Kolom  

Ada Asap Ada Api

Oleh I Made Suyasa

SAYA merasa tergelitik untuk membuat tulisan ini setelah mendengar “kisruh” di salah satu perguruan tinggi swasta (PTS) yang saat ini boleh dibilang sedang mengalami masa sulit. Konon, perguruan tinggi tersebut sedang dibidik Itjen Kemendikbud. Hal ini terkait dengan adanya laporan masyarakat yang mengungkap dugaan terjadinya praktik kecurangan dan pelanggaran yang dilakukan PTS tersebut. Mengapa perguruan tinggi tersebut dilaporkan masyarakat, sehingga Itjen Kemendikbud sampai turun tangan dan meminta LLDikti untuk melakukan klarifikasi?

Jika ada laporan masyarakat, langkah awal yang dilakukan adalah melakukan klarifikasi terkait dengan laporan tersebut, apakah laporan itu benar atau cuma fitnah belaka. Hasil klarifikasi ini yang akan dijadikan pedoman oleh Itjen Kemendikbud untuk menindaklanjuti laporan tersebut.

Berdasarkan surat rahasia dari Itjen Kemendikbud yang ditujukan kepada LLDikti yang beredar luas di kalangan civitas akademika, ada dugaan laporan ini dibuat atas kekecewaan masyarakat terjadinya praktik kecurangan dan pelanggaran yang dilakukan oknum pejabat di PTS tersebut. Sudah menjadi rahasia umum, jika ada yang melaporkan, oknum yang diduga melakukan praktik kecurangan tersebut sudah pasti akan berusaha “cuci tangan” dan menyelamatkan diri dan lembaganya agar jangan sampai dijatuhkan sanksi administratif berat.

Berdasarkan penelusuran data yang dilakukan di PDDikti, kuat dugaan ada manipulasi data yang dilakukan. Perubahan mendadak itu dilakukan begitu kasusnya dicium Itjen Kemendikbud. Perubahan data itu sudah tentu tak bisa dilakukan sendirian, namun melibatkan pihak lain. Ini yang harus ditelusuri dan diusut tuntas oleh Itjen Kemendikbud agar kasusnya menjadi terang benderang.

Klarifikasi yang dilakukan pihak terkait, konon juga terkesan setengah hati dan sebatas hanya meminta keterangan dari pejabatnya. Artinya, proses klarifikasi ini tidak dilakukan secara sungguh-sungguh atau melalui proses investigasi misalnya melakukan wawancara dengan pegawai dan mahasiswa yang mungkin saja paham atau mengetahui masalah tersebut. Paling gampang, adalah meminta keterangan operator PDDikti yang tahu seluk beluk masalah tersebut. Andaikan, dilakukan proses investigasi, saya yakin praktik kecurangan itu bisa diungkap dengan gamblang, terlebih dari bocoran surat yang bersifat rahasia yang beredar itu, laporan dari masyarakat itu sudah sangat jelas isinya. Lebih aneh lagi, surat yang bersifat rahasia itu, justru bocor ke mana-mana. Ini artinya ada oknum di instansi lain yang terlibat dan bertindak gegabah. Lantas siapa yang membocorkan? Ini yang harus diusut tuntas.

Dampak bocornya surat yang bersifat rahasia itu, menyebabkan terjadi saling tuding dan menyalahkan. Sasarannya, tentu saja mereka yang dianggap berseberangan dengan kekuasaan. Mereka membuat skenario untuk bisa melacak siapa yang membuat laporan ke Itjen Kemendikbud itu. Bahkan, informasi yang beredar mereka juga melibatkan orang yang dinilai dekat dan memiliki pengaruh di Itjen Kemdikbud untuk mengusut pelakunya. Tak ketinggalan, mereka yang sok mengerti hukum juga sibuk berdebat dan berdiskusi untuk membuat laporan ke polisi, bahkan ada yang sampai melibatkan tim siber untuk bisa melacak pelakunya.

