Denpasar (Lokapalanews.com) – Sungguh menawan sajian Utsawa (Parade) Gong Kebyar Legendaris di panggung terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Provinsi Bali dalam PKB XLV, Rabu (28/6). Parade yang dipusatkan di panggung terbuka Ardha Candra menampilkan Sekaa Gong Saraswati, Banjar Dinas Kanginan, Desa Menyali, Kecamatan Sawan, Duta Kabupaten Buleleng dan Sekaa Gong Semadhi Yasa, Banjar Abianjero, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Duta Kabupaten Karangasem. Kedua sekaa ini menampilkan sajian seni yang terbaik, sehingga makin lama penonton semakin membludak memenuhi pangung terbesar itu.
Masyarakat seni memenuhi panggung yang berkapasitas 8000 itu. bahkan, Gubernur Bali, Wayan Koster didampingi Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Prof Arya Sugiartha dari awal hingga sajian bekahir tak beranjak dari temapt duduknya. Setelah saling tukar cindera mata kedua sekaa gong legendaris ini, lalu foto bersama, masyarakat pecinta kesenian gong kebyar ini bubar. Walau dalam bentuk ploarade, tetapi yang hadir sangat ramai, karena ingin menyaksikan kejayaan gong legendari pada masanya dulu.
Sekaa Gong Menyali pada tahun 1604 sudah biasa mengikuti festival. Sebelumnya bernama Sekaa Gong Sekar Gadung. Namun setelah mendapat anugerah berupa panji atau bendera Saraswati pada tanggal 10 November 1934 dari Anak Agung Geg, Raja Klungkung yang bertahta saat itu sebagai jayanti atau juara pada saat Parade Gong Mebarung di Puri Klungkung. Gong legendaris Desa Menyali berkenan menerima predikat Gong Legendaris sesuai dengan keberadaannya saat ini.
Sekaa Gong Menyali memiliki warisan Gong Gantung (Lanang) yang diberi nama Sekar Gadung yang merupakan anugerah, pemberian dari Raja Buleleng Ki Barak Panji Sakti, karena Kedijayaan Penglingsir ring Desa Pait Ati (Menyali) Pasek Menyali yang pada saat itu ikut membantu kapal dagang China Dampu Awang yang kandas di Pantai Penimbangan pada tahun 1640 (sesuai babad Buleleng yang tersimpan di Gedong Kertya Buleleng.
Selain itu, juga memiliki kemong yang berada pada alat gamelan Terompong Jegogan pada paling besar (Bongkol) yang diberi nama Sekar Taji yang merupakan warisan dari Penglingsir Jro Pasek Bulian, Jero Pasek Kubutambahan dan Jero Pasek Menyali. Sedangkan, penghargaan berupa Panji Bendera Saraswati dari Raja Klungkung yang bertahta saat itu, Anak Agung Geg, pada tanggal 10 November 1934. Kali ini menyajikan generasi yang keempat dan ketiga yang berumur 85, 86, 87 tahun.
Sedangkan Sekaa Gong Saraswati menyajkan Tabuh Lelongoran “Ombak Kaulu” yang sudah ada pada 1915. Tabuh ini diciptakan oleh Kaki Cening dari desa menyali. Tabuh lelongoran dalam pengertian identitas musikal adalah sebuah produk budaya-seni karawitan khas Buleleng yang tidak dimiliki oleh siapapun di daerah lain. Komposisi ini secara fungsional digunakan dalam multi-konteks kehidupan sosial kultural masyarakat Buleleng. Tabuh ini alunan tabuh menyerupai deburan ombak di sasih kaulu, deburan maha besar, seakan-akan mendengarkan suara gemuruh.
Pada bagian kedua, menampilkan Tari Truna Jaya diciptakan pada tahun 1915 oleh Pan Wandres dalam bentuk Kebyar Legong. Kemudian disempurnakan oleh seniman asal Bali yang bernama I Gede Manik. Tari Truna Jaya menggambarkan gerak-gerik pemuda yang telah beranjak dewasa, sangat emosional yang mana tingkah lakunya senantiasa berusaha memikat hati perempuan. Kali ini tari ini dibawakan oleh tiga generasi wanita masih gadis, wanita sudah menikah dan wanita yang sudah memiliki cucu.
Sajian ketiga adalah Tabuh Kreasi “Sriwijaya” tari ini diciptakan tahun 1915, oleh Guru Cening Britem. Wayan Gede Negara. Tabuh ini sebuah komposisi kekebyaran khas Buleleng. Di dalam tabuh ini diawali dengan tabuh gegenderan klasik, selanjutnya diiringi oleh instrumen-instrumen gamelan lainnya secara berbarengan. Tabuh ini didominasi oleh instrumen reong dan silih berganti dengan instrumen-instrumen lainnya. Tabuh ini melambangkan suatu persembahan kepada Ida Betara Sri sebagai Dewa Padi yang saat itu para petani padi yang ada di desa Pait Hati (Menyali) sedang panen besar atau panen raya.
