Hukum  

Masa Jabatan Ketua Umum Partai Politik Dipersoalkan

Para pemohon yang diwakili kuasa hukum Leonardo Siahaan dalam sidang pengujian materiil Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) terhadap UUD 1945. Sidang digelar, Selasa (11/7).

Jakarta (Lokapalanews.com) – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) terhadap UUD 1945. Sidang digelar pada Selasa (11/7/2023) di Ruang Sidang Pleno MK dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Permohonan perkara Nomor 69/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Eliadi Hulu (Pemohon I) dan Saiful Salim (Pemohon II). Pemohon I pernah menjabat sebagai Ketua Umum salah satu organisasi intra kampus sedangkan Pemohon II merupakan Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) periode 2021/2023.

Para pemohon menguji norma Pasal 23 ayat (1) UU Papol yang menyatakan, “Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART”.

Para pemohon yang diwakili kuasa hukum Leonardo Siahaan dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan Indonesia adalah negara hukum maka sudah sepatutnya parpol harus memiliki suatu kejelasan terkait masalah pembatasan masa jabatan ketua umum parpol karena bagaimana pun juga parpol merupakan organisasi yang sangat sentral dan merupakan cerminan dari demokrasi ataupun pilar demokrasi. “Untuk itulah karena parpol merupakan sentral dari sebuah demokrasi untuk itulah partai politik harus bisa mencerminkan pilar demokrasi tersebut,” ujar Leo, dilansir dari laman resmi MK.

Menurutnya, tidak ada kepastian hukum dalam anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) masing-masing parpol mengenai pengaturan pembatasan masa jabatan dan periodesasi ketua umum parpol. Secara ideal dan berdasarkan preseden umum, pimpinan suatu organisasi diberikan kesempatan untuk memimpin selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak.

Para pemohon mendalilkan ketentuan tersebut merugikan hak konstitusional para pemohon yang mempunyai pengalaman sebagai pimpinan dengan kemampuan leadership dan manajemen yang baik dalam berorganisasi. Sehingga para Pemohon memiliki keinginan untuk bergabung menjadi kader atau anggota salah satu parpol yang ada di Indonesia.

Ketiadaan batasan masa jabatan pimpinan parpol menyebabkan kerusakan sistem demokrasi internal dan penyalahgunaan kekuasaan pimpinan terhadap anggota parpol serta menutup ruang partisipasi dan aspirasi anggota dalam pengambilan kebijakan atau keputusan. Apabila nantinya, para pemohon bergabung dalam salah satu parpol sudah pasti akan kehilangan haknya dalam menyampaikan pendapat. Adanya kekuasaan yang begitu besar di tangan ketua umum, berimplikasi pada terciptanya keotoritariatan dan dinasti dalam tubuh parpol. Bukti nyata dapat dilihat pada penentuan Capres dan Cawapres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) yang hanya ditentukan oleh ketua umumnya.

“Saat ini partai politik telah mencerminkan suatu keresahan publik yang seperti kita ketahui saat ini masalah kisruh internal dan sebagainya. Apalagi saat ini sering kali ditemukan beberapa anggota partai politik memiliki beberapa ketua umum partai yang sampai saat ini belum tergantikan seperti PDIP dan Demokrat yang mana sampai saat ini secara tidak sadar mempertontonkan suatu kelanggengan kekuasaan kepada rakyat apalagi dua partai tersebut atau partai politik lainnya memiliki pendukung yang sangat banyak,” jelas Leo.

Selanjutnya jelas Leo, para pemohon memiliki legal standing yang dimana salah satu unsur yang terpenting dalam parpol adalah sumbangan pendapatan dari APBN dan kemudian kita tahu bahwa sumbangan APBN merupakan pajak yang dibayarkan oleh negara. “Ketika ada rakyat yang menjerit dan ingin sekali adanya regenerasi dari partai politik untuk itulah masyarakat dan rakyat tidak mempermasalahkan dan sudah sepatutnya dan sewajarnya menuntut partai politik masalah ketum partai yang tidak memiliki batas waktu berhak untuk direnovasi atau regenarasi,” tegasnya.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, dalam petitum, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 23 Ayat (1) UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART, khusus ketua umum atau sebutan lainnya, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak.

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan para pemohon, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah meminta para pemohon membuktikan bahwa para pemohon mempunyai legal standing. “Gali lagi supaya betul-betul dia mempunyai legal standing dengan berlakunya UU yang diuji ini. Permohonan saudara ini sebetulnya tinggal dirapikan saja, saya lihat ini tidak rapi,” tutur Guntur.

Hal senada dikatakan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pastaki Foekh yang mengatakan dalam permohonan ini legal standing merupakan pintu masuk. Daniel menyarankan para Pemohon agar mengelaborasi hal ini lebih lanjut. “Coba nanti dielaborasi bagaimana mengaitkan ini supaya bisa meyakinkan hakim memiliki legal standingnya,” jelasnya.

Kemudian, sambung Daniel, pada pokok permohonan, para Pemohon dapat mengelaborasi argumentasi lebih baik dan berkualitas terkait dengan keinginan pembatasan ketua umum partai politik. “Ini supaya bisa dielaborasi terutama kerugian konstitusional para pemohon,” terang Daniel.

Wakil Ketua MK Saldi Isra pun menyampaikan saran kepada para Pemohon ihwal legal standing. “Kalau orang baru potensi, anda kan berandai-andai saja tadi karena kemungkinan usia sudah lebih dari 17 tahun akan masuk partai politik, kalau ada UU kedokteran akan menjadi dokter juga kan repot jadinya,” kata Saldi.

Salah satu kunci yang harus diperhatikan kalau kerugian itu sifatnya potensial, yaitu bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. “Jadi andai-andai anda tadi itu harus didukung dengan bukti yang bahwa itu dipastikan akan terjadi. Itu yang tidak anda uraikan sama sekali terkait dengan potensi,” kata Saldi menasihati.

Sebelum menutup persidangan Saldi menyebut pemohon diberi waktu 14 hari. Berkas perbaikan permohonan, baik softcopy maupun hardcopy sudah diterima oleh MK paling lambat pukul 10.00 WIB. *