Jika laporan masyarakat menjurus fitnah, mungkin bisa dimaklumi. Bagaimana, jika laporan itu terbukti dan benar, apa yang akan dilakukan? Apakah mereka tidak akan malu nantinya? Patut diduga, mereka juga merupakan bagian dari mafia karena melindungi praktik kejahatan dan kecurangan yang terjadi di perguruan tinggi yang merupakan kawah candradimukanya kejujuran.

Peribahasa lama mengatakan, ada asap tentu ada api. Bagaimana mungkin asap muncul tanpa ada api? Artinya segala sesuatu pasti ada penyebabnya. Mengapa ada laporan masyarakat, ini yang harus ditelusuri dan jika terbukti, pelaku praktik kecurangan ini yang harus diberikan sanksi  tegas agar ada efek jera, bukan meributkan masyarakat yang melaporkan. Sayangnya, seringkali dalam menyelesaikan sebuah masalah, banyak yang salah langkah dan cenderung fokus untuk menutup asapnya bukan memadamkan apinya. Jadilah upaya penyelesaian masalah yang tidak menyentuh subtansi isi. Ibaratnya, asapnya ditutup, namun apinya tetap dibiarkan menyala sehingga asapnya tetap akan muncul.

Solusinya, kita tidak usah meributkan siapa yang melapor karena identitasnya sudah pasti dirahasiakan dan dijamin undang-undang. Sebaiknya, kita fokus siapa yang suka berbuat onar dan melakukan perbuatan curang dan melanggar aturan itu. Saya kira itu tidak sulit untuk melacaknya asalkan memang memiliki komitmen untuk menegakkan kejujuran. Saya yakin, dalam melakukan tindakan yang tidak wajar ini, pasti ada jaminan dari pejabat yang berwenang berupa surat tanggung jawab mutlak. Kalau surat itu ada, pastilah ada proses yang tidak wajar di mana para pejabatnya mempertaruhkan reputasi dan jabatannya untuk membuat kebijakan yang melabrak aturan. Jika sumber dari masalah ini tidak dibereskan, kasus serupa bisa saja akan muncul lagi karena pelakunya merasa aman-aman saja.

Seperti yang kita pahami, perguruan tinggi merupakan institusi yang didirikan dalam upaya menyelenggarakan pendidikan tinggi bagi kalangan masyarakat yang bertujuan menciptakan generasi yang intelektual dan berintegritas. Perguruan tinggi juga memiliki tanggung jawab mendidik mahasiswa agar bertindak jujur dalam setiap tindakan yang dilakukan. Namun, perguruan tinggi juga sering menjadi tempat terjadinya berbagai tindakan fraud atau kecurangan yang dapat dilakukan oleh pejabat tinggi perguruan tinggi, karyawan, dosen maupun mahasiswa.

Tindakan kecurangan yang sering terjadi di perguruan tinggi adalah melakukan manipulasi pelaporan data di PDDikti, ada oknum mahasiswa yang tidak pernah mengikuti kuliah, namun diberikan nilai oleh oknum di perguruan tinggi tersebut dan bisa lulus cepat. Ibaratnya, telah terjadi jual beli ijazah. Kecurangan akademik tersebut dilakukan secara sengaja, tersembunyi dan melawan hukum. Kecurangan yang dilakukan oleh dosen yaitu dengan menawarkan keuntungan kepada mahasiswanya dengan syarat memberikan suatu imbalan tertentu sebagai timbal baliknya.

Praktik kecurangan ini tentu saja sulit diungkap. Mengapa? Pelakunya sudah pasti akan saling melindungi. Banyak kasus kecurangan yang terjadi perguruan tinggi terungkap berkat peran whistleblower. Adanya whistleblower dapat membantu para penegak hukum dalam mengungkap kasus hukum. Pentingnya peran whistleblower ini membuat beberapa lembaga di Indonesia mengembangkan sistem online pelaporan whistleblower, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa (LKPP) termasuk di lingkungan pendidikan yakni Itjen Kemendikbud yang membuka Posko Pengaduan. Whistleblower adalah pelapor atau pengungkap fakta yang tidak terlibat dalam kejahatan yang ia laporkan (bukan termasuk pelaku).

Pada perkembangan terakhir, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah RI Nomor 4 Tahun 2011 memberikan terjemahan whistleblower sebagai pelapor tindak pidana yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Seorang whistleblower seringkali dipahami sebagai saksi pelapor. Orang yang memberikan laporan atau kesaksian mengenai suatu dugaan tindak pidana kepada aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Namun, untuk disebut sebagai whistleblower, saksi tersebut setidaknya harus memenuhi dua kriteria mendasar.

Kriteria pertama, whistleblower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massa diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar.

Kriteria kedua, seorang whistleblower merupakan orang “dalam”, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka seorang whistleblower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok mafia itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal lalu mengungkapkan kejahatan yang terjadi.

Dengan demikian, seorang whistleblower benar-benar mengetahui dugaan suatu pelanggaran atau kejahatan karena berada atau bekerja dalam suatu kelompok orang terorganisir yang diduga melakukan kejahatan, di perusahaan, institusi publik, atau institusi pemerintah. Laporan yang disampaikan oleh whistleblower merupakan suatu peristiwa faktual atau benar-benar diketahui bukan informasi yang bohong atau fitnah. Pada prinsipnya seorang whistleblower merupakan pro-social behaviour yang menekankan untuk membantu pihak lain dalam menyehatkan sebuah institusi/lembaga.

Peran whistleblower sangat besar untuk melindungi negara dari kerugian yang lebih parah dan pelanggaran hukum yang terjadi. Tetapi risiko yang mereka hadapi pun juga besar ketika mengungkap kejahatan, mulai dari ancaman terhadap keamanan sampai dikeluarkan dari instansi tempatnya bekerja, sehingga whistleblower penting untuk dilindungi.

Seperti dalam posko pengaduan yang disediakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang dibuka untuk masyarakat yang memiliki informasi dan ingin melaporkan suatu perbuatan berindikasi pelanggaran yang terjadi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Itjen Kemendikbud tentu memberikan jaminan hukum dan merahasiakan identitas para pelapor karena fokus kepada materi informasi yang dilaporkan. Jika identitas pelapor juga bocor, Itjen Kemendikbud tidak tertutup kemungkinan akan digugat dan dipersoalkan secara hukum. Pengaduan akan ditindaklanjuti jika memenuhi unsur perbuatan berindikasi pelanggaran yang diketahui, di mana perbuatan tersebut dilakukan, kapan perbuatan tersebut dilakukan, siapa yang terlibat dalam perbuatan tersebut dan bagaimana modusnya.

Bentuk perlindungan hukum terhadap whistleblower, seperti dilansir dari Kompas.com adalah UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menjadi dasar hukum perlindungan terhadap whistleblower, terutama perlindungan hukum.

Undang-undang ini menjadi angin segar bagi whistleblower untuk benar-benar mengungkap fakta terjadinya suatu tindak pidana tanpa terbebani oleh kasus hukum yang mungkin menjeratnya karena telah melaporkan tindak pidana. Mengacu pada undang-undang tersebut, whistleblower atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik. Jika terdapat tuntutan hukum terhadap whistleblower atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Undang-undang ini dipertegas oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011. SEMA tersebut menjadi pedoman bagi perlindungan status hukum dan pelaksanaan ketentuan perlindungan hukum whistleblower yang tertuang di dalam UU Nomor 13 Tahun 2006. Berdasarkan SEMA Nomor 4 Tahun 2011, terdapat sejumlah kriteria bagi seseorang agar dapat disebut whistleblower, yakni yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Adapun tindak pidana tertentu yang dimaksud seperti korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana terorganisir yang lain.

Melalui SEMA ini, Mahkamah Agung meminta kepada para hakim agar jika menemukan orang yang dapat dikategorikan sebagai whistleblower dapat memberikan penanganan khusus. Penanganan khusus tersebut, yakni apabila whistleblower atau pelapor dilaporkan juga oleh terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh whistleblower harus didahulukan. *

Penulis adalah Dosen Stispol Wira Bhakti.