Jadi Ajang Promosi Merek, Media harus Antisipasi Ancaman Hoax

Praktisi Komunikasi sekaligus Dosen Komunikasi LSPR Akhmad Edhy Aruman.

Jakarta (Lokapalanews.com) – Media dalam beberapa waktu terakhir tengah diramaikan polemik terkait persoalan lebih baik mana, antara galon air kemasan sekali pakai atau galon isi ulang. Polemik ini tentunya hasrus diantisipasi oleh kalangan media sehingga tidak berujung pada munculnya berita hoaks.

Galon air kemasan yang telah dikenal masyarakat puluhan tahun dianggap lebih ramah lingkungan karena bisa diisi ulang. Dengan demikian, galon isi ulang dianggap tidak menambah jumlah sampah plastik. Di sisi lain, galon sekali pakai diklaim lebih aman karena tidak mengandung BPA

Praktisi Komunikasi sekaligus Dosen Komunikasi LSPR Akhmad Edhy Aruman selaku menuturkan bahwa pada dasarnya air mineral itu tidak ada perbedaan antara Air Mineral Dalam Kemasan (AMDK) yang satu dengan lainnya, yang menjadikan pembedaan karena adanya iklan-iklan yang muncul di media.

“Dalam persaingan air mineral dalam kemasan, misalanya dalam konteks Le Mineral vs AQUA, Le Mineral memunculkan brand yang ada manis-manisnya, sedangkan AQUA melalui iklannya terkesan bisa membikin orang lebih fokus,” kata Edhy dalam keterangan tertulis yang dikutip InfoPublik, Minggu (18/6).

Ia menambahkan, Le Mineral bermain dengan kemasan sekali pakai itu yag membedakannnya dengan AQUA. Konsekuensinya, harus pasang harga dibawah AQUA. Langkah itu pun dinilai masih blum cukup, kemudian Le Minerale mencari diferensiasi yang lain dengan AQUA dan ditemukan bahwa ternyata AQUA mengandung BPA.

“BPA bisa memperkuat kemasan plastik. Kalo plastik nggak ada BPA kemasannya jadi lembek. yang jadi problem, adanya kandungan BPA bisa menimbulkan risiko kesehatan,” ujar Edhy.

Dijelaskan Edhy, AQUA sudah puluhan tahun menjadi market leader, tiba-tiba muncul Le Mineral dengan branding kemasan galon sekali pakai yang lebih ramah lingkungan. Tentu hal ini mengganggu pangsa pasar AQUA.

Le Minerale mencoba menarik perhatian konsumen dengan menekankan aspek kesehatan dari produk mereka. Mereka mengklaim bahwa teknologi galon sekali pakai mereka menyediakan air yang lebih bersih, aman, dan sehat dibandingkan dengan metode pengemasan lainnya.

Le Minerale menggunakan iklan untuk menekankan bahwa mereka menggunakan galon sekali pakai yang diklaim lebih higienis dibandingkan dengan galon yang dicuci ulang. Selain itu, mereka juga mengusung isu potensi bahaya BPA dalam kemasan air minum berbahan polikarbonat yang digunakan oleh AQUA dan merek lainnya.

Sedangkan AQUA, mereka memfokuskan kampanye mereka pada keberlanjutan dan ramah lingkungan, menekankan bahwa galon mereka dapat digunakan berulang kali, sehingga mengurangi sampah plastik.

Aqua menyarankan dalam iklan mereka bahwa penggunaan satu galon mereka, meskipun kebutuhan air mineral cukup banyak, cukup dan ramah lingkungan. Mereka berusaha menunjukkan bahwa pendekatan mereka lebih baik untuk lingkungan dibandingkan dengan galon sekali pakai yang digunakan oleh Le Minerale.

Dalam diskusi media Kelompok Jurnalis Ekonomi Jakarta (KJEJ) bertema Menyikapi Hoax dan Negative Campaign Dalam Persaingan Bisnis AMDK di Jakarta, Kamis (15/6/2023) telah diungkap bahwa Asosiasi Produsen Air Minum Kemasan Nasional (Asparminas) menyebutkan pangsa pasar air minum dalam kemasan (AMDK) produk dalam negeri mengalami peningkatan dalam periode satu tahun terakhir.

Setidaknya, saat ini ada 1.200 pelaku industri air minum dalam kemasan, dengan volume air minum 35 miliar liter per tahun, 2.100 merek dan 7.000 lebih izin edar. Data terbaru yang dikeluarkan Asparminas pada awal 2023 menunjukkan pertumbuhan pasar AMDK galon pada 2022 mencapai angka 4 persen sedangkan pemain besar yang dikuasai investasi asing cenderung stagnan.

Artinya, pemain-pemain menengah dan kecil lainnya di luar pemain besar, telah berhasil melakukan inovasi dan meningkatkan daya saing, sehingga bisa merebut pasar dari pemain besar.

Di balik pertumbuhan AMDK galon yang signifikan tersebut, keberhasilan yang dicapai salah satu brand local dalam merebut pasar market leader berbuah perang komunikasi tiada henti. Termasuk dalam hal isu lingkugan.

Salah satu produsen AMDK galon bahkan dicap tidak peduli lingkungan karena menggunakan galon sekali pakai. Padahal, produk AMDK dalam kemasan galon sekali pakai ini terbuat dari bahan yang terbebas dari BPA kode segitiga no. 1 sehingga aman dikonsumsi. Galon sekali pakai ini hadir untuk memenuhi permintaan konsumen yang menginginkan produk higienis serta bebas pemalsuan.

