tidak dapat ditegakkan secara hukum, tetapi menjadi panduan bagi negara dalam merancang kebijakan.
Isi: Prinsip-prinsip pembangunan ekonomi dan sosial, seperti kesejahteraan sosial, pendidikan gratis, perlindungan lingkungan, dan kesetaraan ekonomi.
Kelebihan: Memberikan arahan bagi kebijakan tanpa mengurangi kedaulatan pemerintahan terpilih.
Konsisten dalam menjaga tujuan pembangunan negara.
Kekurangan: Tidak dapat dijadikan dasar untuk gugatan hukum karena sifatnya tidak dapat ditegakkan secara yudisial.
Irlandia
Bentuk Hukum: DPSP terdapat dalam Bunreacht na hÉireann (Konstitusi Irlandia) 1937, Bab V (Pasal 45).
Kedudukan Hukum: Hanya bersifat rekomendasi, tidak bisa diuji di pengadilan.
Isi: Pedoman bagi kebijakan sosial dan ekonomi, seperti distribusi kekayaan yang adil, pengakuan atas hak pekerja, dan kebijakan kesejahteraan.
Kelebihan: Memastikan keberlanjutan kebijakan negara dalam jangka panjang.
Kekurangan: Tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bergantung pada implementasi eksekutif.
Filipina
Bentuk Hukum: DPSP diatur dalam Pasal II Konstitusi Filipina 1987.
Kedudukan Hukum: Sebagai pedoman, tetapi sering digunakan sebagai dasar dalam putusan Mahkamah Agung.
Isi: Prinsip pembangunan nasional, lingkungan, hak asasi manusia, dan ekonomi.
Kelebihan: Meskipun tidak mengikat, sering digunakan dalam interpretasi hukum dan kebijakan negara.
Kekurangan: Implementasi bergantung pada interpretasi pengadilan dan keputusan politik.
Afrika Selatan
Bentuk Hukum: Prinsip pembangunan nasional diatur dalam Pasal 39 Konstitusi Afrika Selatan 1996.
Kedudukan Hukum: Mengikat dalam interpretasi konstitusi dan kebijakan negara.
Isi: Hak sosial-ekonomi, keadilan sosial, dan pembangunan berkelanjutan.
Kelebihan: Bisa menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan dan putusan pengadilan.
Kekurangan: Implementasi bergantung pada kapasitas negara dalam memenuhi prinsip-prinsip tersebut.
PPHN Dikaitkan dengan Teori Hukum
Teori Hierarki Norma Hukum (Hans Kelsen)
Teori ini menyatakan bahwa hukum memiliki hierarki, di mana norma yang lebih rendah harus tunduk pada norma yang lebih tinggi (stufenbau des rechts). Dalam konteks PPHN, ini berarti:
– Jika PPHN diatur dalam UUD NRI 1945, maka ia menjadi norma tertinggi setelah konstitusi dan mengikat semua regulasi di bawahnya.
– Jika PPHN diatur melalui Ketetapan MPR, maka ia berada di bawah UUD tetapi di atas Undang-Undang.
– Jika PPHN diatur dalam Undang-Undang, maka ia bisa lebih fleksibel tetapi berisiko berubah setiap periode pemerintahan.
Implikasi:
Ketetapan MPR atau UUD lebih kuat secara hukum dibandingkan Undang-Undang.
Undang-Undang lebih fleksibel, tetapi bisa berubah sesuai dinamika politik.
Teori Konstitusionalisme (Carl Schmitt dan John Locke)
Carl Schmitt menyatakan bahwa konstitusi seharusnya tidak hanya berisi aturan prosedural, tetapi juga nilai-nilai fundamental negara.
John Locke menekankan bahwa hukum harus membatasi kekuasaan eksekutif agar tidak bertindak sewenang-wenang.
Jika PPHN diatur dalam konstitusi atau Ketetapan MPR, maka PPHN menjadi instrumen pengarah kebijakan tanpa melanggar prinsip demokrasi. Ini juga menghindari kemungkinan bahwa setiap pemerintahan merumuskan kebijakan pembangunan tanpa kesinambungan.
Implikasi:
Jika diatur dalam UUD atau Ketetapan MPR, maka PPHN menjadi panduan strategis yang bersifat tetap. Jika diatur dalam Undang-Undang, ada risiko dominasi eksekutif dalam penyusunan dan pelaksanaannya, yang bisa mengubah arah kebijakan sesuai dengan kepentingan politik sesaat.
Teori Sistem Pemerintahan Presidensial (Maurice Duverger dan Juan Linz)
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki kewenangan eksekutif penuh dan tidak bergantung pada parlemen. Maurice Duverger menyebutkan bahwa sistem presidensial cenderung memiliki stabilitas eksekutif yang kuat, tetapi memerlukan keseimbangan dalam perumusan kebijakan.
Juan Linz menegaskan bahwa sistem presidensial dapat menjadi tidak stabil jika tidak memiliki mekanisme koordinasi kebijakan antar-lembaga negara.
Jika PPHN diatur dalam Ketetapan MPR, maka ia bisa menjadi alat untuk menjaga kesinambungan kebijakan pembangunan nasional tanpa melanggar sistem presidensial.
Implikasi:
Jika PPHN menjadi bagian dari UUD atau Ketetapan MPR, maka Presiden tetap memiliki kemandirian, tetapi arah kebijakan pembangunan akan lebih terarah.
