Hukum  

Seminar Penguatan Komisi Yudisial di Unud, Sudirta Ajak KY Introspeksi dan Perkuat Jaringan

Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta, S.H, M.H, saat diskusi publik di Unud, Kamis (20/7).

Jakarta (Lokapalanews.com) – Komisi Yudisial yang sempat menjadi tumpuan harapan untuk membersihkan peradilan dari ‘’mafia hukum’’, setelah terbentuk melalui UU No. 24 Tahun 2004, rupanya belum tercapai sampai sekarang. Sejak terbentuk setelah UU No. 24/2004 tersebut, Komisi Yudisial mengalami pelemahan dengan dipretelinya beberapa kewenangannya melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Karenanya, pengadilan tak menjadi lebih baik, masih ada hakim yang ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), bahkan di antaranya ada hakim agung di Mahkamah Agung. Padahal, di beberapa negara yang berhasil membenahi peradilannya, peran dan eksistensi Komisi Yudisial adalah satu kenyataan. Karenanya, bila ingin membersihkan peradilan dari mafia hukum yang nyatanya masih ada, diperlukan Komisi Yudisial yang lebih baik, lebih profesional dan lebih berintegritas.

Di pihak lain, Komisi Yudisial yang sekarang ini sudah diperlemah dan dipreteli kewenangannya, tidak boleh berkecil hati, tapi introspeksi kedalam, bagaimana caranya memperkuat lembaga itu, dengan bekerjasama serta bersinergi dengan lembaga lain maupun masyarakat. Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta, S.H, M.H, menyampaikan hal itu dalam Diskusi Publik bertajuk “Penguatan Komisi Yudisial Melalui Advokasi Perubahan Kedua Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial Nomor 22 Tahun 2004 Dalam Rangka Pengembangan Integritas Hakim Tahun 2023” di Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar, Kamis (20/7).

Tampil narasumber lain, Prof. Dr. Johannes Usfunan, SH, MH, dan Binziad Kadafi, S.H., LL.M., Ph.D. selaku Pembicara Kunci dari Komisi Yudisial. Hadir juga Dr. Dewa Gede Palguna, SH, M.Hum mantan Hakim MK dan Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Putu Gede Arya Sumertha Yasa, S.H., M.Hum, Ir. Putu Wirata Dwikora, S.H., dari Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali, dan tokoh dari berbagai elemen seperti advokat, tokoh agama, dan mahasiswa.

Di antara pelemahan Komisi Yudisial adalah; Uji materiil UU No.24 Tahun 2004, Putusan MK No.005/PUU-IV/2006, Pemangkasan Kewenangan Pengawasan KY, Uji materiil MA, SKB tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim No.047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/PKY/IV/2009, Putusan No.36/P/HUM/2011,  Penghapusan butir 8 (Berdisiplin tinggi) dan butir 10 (Profesional), Kriminalisasi Ketua KY (Suparman Marziuki) dan Anggota KY (Taufiqurrahman Syahuri) – oleh pelapor Sarpin Rizaldy (Hakim tunggal pra peradilan Budi Gunawan), Uji materiil MK kedua, UU No.22 tahun 2004, putusan MK No.43/PUU-XIII/2015, Penghapusan Kewenangan Rekrutmen Hakim oleh KY, Uji materiil MK ketiga, UU No.3 Tahun 2009, putusan MK No.53/PUU-XIV/2016, Penghambatan Seleksi Hakim Agung dari jalur hakim non karier, RUU Jabatan Hakim, penolakan dan hambatan dari IKAHI pada prosesnya – hasil Munas IKAHI November 2016, Kriminalisasi Jubir KY (Farid Wajdi) oleh Pelapor Cicut Sutiarso & Syamsul Maarif (Hakim Agung/Ketua PTWP), Gugatan TUN terhadap proses Seleksi Hakim Agung, Register No.270/G/2018/PTUN-JKT, Penghentian proses seleksi dan pemenuhan Hakim Agung hanya dari jalur karier, Uji Materiil UU KY (KY tidak berwenang dalam melakukan seleksi hakim ad hoc) [Pasal 13 huruf a UU KY], Tahun 2022 Uji Materiil UU MK (Komposisi MKMK tidak melibatkan KY dalam unsur MKMK) [Pasal 27A ayat (2) huruf b UU MK].

Sembari memberi saran, Sudirta yang dua periode duduk di DPD RI, menceritakan bahwa beberapa kali DPD RI mengajukan gugatan ke MK untuk memperkuat kewenangannya, semuanya bisa dimenangkan. Diantara strateginya adalah, bekerjasama dengan akademisi dari 38 perguruan tinggi negeri dan swasta dari berbagai daerah di Indonesia untuk mendapatkan masukan akademis, menggalang partisipasi LSM dan masyarakat maupun media, serta pihak-pihak lain. Bahkan mengundang pihak-pihak yang berbeda pendapat, untuk mendiskusikan pemahaman dan perjuangan kita, setidaknya agar mereka memperoleh informasi yang berimbang.
Karenanya, untuk menguatkan kembali peran dan wewenang Komisi Yudisial, Sudirta memaparkan 7 pointer yang penting dimasukkan dalam revisi UU Komisi Yudisial:

Pertama, pengaturan ketentuan mengenai mekanisme perekrutan hakim ad hoc, agar Komisi Yudisial dapat mengambil langkah pro aktif guna memastikan minat para calon hakim dari putra-putri terbaik bangsa dari kalangan akademik atau profesional untuk mendaftar calon hakim, karena di MA sempat mengalami krisis hakim ad hoc, misalnya untuk perkara tindak pidana korupsi dan perpajakan.

Kedua, pengaturan ketentuan mengenai sinergitas dan koordinasi pengawasan antara Komisi Yudisial dan MA secara kolaboratif, termasuk untuk menentukan batasan yang jelas, mana pelanggaran yang termasuk pelanggaran perilaku hakim (misconduct) atau pelanggaran teknis yudisial (legal error) sehingga ada daya pembeda yang dapat dimplementasikan penindakannya (The Line between Legal Error and Misconduct of Judges).

Ketiga, pengaturan ketentuan untuk menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim dengan cara pengaturan sistem tracking, tindak lanjut status (follow up), dan evaluasi (evaluation) atas rekomendasi yang diberikan oleh Komisi Yudisial ke MA, sehingga ketentuan ini akan menjadi salah satu Key Performance Indicator (KPI), yang senantiasa dapat dinilai oleh publik dan para pencari keadilan (Nation Falls When Judges Are Unjust).

Keempat, pengaturan ketentuan untuk meningkatkan kompetensi dan integritas para hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan tinggi dan Hakim Agung yang difasilitasi oleh Komisi Yudisial, tujuannya agar putusan yang dijatuhkan berkualitas untuk menjamin kepastian hukum yang berkeadilan, dengan cara menggali, mengikuti & memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di masyarakat, agar pertimbangan hukum dari putusan (ratio decidendi) menjadi landmark decision, yang nantinya akan menjadi yurisprudensi tetap.

Kelima, pengaturan ketentuan untuk pelatihan kode etik bagi para hakim guna mengadopsi model kasus laporan pengaduan masyarakat yang masuk ke Komisi Yudisial, karena hanya dengan mendengar keluhan masyarakat pencari keadilan, Komisi Yudisial mampu untuk memetakan “pelanggaran terselubung” dari hakim saat mengadili perkara, yang selama ini dikeluhkan oleh masyarakat.

Keenam, pengaturan ketentuan untuk memaksimalkan peran Komisi Yudisial dalam memecahkan permasalahan soal ketentuan sidang atas pelanggaran norma etika yang hanya dilakukan oleh Komisi Yudisial, agar tidak terjadi beberapa putusan etik yang bersifat nebis in idem, serta permasalahan dualisme proses atas pelanggaran norma etik oleh hakim yang berbarengan dengan proses hukum pidana, sehingga proses etik bisa tetap jalan terus tanpa harus menunggu proses hukumnya.

Ketujuh, pengaturan ketentuan untuk mengatur mekanisme pelaporan ke Komisi Yudisial yang lebih terbuka dan mudah diakses oleh publik dan perlindungan yang lebih baik bagi whistleblower atau pihak yang melaporkan dugaan pelanggaran etik oleh hakim.

Selain 7 poin tersebut, floor mengusulkan adanya pengaturan tentang hak imunitas komisioner Komisi Yudisial, agar dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Komisi Yudisial tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan, sepanjang melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan ikhtikad baik. *