Kampus Para Maling: Ketika Lumbung Ilmu Jadi Sarang Korupsi

I Made Suyasa

Di tempat suci ilmu pengetahuan, kini bersemayam tikus-tikus berdasi. Mereka bukan preman jalanan, tapi profesor, doktor, dan birokrat akademik – yang menjadikan integritas sebagai barang dagangan.

Di atas podium megah, dengan jubah toga dan suara lantang, para rektor berbicara tentang integritas, ilmu, dan masa depan. Tapi di balik layar, tangan mereka justru bermain di tumpukan uang memainkan nasib mahasiswa seperti bidak catur. Kampus, yang seharusnya menjadi candradimuka kejujuran, kini justru berubah jadi ladang korupsi berjamaah. Dan ini bukan hanya memprihatinkan tapi sudah menjijikkan.

Kita berbicara tentang tempat di mana masa depan bangsa terbentuk. Tapi kenyataannya, sebagian besar baru saja mencetak generasi dengan pesan diam-diam: bahwa korupsi itu biasa, asal pintar tersembunyi.

Korupsi Berwajah Akademik
Pada 2022, di salah satu PTN di Bali menjadi contoh nyata bahwa gelar akademik tak selalu sejalan dengan moral. Rektor dan tiga pejabat tinggi kampus dijerat KPK dalam kasus korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mahasiswa jalur mandiri. Bukannya dipakai untuk membangun fasilitas, uang miliaran itu justru diduga menguap di tangan para pejabat kampus. Mereka melakukan proses seleksi seperti lelang diam-diam – yang menang bukan yang cerdas, tapi yang membayar paling besar.

Tak lama berselang, PTN lainnya menyusul. Mr X, sang Rektor, terbukti menerima suap dari calon mahasiswa. Nilainya bukan main-main: miliaran rupiah. Uang untuk ‘membeli kursi kuliah’ di jalur mandiri. Dengan modal yang cukup, siapa saja bisa menjadi mahasiswa – tak peduli kapasitas otaknya. Di tengah kampus, uang mengalahkan nilai.

Angka yang tak bisa Dipalsukan
KPK baru saja merilis Indeks Integritas Pendidikan 2024 . Skornya hanya 69,50 , berada di level “Korektif”. Artinya, sistem pendidikan kita belum pulih. Bahkan mungkin semakin membusuk. “Kalau kita membiarkannya begitu saja, ini bisa jadi malapetaka,” kata Ketua KPK, Setyo Budiyanto. Dan dia benar. Sebab yang sedang dipertaruhkan bukan hanya sistem pendidikan, tapi masa depan Indonesia itu sendiri.

Survei ini melibatkan hampir 450 ribu responden dari seluruh pelosok negeri. Hasilnya menggambarkan betapa nilai-nilai integritas masih asing di dunia pendidikan. Tidak heran jika korupsi tumbuh subur di kampus – dari pimpinan perguruan tinggi, dosen, birokrat, hingga mahasiswa itu sendiri.

Korupsi tak Selalu Masalah Uang
Di kampus, korupsi punya banyak rupa. Ada dosen malas yang memalsukan laporan kegiatan. Ada proyek fiktif atas nama penelitian. Ada jual beli skripsi dan tesis. Ada mahasiswa titipan pejabat. Bahkan gelar doktor pun bisa “dipesan” – asal ada biaya.

Lebih halus, tapi sama kotornya. Inilah persepsi akademik – wajah gelap pendidikan yang jarang disebarluaskan. Dan ini lebih berbahaya. Karena ia merusak dari dalam, menghancurkan nilai-nilai keilmuan dan memproduksi generasi tanpa moral.

Saat ini pendidikan kita telah kehilangan roh. Pendidikan bukan lagi soal ilmu, tapi syarat untuk dapat kerja, tunjangan, dan naik jabatan. Ironis, kampus yang seharusnya mengkritik kekuasaan, kini justru meniru kelicikan para elite korup.

Mimpi Indonesia Emas atau Mimpi Busuk?
Kita sedang menuju Indonesia Emas 2045. Namun, bagaimana mimpi itu bisa terwujud, jika anak-anak bangsa dididik oleh sistem yang korup? Jika dosen mereka adalah pejabat kampus yang menangani bidang manipulasi? Jika nilai-nilai integritas hanya sekedar materi kuliah, bukan budaya hidup?

KPK sudah menanam benih melalui SPI, pelatihan antikorupsi, MoU dengan kampus. Tapi benih tidak akan tumbuh di tanah busuk. Butuh revolusi, bukan seremonial.

Kampus harus Menjadi Garda Terdepan, Bukan Penjilat Kekuasaan
Rektor, dekan, dosen – mereka adalah penjaga gerbang moral bangsa. Jika mereka sendiri berkhianat, kepada siapa mahasiswa bisa belajar jujur?

Sudah saatnya masyarakat membuka mata. Jangan lagi menaruh harapan pada gelar semata. Karena kini, gelar bisa dibeli. Ilmu bisa dimanipulasi. Yang tersisa hanyalah ilusi prestise.

Dan selama tikus-tikus itu masih bebas berkeliaran di menara gading, maka Indonesia Emas hanyalah dongeng. Yang akan tinggal hanyalah ironi: bahwa bangsa besar ini dibangun oleh orang-orang pintar, tapi tanpa hati. *

*Penulis adalah wartawan dan tinggal di Denpasar


Catatan Redaksi:

Tulisan ini adalah bentuk pengingat bahwa membangun negeri bukan hanya masalah pembangunan fisik, tetapi integritas pembangunan. Jika kampus gagal menjadi contoh, maka kejujuran di masyarakat hanya akan menjadi mitos yang terus dikisahkan, namun tak pernah diwariskan.
Lokapalanews.com hadir sebagai salah satu media daring terpercaya di Indonesia dengan informasi tajam, terpercaya, mencerahkan!