Akhir tahun, 31 Januari 2025, I Made Sariyana (85) telah berpulang, dipanggil kembali ke sunyaloka, sekitar pukul 04.00 Wita, di Rumah Sakit Puri Raharja, Denpasar. Bagi sejumlah aktivis Bali era Orde Baru, sosok Sariyana yang pernah menjadi Perbekel Desa Tonja Denpasar pada tahun 1960-an, tidaklah asing. Kenapa? Karena saat kekuasaan Orde Baru sangat otoriter dan memberangus kebebasan berpendapat dan kemerdekaan berkumpul dan berserikat, Made Sariyana mempersilakan rumahnya di Jl. Nangka Denpasar, menjadi markas organisasi dan LSM yang kritis mengkritik Orde Baru.
Di saat-saat akhir sebelum kepergiannya, Sariyana masih bercengkerama dengan bonsai kecintaannya, di rumah yang asri, sementara anak cucunya menjalani kesibukan masing-masing, baik di Bali maupun di Jakarta, bahkan ada juga cucunya yang berkarier di salah satu bank di negeri Belanda.
Sejak kepergian almarhum, tiap hari tak pernah sepi dari kunjungan penyampaian duka dari kerabat, termasuk sejumlah aktivis semasa Orde Baru, sementara tampak berbagai karangan bunga di rumah duka dari sejumlah tokoh nasional dan daerah seperti mantan Wapres Jenderal TNI Purn. Tri Sutrisno, mantan Kasad dan Menhankam Jenderal TNI Purn. Riyamirzad Riyacudu, Marsekal Madya TNI Purn. Danang Hadi Wibowo mantan Kepala Keuangan Mabes TNI, Dirut BPR Kanti Made Arya Amitaba, MBA, Anggota DPR RI Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H., Ormas KORdEM Bali, Pemuda Hindu Provinsi Bali, Suka Duka Banjar SDHD Bekasi, WHDI Kota Bekasi, dan lain-lain.
I Gede Putu Suta Legawa, S.H., Ketua Umum Pemuda Hindu periode kedua, yang putra almarhum menjelaskan, acara puncak pelebon akan dilangsungkan tanggal 13 Februari 2025 di Setra Badung Kota Denpasar, pukul 08.00 wita.
“Kehidupan almarhum ini sangat sederhana dan bersahaja, tetapi sangat disiplin luar biasa dalam mendidik generasi muda. Istrinya, Bu Made Sariyana, mempersilakan rumahnya menjadi sekretariat ormas kepemudaan seperti Pemuda Hindu, KORdEM (Koalisi Organisasi Non Pemerintah dan Eksponen Masyarakat untuk Demokrasi), LBH Satya Yustisia, termasuk Bali Corruption Watch juga sering numpang rapat di rumah almarhum,’’ kata Dr. Wayan Sudirta, S.H., M.H., pendiri dan ketua ormas Pemuda Hindu Pusat yang pertama, yang sekarang anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan periode kedua. Tahun 2004-2014, Sudirta juga anggota DPD RI, yang deklarasi pencalonannya dilakukan di sekretariat di kediaman almarhum Made Sariyana.
Rumahnya yang juga menjadi kantor LBH Satya Yustisia yang didirikan oleh Pemuda Hindu, dengan beberapa pengacara pada masanya. Ada Putu Alit Bagiasna, SmHk almarhum dan I Ketut Nurja, S.H., almarhum yang setelah reformasi masuk ke PDI Perjuangan, keduanya sempat menjadi Anggota DPRD Bali. Selain Bagiasna dan Nurja, ada I Ketut Bagiada, SH yang pernah duduk sebagai Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan. Sekarang, dibawah naungan ormas KORdEM, didirikan LBH KORdEM Bali dipimpin Ir. Putu Wirata Dwikora, S.H., M.H., dan Wayan Ariawan, S.H. sebagai sekretarisnya.
‘’Kami di keluarga besar Pemuda Hindu, KORdEM, LBH KORdEM, LBH Satya Yustisia, dan berbagai Tim Advokasi yang pernah dibentuk, seperti tim advokasi warga Kerandan-Karangasem, tim advokasi Pengungsi Timor Timur eks Transmigran Bali, tim advokasi penolakan Cagar Budaya Pura Besakih, tim advokasi membela warga Desa Pecatu melawan PT Bali Pecatu Graha, tim advokasi tanah laba Pura Desa Adat Lemukih-Buleleng, dan tim-tim advokasi lainnya. Dan dengan ramah, istri almarhum, Bu Made Sariyana menyuguhkan kopi hangat, pisang goreng dan jajanan lain, dengan sikap penuh keibuan. Sekarang dan di masa akan datang, kami merasa kehilangan sosok sesepuh yang sederhana, tetapi memiliki nyali besar dalam mendukung dan membela sikap-sikap kritis yang didasarkan pada logika dan akal sehat,’’ kata Wayan Sudirta, saat ditemui di rumah duka.