Lalu memungkasi sajian dengan, menampilkan Tari Kebyar Legong Pengeleb yang diciptakan pada tahun 1934 oleh penglisingsir Pekak Cening. Tari ini salah satu jenis tari kakebyaran yang tercipta di desa Menyali Buleleng. Tari ini, menggambarkan suasana hati kaum perempuan yang penuh kegembiraan diluapkan dengan ekspresi bahagia, suka cita, dan keagresifan. Tari ini lahir di zaman pergerakan nasional dan emansipasi wanita ketika Raden Ajeng Kartini sedang gencar memperjuangkan kesetaraan derajat wanita dengan kaum laki-laki.
Sedangkan Sekaa Gong “Semadhi Yasa” Banjar Dinas Abianjero, berdiri pada tanggal 16 Agustus 1928. Semadhi berasal kata dari Semedhi yaitu meditasi. Sementara kata Yasa adalah pageh atau kuat jadi, sehingga “Semadhi Yasa” dapat diartikan dengan melakukan meditasi suatu organisasi sekaa gong yang anggotanya selalu bermental kuat atau pageh dan tersetruktur untuk mempertahankan seni budaya yang telah dimiliki. “Penabuh yang tampil kali ini merupakan generasi ke 7,” kata kelian Komang Minggu yang didampingi pembina tabuh, I Ketut Darma.
Pada kesempatan itu, Sekaa Gong Ababi, Karangasem yang didukung kurang lebih 75 orang yang merupakan generasi ke 7 dan ke 8. Sekaa gong ini mengawali penampilan dengan Tabuh Pepanggulan “Sasaronan”. Tabuh ini cukup sederhana, sehingga tampak terbentuk suatu tabuh atau gending tanpa memakai struktur yang lengkap. Tabuh ini diciptakan oleh Ida Wayan Ngurah (Alm), seorang komponis musik dan pemain gamelan Bali yang terkenal dari Geriya Jelantik, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem pada 1983. Tabuh pat ini lembali dipentaskan sebagai persyaratan tampil dalam parade gong kebyar legendaris.
Disamping itu, gong legendaris harus menampilkan tabuh-tabuh yang ada ada di Karangasem, bahkan lebih baik yang diciptakan di wilayah diri sendiri. Kalau dari segi hukum tabuh, jajar pageh tabuh dalam hal ini memang tidak lengkap, seperti tabuh-tabuh lainnya. Kalau dari segi sruktur menyajikan pengawit dan pengawak, tetapi tidak ada prinsip, tetapi langsung ke tabuh telu lalu pekaab. “Leluhur kami tidak berani menambah ataupun mengurangi gending. Namun, kali ini ada sedikit penambahan pengawit, sehingga durasinya agak lama dan telihat bagus,” imbuh Ketut Darma.
Penyajian kedua, menampilkan Tabuh dan Tari Candra Kanta. Ide dan konsep garapan tari ini berpola tari palegongan atau tari lepas tetapi bukan murni tari palegongan. Tabuh ini digarap I Wayan Rindi (Alm) dari Banjar Lebah Kota Denpasar pada 1950. Candra berarti rembulan, sedangkan Kanta berarti Permata atau Kristal dengan aneka warna. Maka Candra Kanta berarti Suatu Permata yang berkilau seindah rembulan.
Di Abian Jero dulu, Tari Candra Kanta merupakan tari kreasi, tetapi disebut juga legong. Para pelingsir di Abian Jero bertemu Bapak Rindi di Sanur, maka ada kesepakatan untuk membuat garapan baru. “Saat itu, memang satu satunya sekaa gong yang aktif di Karangasem ada di Abian Jero, sebelum akhirnya berkembang ke daerah-daerah lain di Karangasem. Maka, boleh dibilang Semadhi Yasa” paling tua di Kabupaten Karangasem,” ucapnya.
Penampilan selanjutnya Tabuh Kreasi Kosalya Arini yang diciptakan di Abian Tiying, Bebandem oleh Bapak Berata. Tabuh ini merupakan sebuah konsep tabuh instrumental yang digarap oleh Bapak I Wayan Beratha pada tahun 1969, bersama Sekaa Gong Desa Abian Tiying, Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem. Tabuh Kreasi Kosalya Arini merupakan sebuah tanaman obat-obatan yang diexpresikan kedalam musik gamelan gong kebyar dikemas menjadi sebuah Kreasi Kekebyaran;
Sajian terakhir Tari Widya Karana, sebuah garapan tari menjelang Hari Kesehatan Se-Dunia. Tari ini menceritakan “Tradisi Mebat” kumpulan orang kerja dengan peralatan khas serta berbagai daging bahan lauk dan bahan bumbu ciri khas Karangasem dalam pembuatan lawar. Proses pembuatan ini disebut Mebat atau Ngelawar. Pada saat itu, datang berbagai jenis lalat dan hinggap diadonan lawar yang sedang dibuatnya. Si Tukang Ebat ini mencicipinya, salah satu terjadi musibah sakit perut. Lalu, dicarikanlah obat atu pil menghilangkan sakit perut. *