Kantor Redaksi Tempo kembali menjadi sasaran teror. Setelah menerima paket berisi kepala babi pada 19 Maret 2025, kali ini redaksi Tempo dikirimi bangkai tikus dengan kepala terpenggal. Aksi teror ini tentu saja bukan sekadar tindakan intimidasi, namun merupakan ancaman serius terhadap kebebasan pers di Indonesia. Aksi teror ini membuktikan masih adanya upaya untuk membungkam dan menekan pers yang kritis terhadap kekuasaan dan berani mengungkap kebenaran.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengutuk keras segala bentuk teror terhadap jurnalis, karena tindakan tersebut merupakan bentuk nyata teror dan ancaman terhadap independensi serta kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan dijamin sebagai hak asasi warga negara disebut dalam pasal 4 UU Pers.
Tindakan teror terhadap pers merupakan bentuk kekerasan dan premanisme. Wartawan dan media massa bisa saja dalam menjalankan tugasnya melakukan kesalahan termasuk dalam pemberitaan, namun melakukan aksi teror terhadap jurnalis merupakan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Tindakan itu sekaligus melanggar HAM karena hak memperoleh informasi merupakan HAM, dan jika pihak-pihak masyarakat yang berkeberatan atas kesalahan para wartawan atau produk jurnalistiknya, merasa dirugikan atas pemberitaan tersebut, maka bisa ditempuh hak jawab, dan itu diatur dalam UU Pers serta Kode Etik Jurnalistik, di mana pihak-pihak yang merasa dirugikan bisa melakukan hak jawab, hak koreksi atas pemberitaan atau produk jurnalistik.
Terkait aksi teror itu, aparat penegak hukum harus mengusut tuntas pelaku teror tersebut. Mengapa? Jika dibiarkan, ancaman dan teror seperti ini akan terus berulang. Jurnalis juga tidak perlu takut dalam memberitakan informasi dan tetap bekerja profesional agar masyarakat bisa mendapatkan informasi secara utuh dan dari berbagai pihak.
Kebebasan pers adalah pilar utama demokrasi. Oleh karena itu, pers yang independen berperan sebagai pengawas terhadap kebijakan pemerintah, bisnis, dan berbagai kepentingan publik. Jika pers dibungkam melalui ancaman atau teror, maka informasi yang sampai ke masyarakat akan terdistorsi. Tindakan ini juga menunjukkan pola yang mengkhawatirkan dalam ruang demokrasi kita.
Berbagai ancaman terhadap jurnalis, mulai dari kekerasan fisik dan peretasan telah terjadi tanpa penyelesaian hukum yang tegas. Kasus ini harus menjadi pengingat bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi pers dan memastikan jurnalis bisa bekerja tanpa tekanan. Teror semacam ini tidak boleh dibiarkan menjadi alat pembungkaman. Sebaliknya, harus menjadi pemicu bagi kita semua untuk lebih waspada dan menjaga kebebasan pers sebagai bagian dari demokrasi yang sehat.
Sejarah membuktikan, teror terhadap pers bukanlah fenomena baru, melainkan ancaman yang terus berulang kali terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Kebebasan pers, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, kerap mendapat tekanan dari pihak-pihak yang merasa terganggu oleh pemberitaan yang kritis.
Kasus kekerasan terhadap jurnalis, mulai dari intimidasi, peretasan, hingga kekerasan fisik, menjadi bukti bahwa kebebasan pers masih berada dalam bahaya. Para pelaku teror terhadap jurnalis sering kali berasal dari kelompok yang memiliki kepentingan besar dalam menjaga citra atau kekuasaan mereka. Ironisnya, banyak dari kasus ini yang tidak pernah diusut tuntas. Serangan terhadap pers tidak hanya merugikan individu jurnalis, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Ketika jurnalis dibungkam, informasi yang seharusnya menjadi hak publik menjadi terbatas. Akibatnya, masyarakat kehilangan akses terhadap berita yang akurat dan transparan, yang pada akhirnya akan melemahkan demokrasi itu sendiri.
Sudah saatnya negara hadir dan benar-benar menunjukkan keberpihakannya terhadap kebebasan pers dengan menindak tegas pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Tanpa perlindungan yang nyata, ancaman terhadap kemerdekaan pers akan terus berulang, dan demokrasi kita akan terus berada dalam bayang-bayang ketakutan.
Terkait dengan aksi teror tersebut, aparat kepolisian harus segera mengusut tuntas kasus ini secara transparan dan menangkap pelaku serta dalang di balik teror tersebut. Hukuman yang tegas bagi pelaku akan menjadi efek jera agar intimidasi terhadap pers tidak terulang lagi. Di samping itu, harus ada perlindungan yang kuat terhadap jurnalis dan media, baik secara fisik (pengamanan kantor) maupun digital (keamanan siber).
Adanya dukungan publik dan solidaritas pers dalam mewujudkan kebebasan pers dengan mengutuk segala bentuk intimidasi terhadap media, serta bersatunya organisasi pers dan jurnalis dalam menggalang solidaritas, dan mendesak pemerintah untuk bertindak tegas, diharapkan pers akan tetap menjalankan tugasnya secara profesional tanpa tunduk pada ancaman.
Masyarakat harus memahami bahwa kebebasan pers adalah hak yang harus dijaga bersama demi kepentingan publik. Jika tindakan intimidasi ini dibiarkan tanpa respons yang tegas, maka akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di masa depan. Oleh karena itu, perlawanan terhadap teror ini harus dilakukan secara bersama-sama oleh media, masyarakat, dan pemerintah.
Teror terhadap kemerdekaan pers harus diusut tuntas dan pelakunya dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika tidak, kita akan menyaksikan kemunduran demokrasi, di mana pers tidak lagi bebas, dan informasi yang sampai ke publik semakin dikendalikan oleh mereka yang takut akan kebenaran. *