Adalah nyanjan, sebuah proses pemilihan pemangku melalui proses sakral yang diyakini krama adat Desa Tegalasah Kelod, Tembuku, Bangli. Proses ini diikuti seluruh krama adat dari orang tua, remaja hingga anak-anak akan tangkil ke Pura Puseh.
Sebuah prosesi pemilihan pemangku yang dilakukan dengan secara niskala, di mana pemangku nyanjan akan ketedunan atau keselang Ida Ratu Sesuhunan Pura Puseh. Proses inilah yang menggetarkan jiwa. Pemangku nyanjan akan mengelilingi seluruh krama adat, berkeliling berkali-kali hingga akan terhenti ketika pilihan sudah ditemukan.
Hal inilah yang dialami Dewa Made Swastika Jaya, yang setelah prosesi nyanjan di Pura Puseh, barulah Dewa Made merasakan getaran-getaran dalam tubuh. Badan terasa panas, bahkan merasakan bahwa dirinya sebagai orang lain. Suasana semakin mencekam ketika beberapa remaja putri ketedunan.
“Tiang merasa bahwa diri panas, tiang konsentrasi niki apa yang sebenarnya terjadi. Prosesi yang lama berlangsung itu, tiang merasa kletek di hati tiang, panas di setiap sendi bahkan kuku kaki dan tangan terasa panas. Tiang konsentrasilah sedikit, sambil berkata yening jagi ngerereh jan banggul di Pura Puseh, jeg mangkin pun durusan biar tidak lama, beberapa menit kemudian tiang pun dadekap,’’ ungkap ayah dari Dewa Gde Putra Angga Swastika.
Di saat itu, Dewa Made merasa dunia gelap. Dalam kegelapan, dirinya diajak terbang kearah yang jauh sekali. Sayup-sayup terdengar kerabatnya berkata “iringan, iringan”. Sementara pemangku dan dulu dulu (sebutan Prajuru Adat) dan Bendesa juga menanyakan apakah berkenan ngiring kepada Dewa Made. Pemangku nyanjan yang masih ketedunan juga menanyakan apakah berkenan mengiring Ida Ratu Sesuhunan.
Dengan memejamkan mata dan sambil menanyakan ke dalam hati. “Saat itulah, saya melihat diri telanjang di jalan,” ungkap Dewa Aji Mangku.
Seperti yang sudah sering dialami jika menolak ngiring, maka seringkali nasib tidak beruntung akan menimpa kehidupan seperti kena karma di jalan atau lupa ingatan. Mengingat hal tersebut, Dewa Made pun menerima tugas sebagai jan banggul, pemongmong atau pemangku di Pura Puseh Tegalasah Kelod, Tembuku Bangli. Terlebih ketika mengetahui jawaban dari panas di seluruh sendi, kuku dan tangan saat prosesi nyanjan, adalah api yang dilihat oleh remaja putri yang ketedunan.
Selama dua tahun menjalani tugas sebagai pemangku, Dewa Aji Mangku Puseh demikian biasa dipanggil masih juga menanyakan ke dalam diri, benarkah saya menjadi pemangku? Kenapa saya dipilih padahal ada yang lebih baik dari saya?
Selama proses meyakini diri, Dewa Aji Mangku ditunjukkan sebuah keajaiban dengan bergoyangnya tempat duduk saat melakukan puja. Kemudian ditanyakan kepada pemedek yang tangkil apakah ada gempa? Ternyata tak ada satu pun pemedek yang merasakan gempa berlangsung. Selanjutnya Dewa aji eling sejenak, ternyata secara kasat mata Dewa Aji merasakan bahwa yang diduduki adalah seekor ular. Semenjak saat itulah, Dewa Aji tidak ragu atau bimbang atas amanat yang diembannya.
Melepaskan seluruhnya dengan iklas, pasrah dan menyerahkan kepada kuasa Ida Ratu Sesuhunan, adalah jawaban yang dari setiap permasalahan yang sempat dialami Dewa Aji Mangku. Ekonomi yang sempatnya mendera, perlahan bangkit “Meski tawaran pekerjaan banyak, tiang tidak tergoda, karena tiang yakin beliau akan memberikan sinar suci kepada pengayah-pengayah-nya,” ujar suami dari Dewa Ayu Nyoman Tresna Ariasih. *par