Kolom  

Generasi Z dan Judi Online, Tantangan di Era Bonus Demografi 2045

Sebanyak 1.160 anak berusia kurang dari 11 tahun diketahui telah melakukan 22.000 transaksi judi online dengan nilai transaksi sekurangnya Rp3 miliar. ANTARA FOTO/ Yulianus Satria Wijaya.
Menghadapi tahun emas kemerdekaan Indonesia pada 2045, Generasi Z dihadapkan pada tantangan besar meningkatnya kasus judi online di kalangan anak muda. Bonus demografi yang seharusnya menjadi peluang, kini harus dikelola dengan baik agar tidak terjerumus dalam risiko digital. Bagaimana Indonesia mengatasi masalah ini untuk menciptakan masa depan yang cerah?

Tepat 21 tahun ke depan atau pada 2045 nanti bangsa Indonesia merayakan 100 tahun alias satu abad kemerdekaan. Ada banyak persiapan yang sedang dirintis sejak hari ini hingga menjelang perayaan satu abad kemerdekaan. Salah satunya adalah menghadapi bonus demografi, yaitu suatu kondisi di mana jumlah penduduk produktif lebih besar persentasenya dibandingkan penduduk tidak produktif.

Badan Pusat Statistik dalam laporan edisi 2023.01-2 bertajuk “Bonus Demografi dan Visi Indonesia Emas 2045” menyebutkan bahwa proyeksi penduduk produktif, yaitu dalam rentang usia 15–64 tahun pada 2045 mencapai 65,2 persen dari total jumlah penduduk saat itu. Sisanya, sebanyak 34,8 persen adalah penduduk tidak produktif yaitu usia di bawah 14 tahun dan di atas 64 tahun.

Namun, sejumlah tantangan muncul menghadapi bonus demografi pada fase perayaan tahun emas kemerdekaan Indonesia. Salah satunya adalah perkembangan pesat teknologi digital yang berbasis pada internet. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2023 menunjukkan bahwa penetrasi internet telah merambah 79,5 persen dari total 279,3 juta penduduk Indonesia.

Sebanyak 87,02 persen dari penetrasi internet tersebut menyusup kepada kelompok generasi Z atau mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Pada kelompok generasi post-Z atau mereka yang lahir setelah 2013, penetrasi internet merambah sebesar 48,10 persen. Selain itu, sekitar 97 persen dari kehidupan kedua kelompok ini dihabiskan dengan berselancar di dunia maya memakai telepon seluler pintar (smartphone).

Generasi Z dan post-Z adalah salah satu komponen penting dari bonus demografi pada Indonesia Emas 2045. Namun, ada fakta-fakta yang membuat kita merinding jika menengok data terkini yang disampaikan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) terkait pengaruh judi online, salah satu produk negatif dari teknologi digital.

Menurut Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, sebanyak 191.380 anak di rentang usia 17–19 tahun terlibat dalam judi online dengan 2,1 juta transaksi mencapai Rp282 miliar. Mirisnya lagi, sebanyak 1.160 anak berusia kurang dari 11 tahun diketahui telah melakukan 22.000 transaksi judi online dengan nilai transaksi sekurangnya Rp3 miliar.

Kemudian, ada 4.514 anak usia 11–16 tahun melakukan 45.000 tansaksi judi online bernilai total Rp7,9 miliar. “Kami menemukan luar biasa banyak transaksi pada anak-anak terkait judi online. Semua itu anak usia sekolah yang sedang menimba ilmu di bangku pendidikan atau sedang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin masa depan Indonesia,” kata Ivan di Jakarta, Jumat (26/7/2024).

PPATK mencatat, Provinsi Jawa Barat terpantau paling tinggi angka keterlibatan anak pada transaksi judi online. Setidaknya ada 41.000 anak dengan 459.000 transaksi di Jabar yang menghasilkan angka Rp49,8 miliar. Sedangkan Jakarta Barat menjadi kabupaten/kota dengan jumlah anak terbanyak yang perlibat pada kegiatan haram tersebut. Sebanyak 4.300 anak teelah terpapar dan menghasilkan Rp9 miliar lebih dari sekitar 68.000 transaksi.

Ivan menegaskan, keterlibatan anak-anak pada perjudian online merupakan bagian dari ekosistem raksasa judi online yang telah menghasilkan 168 juta transaksi bernilai total Rp327 triliun sepanjang 2023. Sedangkan jika ditarik mundur ke tahun 2017, maka akumulasi perputaran dana dari transaksi jahat judi online telah menembus angka Rp517 triliun!

