Kolom  

Cerita di Balik Surplus Neraca Perdagangan Indonesia

Surplus neraca perdagangan April 2024 mencapai USD3,56 miliar. Komoditas penopang utamanya adalah bahan bakar mineral yang didominasi batu bara serta lemak dan minyak hewan nabati, terutama minyak sawit dan produk turunannya. Foto: Antara.

NERACA perdagangan Indonesia 48 bulan berturut-turut surplus. Tetap tangguh di tengah ketidakpastian ekonomi global. BPS merilis, surplus mencapai US$3,56 miliar. Surplus neraca perdagangan, bukanlah barang baru dalam perekonomian nasional. Dalam 48 bulan terakhir ini, secara berturut-turut, neraca perdagangan Indonesia selalu mencatatkan angka surplus.

Dilansir indonesia.go.id, persisnya sejak Mei 2020 nilai akumulasi surplus mencapai US$157,21 miliar. Saat ini, April 2024 surplus neraca perdagangan mencapai USS3,56 miliar. Komoditas penopang utamanya adalah bahan bakar mineral yang didominasi batubara serta lemak dan minyak hewan nabati, terutama minyak sawit dan produk turunannya.

Merujuk rilis Badan Pusat Statistik (BPS), Rabu (15/5/2024), merilis, neraca perdagangan migas dan nonmigas Indonesia pada April 2024 surplus sebesar US$3,56 miliar. Surplus neraca dagang April 2024 itu terjadi lantaran nilai ekspor lebih tinggi dibandingkan impor.

Nilai ekspor RI pada April 2024 sebesar US$19,62 miliar atau naik sebesar 1,72 persen (year on year/yoy). Meski secara bulanan turun 12,97 persen. Sedangkan impor senilai US$16,06 miliar atau turun 10,6 persen secara bulanan.

Surplus neraca perdagangan itu didorong oleh peningkatan ekspor migas sejalan dengan meningkatnya harga energi global. Di sisi lain, ekspor sektor nonmigas pada April 2024 tercatat sebesar US$18,27 miliar, dengan share terbesar berasal dari ekspor bahan bakar mineral (16,83 persen dari total ekspor nonmigas).

Sementara itu, komoditas logam mulia dan nikel mengalami peningkatan yang signifikan, masing-masing sebesar 70,97 persen (yoy) dan 24,67 persen (yoy), didorong oleh adanya peningkatan harga nikel dan juga peningkatan volume ekspor logam mulia.

Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari–April 2024 tercatat mencapai US$81,92 miliar, dengan share terbesar berasal dari ekspor ke Tiongkok (23 persen dari total ekspor), disusul Amerika Serikat (10,48 persen) dan India (9,01 persen). Ekspor Indonesia ke kawasan ASEAN pada periode yang sama memberikan sumbangan sebesar 17,74 persen.

Impor Indonesia pada April 2024 tercatat sebesar US$16,06 miliar, naik 4,62 persen (yoy), didorong oleh peningkatan impor beberapa komoditas utama, antara lain mesin/perlengkapan elektrik, plastik dan barang dari plastik, bahan kimia organik, serta gula dan kembang gula.

Dari sisi golongan penggunaan barang, kenaikan impor bersumber dari impor barang modal sebesar 13,57 persen (yoy), bahan baku penolong sebesar 3,29 persen (yoy), dan barang konsumsi sebesar 0,56 persen (yoy).

Peningkatan impor ini sejalan dengan kenaikan permintaan konsumsi selama Ramadan dan Lebaran serta terjaganya tingkat inflasi Indonesia dalam rentang sasaran. Peningkatan impor menurut golongan penggunaan barang ini memberikan kontribusi positif dalam mendorong aktivitas manufaktur Indonesia sehingga tetap berada pada zona ekspansif, dengan indeks PMI manufaktur mencapai 52,9 pada April 2024. Secara kumulatif, nilai impor Indonesia Januari-April tercatat US$70,95 miliar.

Waspada Ancaman Global
Indikator positif perekonomian nasional, seperti tergambar dalam neraca perdagangan tersebut di atas, tentu baik-baik saja. Makna lainnya, angka-angka tersebut sebagai fondasi kuat dalam perekonomian nasional, khususnya sebagai kerangka dasar ketahanan ekonomi. Setidaknya bisa memberikan dukungan buat ekonomi Indonesia tetap bisa tumbuh 5% seperti yang terjadi pada kuartal I-2023.

“Meski demikian, kita tetap harus waspada terhadap perubahan kondisi global dan terus memperkuat dukungan kebijakan demi mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu di Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Ke depan, kinerja perdagangan diperkirakan tetap tumbuh positif seiring dengan kinerja volume ekspor yang tetap tumbuh di tengah pemulihan global yang berlangsung stabil namun lambat (IMF, April 2024). Selain itu, keadaan geopolitik yang masih belum stabil dan penurunan aktivitas ekonomi negara-negara mitra utama juga masih perlu diwaspadai dan diantisipasi, karena dapat berdampak terhadap kinerja perdagangan Indonesia.

“Dengan mencermati kinerja perdagangan Indonesia pada April 2024 ini, pemerintah akan terus memantau dampak perlambatan global terhadap ekspor nasional. Selain itu, langkah antisipasi akan terus disiapkan melalui dorongan terhadap keberlanjutan hilirisasi SDA, peningkatan daya saing produk ekspor nasional, serta diversifikasi produk dan mitra dagang utama,” tutup Febrio.

Merujuk rilis resmi Kementerian Perdagangan, sejumlah langkah dijalankan dalam meningkatkan kinerja ekspor. Salah satunya memperkuat kerja sama dengan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Dalam kegiatan Pertemuan Menteri Perdagangan APEC yang digelar di Arequipa, Peru pada 16-18 Mei 2024, bertajuk “Empower Include Grow” itu, delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan dijadwalkan bertemu dengan sejumlah menteri negara mitra dagang, yaitu Selandia Baru, Korea Selatan, Kanada, dan Jepang.

Dalam forum itu pula, Indonesia akan terus menyerukan pentingnya perdagangan multilateral yang digaungkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan inklusivitas kawasan Asia Pasifik. RI juga akan memperkuat kerja sama perdagangan, investasi, dan sejumlah sektor ekonomi lainnya. “Kami juga akan mengikuti pembahasan perkembangan rencana pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas Asia Pasifik (Free Trade Area Asia Pacific/FTAAP),” tutur Mendag.

Surplus Beruntun
Merujuk Deputi Bidang Statistik Perdagangan dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan, sebelumnya, Indonesia pernah mengalami surplus beruntun neraca perdagangan barang. Surplus neraca dagang paling lama terjadi selama 152 bulan berturut-turut sejak Juni 1995 hingga April 2008.

”Kemudian, pada Januari 2016 hingga Juni 2017, neraca dagang Indonesia juga mengalami surplus selama 18 bulan beruntun,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar secara hibrida di Jakarta.

BPS juga mencatat, surplus neraca perdagangan barang selama empat tahun itu disokong surplus nonmigas yang mencapai US$224,15 miliar. Surplus tersebut juga tidak terlepas dari defisit neraca dagang yang sebesar US$66,93 miliar.

Selama 48 bulan beruntun itu, RI mengalami surplus dagang terbesar dengan Amerika Serikat senilai US$54,24 miliar, India US$42,74 miliar, dan Tiongkok US$34,81 miliar. Sementara defisit dagang terbesar dialami RI dengan Australia senilai US$21,35 miliar, Singapura US$18,91 miliar, dan Brasil US$9,64 miliar.

Menarik disimak, sekalipun surplus, ada sejumlah hal yang mesti diperhatikan dalam kinerja ekspor-impor Indonesia. Apalagi, dalam pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) 5,05 persen pada 2023, ekspor bersih—atau ekspor dikurangi impor—hanya menyumbang 0,66 persen. Tahun lalu, ekspor tumbuh 1,32 persen secara tahunan, sedangkan impor tumbuh minus 1,65 persen. *

Penulis: Dwitri Waluyo