Lanjut Sudirta, almarhum Made Sariyana adalah tokoh dan sesepuh, seperti tokoh macam Ibu Gedong Bagus Oka dan Guru Mangku Subandi, yang bersama-sama menjadi Penasihat Bali Corruption Watch, yang dideklarasikan bersama Teten Masduki pada 17 April 2000.
Nyoman Sutaya, S.H., dan Putu Wirata Dwikora, di antara yang sering berkunjung di masa-masa terakhir sebelum wafatnya almarhum menuturkan, melihat almarhum masih terlihat bersemangat, di depan bonsai kesayangannya.
Putu Wirata menuturkan, di antara sejumlah aktivis yang mengenal ‘’markas perjuangan di Jl. Nangka Denpasar’’ ini, telah memilih jalan pengabdian masing-masing. Ada nama seperti Prof. Dr. IGN Sudiana, M.Si yang mulai menjadi Sekretaris Pemuda Hindu Kota Denpasar mendampingi I Made Raka Suarna, SH sebagai ketua, yang juga pernah menjadi Ketua Panwas Kota Denpasar. Ngurah Sudiana beranjak menjadi Ketua PHDI Bali tiga periode, sekarang Rektor UHN I Gusti Bagus Sugriwa. Ada lagi Nyoman Budi Adnyana, S.H., yang sekarang Ketua PERADI Denpasar; Gede Harja Astawa, SH yang sekarang menjadi Ketua Fraksi Gerindra DPRD Bali, Nyoman Sunarta, SH yang telah mengibarkan bendera kantor hukumnya di kota Singaraja. Lalu Putu Wirata Dwikora, selain memimpin LBH KORdEM, juga menjadi Sekretaris PHDI Provinsi Bali dan pernah Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat 2011-2016.
Sosok almarhum Made Sariyana masih punya sisi unik lainnya. Sebagai ayah dan lelaki yang keras, Made Sariyana yang suka mondar-mandir dalam pergaulan dengan berbagai kalangan, rupanya sosok yang disiplinnya keras dan mendidik siapapun anak-anak, yang pada tahun 1980-an, tinggal di gang yang sekarang bernama Gang Jepun, tutur Made Wiradana, yang sekarang adalah pelukis terkenal dari Sanggar Dewata Indonesia yang menapaki era kemaestroannya.
“Almarhum bahkan pernah mengintervensi pelatih kesebelasan sepakbola di Desa Tonja dengan menginstruksikan pelatihan menurut versinya sendiri, tetapi anehnya dengan gaya melatihnya, kesebelasan itu berhasil menjadi juara. Anak-anak sekolah dalam Gang Jepun, semuanya menjadi juara kelas di sekolahnya, karena didikan Pak Made, yang menggunakan metode bertutur antara lain menceritakan Mahabarata, dan ketika tidak ada tempat berupa bangku dan meja, kami duduk di tangga rumah, menerima pelajaran dari Pak Made,’’ imbuh Wiradana.
Cerita lainnya, putra almarhum, Gede Putu Suta Legawa mengaku cukup kaget mendengar cerita-cerita dari banyak orang, bahwa almarhum ayahnya, sewaktu menjadi Perbekel Desa Tonja di tahun 1960-an, di mana di Bali berlangsung penumpasan orang-orang siapapun yang ‘’dicap merah’’ tanpa proses peradilan, Sariyana yang waktu itu perbekel dan usianya masih 20-an tahun, melindungi warga dari sekitar 10 banjar dari operasi penumpasan, ujar Gede Suta.
“Almarhum memang punya disiplin tinggi dan kesetiakawanan dan solidaritas yang luar biasa. Ketika suatu hari, saudara misan Putu Suta memberikan satu dari tiga sepeda motor yang dia punya, boleh digunakan oleh Putu Suta, almarhum marah besar dan mengembalikan sepeda motor, yang diberikan dengan maksud baik. Rupanya, almarhum bukan tak mampu membelikan sepeda motor, tetapi sedang mendidik anak-anaknya agar kuat, ulet, mandiri, tidak manja,’’ imbuh Wiradana.
Pergaulan Made Sariyana, rupanya memang benar-benar dengan beragam kalangan. Walaupun bertubuh mungil, di masa kedigjayaan kelompok-kelompok preman di Denpasar, almarhum disegani oleh sejumlah tokoh, walaupun ia tidak pernah menjadi populer. Namun, bagi sejumlah aktivis kritis di masa Orde Baru, seperti Wayan Sudirta, Prof. IGN Sudiana, Nyoman Budi Adnyana, Putu Wirata Dwikora, Ketut Bagiada, termasuk almarhum Putu Alit Bagiasna dan Ketut Nurja, Gede Harja Astawa, sosok almarhum Made Sariyana meninggalkan kenangan dan kontribusi penting dalam perjuangan para aktivis. Kata mereka, bila nanti ditulis buku untuk mendokumentasikan perjuangan jaringan Pemuda Hindu dan tim advokasi lain yang dibentuknya, hendaknya nama almarhum Made Sariyana beserta istri dan keluarganya yang telah banyak berkontribusi, harus dicatat secara obyektif dalam buku tersebut. *R102