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati mengungkapkan, sejak 2021–2023 jumlah pengaduan anak korban pornografi dan kejahatan siber kepada pihaknya 481 kasus. Sebanyak 431 kasus lainnya merupakan pengaduan anak korban eksploitasi serta perdagangan anak. Mayoritas dari seluruh kasus tersebut terjadi karena penyalahgunaan teknologi digital serta penggunaan gawai yang tak sesuai fase tumbuh kembang anak.

Program SAPA
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Kementerian Kominfo Usman Kansong menjelaskan, pihaknya telah melakukan beberapa langkah penting untuk melindungi anak-anak Indonesia dari bahaya judi online. Kominfo, ungkap Usman, telah mendeteksi bahwa judi online awalnya berkamuflase sebagai gim daring.

Sejumlah bandar judi online diketahui melakukan tindakan nekat dengan mengkamuflasekan kegiatan mereka menjadi gim daring. Modus tersebut pada akhirnya berpotensi menjadikan anak sebagai korban. Sebab, konten gim daring mengandung perjudian tidak diperkenankan bagi kelompok usia berapa pun termasuk anak-anak.

Usman membagikan beberapa tips agar setiap orang dapat mengetahui apakah gim daring yang sedang dimainkan adalah kamuflase dari judi online. “Jadi ada konten judi online tapi dia mempromosikan diri seolah-olah gim online. Nah, cirinya itu biasanya ada top-up dana dulu untuk bermain dan dijanjikan menang. Itu sudah perlu dicurigai sebagai judi online,” kata Wakil Ketua Harian Pencegahan Satgas Pemberantasan Perjudian Daring itu.

Oleh karenanya, orang tua perlu mengawasi anak-anaknya yang memegang gawai agar tak terjerumus ke dalam judi online. Usman mengungkapkan, melalui Peraturan Menteri Kominfo nomor 2 tahun 2024 tentang Klasifikasi Gim, pihaknya telah meminta kepada para pengembang gim secara mandiri melakukan klasifikasi gim berdasarkan usia. Dimulai dari kategori untuk usia 3 tahun hingga 18 tahun ke atas.

Kominfo juga menggandeng Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) menggelar program ramah anak bernama Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) sebagai wadah pengaduan dan konsultasi orang tua yang anaknya terpapar judi online. Diperlukan keberanian dari si anak untuk berterus terang kepada orang tuanya bahwa dirinya telah terjerumus judi online. Kerja sama serupa dilakukan Kominfo dengan PPATK dan KPAI.

“Baru setelah itu orang tua bisa melapor ke SAPA. Ada hotline juga dan ini termasuk dalam konteks korban judi online. Kementerian PPA siap melakukan atau memberikan konsultasi kepada anak-anak yang terjerumus ke dalam judi online. Kami membuka ruang kerja sama dengan menggalang partisipasi masyarakat luas,” ujarnya.

Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPA, Nahar mengungkapkan perjudian merupakan salah satu kegiatan melanggar hukum. Karena mengakibatkan kerugian finansial, gangguan sosial, dan psikologis yang dapat menimbulkan efek tindak kriminal lanjutan baik bagi orang dewasa maupun anak-anak.

”Aktivitas judi online dapat melibatkan anak sebagai pelaku, korban, saksi maupun anak dari pelaku perjudian. Dari sisi tumbuh kembang anak dan ketahanan keluarga, jika orang tua menjadi pelaku judi online, anak akan berpotensi menjadi korban kekerasan hingga penelantaran. Anak juga bisa menjadi korban stigmatisasi akibat dari aktivitas judi yang dilakukan oleh orang tuanya,” ungkap Nahar.

Selaku Anggota Bidang Pencegahan Satgas Pemberantasan Perjudian Daring, pihaknya telah melakukan upaya di antaranya meliputi internalisasi materi etika digital, literasi digital dan dampak negatif judi online dalam satuan pendidikan. Selanjutnya melakukan serangkaian program sosialisasi, workshop, seminar bagi tenaga pendidik terkait penyebaran pemahaman mengenai bahaya dan kerugian perjudian daring serta layanan konseling di lembaga pendidikan.

Salah satu dampak buruk dari keterlibatan setiap individu, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa terhadap judi online adalah timbulnya kekerasan. Karena itu pihaknya membuka layanan pelaporan kasus kekerasan terutama sebagai dampak terkait judi online. Layanan dapat disampaikan masyarakat melalui call center SAPA di nomor 129 atau WhatsApp 08111-129-129. (sumber:indonesia.go.id)

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari