Ternate (Lokapalanews.com) – Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM, Arif Rahman Hakim menyatakan, dalam upaya mewujudkan UMKM naik kelas, terdapat tiga pendekatan untuk mendeteksinya yakni produktivitas, aksesibilitas, dan intervensi.
“Pertama, sisi pendekatan produktivitas ditekankan dari peningkatan kapasitas usaha dan kinerja usaha. Kedua, pendekatan aksesibilitas terhadap permodalan dari perubahan sumber modal usaha menjadi semakin formal. Ketiga, pendekatan intervensi finansial pemerintah atau government intervention yaitu lulusnya UMKM dari program bantuan pemerintah,” katanya dalam keterangan resminya di Ternate, Minggu (22/10).
Seskemenkop UKM menambahkan, setiap negara memiliki model UMKM Naik Kelas tersendiri. “Belajar dari best practices berbagai negara, setiap negara memiliki kriteria masing-masing terkait definisi UMKM dan definisi UKM naik kelas,” kata Arif.
Menurut Arif, mayoritas UMKM di dunia merupakan perusahaan independen (independent firms) dengan jumlah pekerja kurang dari 50 orang dan ukuran ini berbeda di setiap negara.
“Banyak negara yang mengklasifikasikan UMKM dengan parameter atau kriteria jumlah tenaga kerja tidak melebihi 250 atau 200 orang. Khusus SMEs di AS, jumlah tenaga kerja tidak melebihi dari 500 orang,” kata Arif.
Seskemenkop UKM meyakini berbagai mitra pembina UMKM di Indonesia sudah memiliki perhatian terhadap kriteria UMKM Naik Kelas. Dalam pembinaan UMKM, dibuat klasifikasi kelas yang lebih kecil, bukan hanya berdasarkan aset dan omzet tetapi juga indikator lainnya.
“Indikator tersebut diantaranya menurut Bank Indonesia adalah UMKM digital, UMKM yang terhubung dengan akses pembiayaan, UMKM ekspor, dan UMKM jijau,” kata Arif.
Saat ini, lanjut Seskemenkop UKM, kriteria UMKM naik kelas yang digunakan adalah kenaikan omset dan aset UMKM sebagaimana diklasifikasikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Namun demikian, kenaikan kelas UMKM tersebut dinilai terlalu sulit dicapai mengingat jauhnya rentang omset dan modal antar masing-masing klasifikasi usaha. “Akibatnya, dampak program pemberdayaan UMKM menjadi sulit untuk dipetakan dan kinerja pemerintah sulit dihitung secara kuantitatif,” ungkap Arif. *