Mahasiswa Lintas Agama Tolak Politik Identitas

Sharing sesion terkait toleransi beragama di kalangan mahasiswa dan dialog bersama DPRD Buleleng dalam menyikapi politik identitas menyambut tahun politik 2024 yang digelar oleh Acarya Media Nusantara, Indika Foundation dan Prodi Ilmu Komunikasi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja di Ruang Gabungan Komisi DPRD Buleleng, Sabtu (2/9).

Singaraja (Lokapalanews.com) – Politik identitas menjadi perhatian khusus menjelang tahun politik 2024 mendatang. Isu politik ini memang dikhawatirkan menjadi akar pemecah belah persatuan di Indonesia. Menyikapi hal itu, mahasiswa lintas agama di Kabupaten Buleleng dengan tegas menolak.

Penolakan tersebut di sampaikan di sela sharing sesion terkait toleransi beragama di kalangan mahasiswa dan dialog bersama DPRD Buleleng dalam menyikapi politik identitas menyambut tahun politik 2024. Kegiatan digelar oleh Acarya Media Nusantara, Indika Foundation dan Prodi Ilmu Komunikasi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Sabtu (2/9) di Ruang Gabungan Komisi DPRD Buleleng. Kegiatan dirangkai dalam program Rumah Moderasi Mahasiswa (RMM).

Ketua DPRD Buleleng, Gede Supriatna, S.H menjelaskan politik identitas itu ibarat dua sisi keping mata uang, yang memiliki sisi positif dan negatifnya. Jika dari sisi positif Strategi politik dapat berjalan lebih efektif. Hal ini disebabkan politik identitas mengangkat isu yang menjadi jati diri dari sebuah kelompok sosial di masyarakat.

Dalam praktiknya, pesta demokrasi akan terus diwarnai para aktor politik yang membangun citra diri yang lekat dengan simbol-simbol kultural atau agama. “Kita akan menemukan baliho para kandidat pemilu dengan pakaian, aksesoris, atau pesan-pesan yang mengasosiasikan diri mereka dengan kelompok identitas tertentu,” jelasnya.

Namun, dari sisi negatifnya, dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini terjadi karena bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama. Menggunakan identitas salah satu kelompok di dalam masyarakat dapat menyebabkan pertentangan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya.

“Residu berupa dendam, sakit hati atu kebencian merenggangkan hubungan sosial di masyarakat. Ini yang dikhawatirkan, karena dapat memecah belah masyarakat Indonesia,” imbuhnya.

Supriatna menyebut, Buleleng memiliki kearifan lokal dalam mempererat toleransi dan moderasi beragama serta digunakan untuk menangkal dampak negatif politik identitas. Spirit menyama braya menjadi landasan dalam membina kerukunan antar umat beragama di tengah perhelatan panggung politik.

Mahasiswa, kata Supriatna, bisa menjadi generasi yang melek politik, sehingga bisa mengedukasi minimal di tingkat terkecil yakni keluarga. Harapannya masyarakat makin mengetahui rekam jejak politisi yang mencalonkan baik di tingkat pilpres, legislatif maupun pilkada.

Politik identitas menurutnya ibarat membelah sebatang bambu. Satu sisi diangkat, satu sisinya lagi ditekan ke bawah. Kondisi inilah yang rentan memicu terjadinya perpecahan baik di tingkat elit dan akar rumput.

“Pelajari rekam jejaknya, jangan sampai kita dipecah belah oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Mahasiswa harus melek politik, cerdas dalam menganalisa fenomena politik. Berikan edukasi kepada lingkungan agar tidak mudah dipecah belah,” paparnya

Selain itu, ia juga meminta mewaspadai isu hoax, dan politik uang yang acapkali terjadi di tahun politik. Pria yang menjabat sebagai Sekertaris DPC PDI Perjuangan ini meminta mahasiswa jeli dan menolak politik uang.

“Jangan ambil uangnya, agar tidak ada beban moral untuk memilihnya. Pilihlah pemimpin yang tidak menggunakan uang untuk meraih jabatannya, sehingga mereka memiliki tanggungjawab moral untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.” tutupnya.

Sementara Program Manager Rumah Moderasi Mahasiswa I Komang Agus Widiantara menegaskan literasi politik khususnya politik Identitas penting bagi mahasiswa dalam merespon isu aktual saat ini. Menyambut helatan Pemilu 2024, pihaknya menilai identitas agama menjadi narasi yang rentan digunakan sebagai bahan kampanye. Meskipun dimensi indentitas agama tidak selamanya negatif. “Mahasiswa penting menjadi agenn literasi politik yang menyehatkan di lingkungannya melalui dialog ini. Kita harapkan identitas agama tidak membenturkan dan merusak persatuan,” katanya. *