Galon Le Minerale dinilai lebih higienis karena hanya sekali pakai dan tentunya tersegel, konsumen juga tidak perlu mengembalikan galon tersebut pada penjual. Pada posternya, Le Minerale branding produk dengan klaim 100% Eco Recylable yang terbuat dari bahan yang mampu didaur ulang baik botol maupun tutupnya.

Galon air sekali pakai diklaim lebih aman dan bebas dari bahan berbahaya karena berbahan Polyethylene terephthalate (PET). PET sering digunakan untuk mengemas banyak makanan dan minuman. karena memiliki kemampuan yang baik untuk mencegah oksigen masuk dan merusak produk. Galon atau kemasan plastik sekali pakai bahan PET dengan kode daur ulang “no.1” dapat segera didaur ulang dan menjadi bahanbahan bermanfaat.

Praktisi Media sekaligus Redaktur Pelaksana Validnews, Faisal Rachman menambahkan banyak kasus persiangan usaha yang tak sehat yang menggunakan media massa sebagai arena berperang. Salah satu kasus yang cukup mencuat ke publik adalah persaingan antara produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) antara Aqua VS Le Minerale.

Persiangan usaha yang tak sehat yang menggunakan media massa sebagai arena berperang tentunya lebih “panas” lagi karena adanya media massa yang terkesan media abal-abal.

Menurut Faisal, data Dewan Pers menyebutkan bahwa jumlah media massa di Indonesia saat ini, kurang lebih ada 47.000 media massa. Per Januari 2023, baru sekitar 1.711 perusahaan media di Indonesia yang sudah dinyatakan terverifikasi Dewan Pers dan baru sekitar 14 ribu orang wartawan yang memiliki kompetensi.

“Masih menurut Dewan Pers, dari banyaknya media massa di nusantara, sekitar 79% merupakan media abal-abal dengan berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Akibatnya, masyarakat sering terpapar berita yang tidak benar,hoaks, maupun kampanye negatif. Dengan banyaknya media massa tersebut maka potensi terjadinya masalah dalam pemberitaan juga besar. Termasuk dalam pemberitaan isu AMDK galon yang mencuat dalam beberapa waktu terakhir,” ujar Faisal. 

Belakangan, lanjut Faisal, isu soal lingkungan kembali mencuat di persaingan antara dua merek dagang AMDK itu. Di sinilah, media juga harus cermat memilah alasan-alasan lingkungan yang kerap dilontarkan dalam persiangan usaha.

“Patut diingat, ada praktik Greenwashing yang perlu diwaspadai, agar media tak terjebak ikut mengkampanyekan hal yang keliru,” tegas Faisal.

Dilansir dari Earth.org, greenwashing pada dasarnya adalah ketika perusahaan atau organisasi mengeluarkan lebih banyak usaha untuk memasarkan diri mereka sendiri sebagai “ramah lingkungan” daripada benar-benar meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dari aktivitas mereka.

Singkatnya, Greenwashing adalah metode pemasaran yang “menipu” untuk mendapatkan dukungan dari konsumen yang memilih untuk mendukung bisnis yang peduli terhadap lingkungan.

Akademisi Pascasarjana Universitas Sahid (Usahid) Algooth Putranto mengatakan media massa pada hakekatnya adalah mengkonstruksikan realitas baik itu menggunakan kata verbal maupun non verbal.

Hal ini disebabkan sifat dan faktanya bahwa media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka dari itu media adalah realitas yang dikonstruksikan

Menurut Algooth, terkait isu AMDK galon, baik dilihat dari aspek kesehatan maupun aspek lingkungan hidup, sejauh ini, minim media menyajikan pemberitaan tentang produksi galon isi ulang terbuat dari polikarbonat mengandung BPA secara komprehensif.

Misalnya, jika regulator mengatakan BPA aman selama sesuai SNI. Tanyakan itu SNI kapan? Karena Eropa dan Amerika saja melarang sejak lama.

Jika alasan ekonomis, sajikan fakta bahwa bahan dasar polikarbonat itu sebagian besar impor. Harganya sekitar US$ 4 /kg. Sementara bahan bebas BPA yang cukup tersedia di dalam negeri dengan harga US$ 1/Kg.

Jika alasan lain, misal transportasi jelaskan secara tuntas. Contoh PC relatif keras sehingga mampu bertahan dalam perlakuan keras selama transportasi dan penggunaan berulang.

“Namun, harus saya puji sebagian media juga mulai berimbang memberitakan mudarat PC vs PET (Polyethylene terephthalate),” ujar Algooth.

“Kritik saya kepada media, minim media di Indonesia tuntas membuka nama produsen galon yang masih menggunakan PC mengandung BPA. Jika baca UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers , harusnya tidak perlu takut karena ini kepentingan umum (pasal 3 dan pasal 6). Tentu harus diingat, ada hak jawab dan koreksi (pasal 1) yang harus dihormati media ketika ada pihak yang merasa perlu menggunakan hak tersebut,” lanjut Algooth.

Di era keterbukaan informasi saat ini, dan menjelang tahun politik, sebaiknya berbagai brand menghentikan segala negative campaign berfokus memberikan produk terbaik untuk masyarakat. Sehingga masyarakat dan berbagai stakeholders industry AMDK lainnya tidak dibuat bingung dengan berbagai pemberitaan maupun promosi negative di media massa dan media sosial. *