Jika PPHN hanya dalam bentuk Undang-Undang, maka Presiden bisa lebih fleksibel, tetapi ada risiko ketidakstabilan kebijakan antarperiode pemerintahan.
Teori Kebijakan Publik dan Perencanaan Pembangunan (Charles Lindblom dan Aaron Wildavsky)
Charles Lindblom dalam teorinya tentang Incrementalism menekankan bahwa kebijakan publik harus berkembang secara bertahap dan berkesinambungan.
Aaron Wildavsky menyatakan bahwa perencanaan pembangunan nasional yang efektif harus memiliki kerangka kerja jangka panjang yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi sosial-ekonomi.
Jika PPHN hanya dibuat dalam bentuk Undang-Undang, ada risiko bahwa kebijakan pembangunan bisa berubah drastis sesuai dengan pergantian pemerintahan. Oleh karena itu, Ketetapan MPR atau konstitusi akan lebih sesuai untuk memastikan kesinambungan pembangunan nasional.
Implikasi:
PPHN dalam UUD atau Ketetapan MPR memastikan adanya arah kebijakan yang tetap tetapi tetap bisa dikembangkan melalui aturan teknis.
PPHN dalam Undang-Undang lebih fleksibel tetapi berisiko kehilangan arah karena bisa diubah oleh pemerintahan yang berbeda.
Teori Demokrasi Permusyawaratan (Soepomo dan Bung Hatta)
Soepomo menekankan konsep negara integralistik di mana demokrasi didasarkan pada musyawarah dan mufakat.
Bung Hatta menekankan bahwa demokrasi Indonesia harus berbasis pada kesejahteraan rakyat dan tidak hanya mengandalkan pemilihan umum.
Jika PPHN diletakkan dalam Ketetapan MPR, maka ini sesuai dengan konsep demokrasi permusyawaratan karena MPR sebagai lembaga perwakilan memiliki kewenangan untuk menetapkan arahan pembangunan jangka panjang.
Implikasi:
PPHN dalam Ketetapan MPR akan memastikan bahwa pembangunan nasional tidak bergantung pada siklus elektoral, tetapi tetap mempertimbangkan musyawarah nasional. Jika hanya diatur dalam Undang-Undang, ada risiko bahwa kebijakan pembangunan akan ditentukan hanya berdasarkan kepentingan eksekutif dan bukan hasil musyawarah nasional.
Pilihan terhadap Bentuk Hukum PPHN (Kesimpulan)
Berdasarkan komparasi PPHN di negara lain dan teori-teori hukum, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk hukum ideal untuk PPHN adalah Ketetapan MPR, karena:
– Lebih kuat dibanding Undang-Undang, tetapi tetap fleksibel dibanding UUD.
– Menjaga keseimbangan dalam sistem presidensial.
– Memastikan kebijakan pembangunan nasional tidak berubah drastis setiap pergantian pemerintahan.
Sesuai dengan sistem demokrasi permusyawaratan yang dianut Indonesia
Selanjutnya, untuk menghidupkan kembali PPHN harus dilakukan dengan amandemen UUD 1945 (terbatas), kenapa amandemen? Karena putusan MK Nomor 66/PUU-XXI/2023 menetapkan MPR tidak dapat menyusun Ketetapan yang bersifat regeling. Hal yang perlu dilakukan penyempurnaan yakni terhadap kedudukan MPR yang merupakan representasi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu sudah menjadi suatu keharusan bagi MPR untuk diberikan kewenangannya kembali agar dapat membentuk PPHN sebagai pedoman arah pembangunan nasional yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Amandemen UUD 1945 kelima secara terbatas dilkukan untuk melakukan penambahan wewenang MPR dalam membentuk PPHN khususnya dalam Pasal 3 UUD 1945, Bab khusus tentang Pokok-Pokok Haluan Negara yang merangkum Bab-Bab yang ada dalam UUD 1945 yang sifatnya directive, serta melakukan perubahan dalam Aturan Tambahan UUD 1945 untuk menegaskan kedudukan Ketetapan MPR khusus untuk menetapkan secara administratif PPHN.
Ketetapan MPR tentang PPHN tersebut tidak perlu lagi dipahami sebagai “ketetapan” yang merupakan produk regulasi, melainkan cukup dipahami sebagai produk administrasi, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di masa yang akan datang.
Penajaman Substansi (Pertanyaan):
- Bagaimana mekanisme agar penyusunan PPHN benar- benar mencerminkan kepentingan masyarakat luas, bukan hanya kepentingan elite politik?
- Mengapa PPHN perlu dihidupkan kembali melalui amandemen UUD 1945? Apakah ada alternatif lain yang lebih fleksibel?
- Jika PPHN tidak memiliki konsekuensi hukum langsung bagi lembaga negara, bagaimana mekanisme akuntabilitas bagi lembaga yang tidak menjalankan PPHN?
- Bagaimana implikasi hukum dan politik dari setiap pilihan bentuk hukum PPHN terhadap stabilitas pemerintahan dan pembangunan nasional?
- Bentuk hukum manakah yang paling ideal untuk diterapkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia agar dapat menjamin kesinambungan pembangunan?
* Materi ini disampaikan oleh Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH., Anggota Badan Pengkajian MPR RI Fraksi PDI-Perjuangan pada Uji Sahih Substansi PPHN, Cibubur, 16-18 Maret 2025.