Dubai (Lokapalanews.com) – Menteri Komunikasi dan Digital RI, Meutya Hafid, mengguncang forum teknologi global di Dubai dengan seruan keras: masa depan AI adalah milik semua bangsa, bukan monopoli segelintir negara.
Dalam panel “Wanted: AI to Retain and Attract Talents to the Country,” Meutya menekankan pentingnya ekosistem AI yang etis, inklusif, dan beragam. “Teknologi harus mencerminkan keberagaman dunia, bukan hanya prioritas segelintir orang,” ujarnya, Rabu (23/4).
Indonesia, dengan lebih dari 212 juta pengguna internet aktif dan populasi terbesar keempat di dunia, berada di posisi strategis. Meutya menegaskan komitmen Indonesia untuk berperan aktif dalam membentuk masa depan teknologi global.
Ia menyoroti kesamaan visi Indonesia dengan negara-negara BRICS dalam menciptakan AI yang bertanggung jawab. Fokusnya adalah kesetaraan akses, penguatan perspektif global selatan, dan pemanfaatan AI untuk solusi nyata.
“Dialog Indonesia dengan BRICS mencakup isu-isu krusial seperti kesenjangan digital, solusi pedesaan cerdas, dan kedaulatan data,” jelas Meutya. Contohnya, pemantauan bencana berbasis AI, pertanian cerdas, dan diagnostik kesehatan jarak jauh.
Pendidikan, ketahanan pangan, dan layanan publik menjadi prioritas utama. Pemerintah Indonesia mengembangkan aplikasi AI untuk ketahanan pangan, sistem perlindungan sosial (Agustus 2025), dan layanan kesehatan gratis. Targetnya, sembilan juta talenta digital pada 2030.
“Keamanan pangan dan pendidikan adalah fokus utama Presiden Prabowo. AI harus dikelola oleh orang-orang yang lebih cerdas,” tegas Meutya.
Pemerintah juga mengembangkan program AI untuk layanan publik, termasuk sistem perlindungan sosial dan distribusi makanan bergizi.
Infrastruktur digital menjadi tantangan, terutama menghubungkan 17.000 pulau. Pemerintah menyiapkan lelang spektrum 2,6 dan 3,5 GHz, perluasan jaringan serat optik, dan pusat data nasional berlatensi rendah.
“Membangun konektivitas di 17.000 pulau adalah tantangan besar,” kata Meutya.
Isu diaspora digital juga menjadi perhatian. Delapan juta WNI di luar negeri, termasuk 20.000 di Silicon Valley, menjadi bagian dari kekuatan nasional. “Kami lebih suka istilah ‘brain link’ daripada ‘brain drain’,” jelasnya.
Indonesia membangun pusat keunggulan AI di Bandung, Surabaya, dan Papua. “Pusat AI di Papua menunjukkan pentingnya inklusivitas,” ungkap Meutya.
Forum “Machines Can See 2025” menjadi wadah strategis bagi Indonesia untuk menegaskan bahwa masa depan AI harus dibentuk bersama, atas dasar keadilan, akses, dan keberagaman. *R101