Polri belakangan ini kembali ditimpa isu dan permasalahan yang berdampak negatif terhadap citra Polri. Tingkat kepercayaan dan kepuasan publik terhadap Polri memang sedang menurun akibat dari berbagai permasalahan yang terjadi, dari kekerasan, penggunaan senjata api, pungutan liar, hingga tes narkoba. Terakhir mengenai intimidasi terhadap salah satu band (pegiat seni) yang dalam lagunya menyuarakan kritik terhadap Polri. Permasalahan ini sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi. Permasalahan terkait dengan kriminalisasi terhadap pelaku kritik terhadap pemerintah, termasuk Polri juga seringkali mengemuka.
Kita masih ingat dengan beberapa kasus terkait yang pernah terjadi. Pada kasus jurnalis Tempo yang sedang mewawancarai pejabat pajak yang terkena kasus korupsi, namun mendapat penganiayaan dari anggota Kepolisian. Pada saat itu, kasusnya justru terhambat dan masyarakat pada saat itu menilai bahwa Polri justru melindungi anggotanya dan membungkam para kritikus terhadap institusinya. Selanjutnya, di Kalimantan Timur pada tahun 2020, seorang mahasiswa yang menyindir kepolisian dengan meme “polisi tidur” justru mendapat proses hukum (UU ITE) dan dipenjara selama beberapa bulan. Masyarakat saat itu justru menilai bahwa Polri menjadi anti-kritik.
Contoh selanjutnya, pada kasus AKBP Brotoseno yang saat itu menghadapi kasus korupsi, Polri mendapat kritik karena diketahui masih belum memecat AKBP Brotoseno padahal telah diputus bersalah. Namun, para pegiat anti korupsi justru mendapat ancaman hukum. Demikian pula pada kasus Ferdi Sambo, terlihat banyaknya rekayasa dari oknum tertentu untuk mengaburkan fakta dan melindungi aparat yang menyimpang.
Contoh-contoh lain terkait dengan upaya oknum Polri untuk melindungi anggotanya maupun melakukan kekerasan, intimidasi, atau kriminalisasi juga terjadi di beberapa wilayah. Pada kasus di Palu, yang sampai ke Komisi III DPR, terjadi sebuah permasalahan tewasnya tahanan di Polres Palu. Komisi III DPR saat itu menindaklanjuti dengan memanggil Kapolda Sulawesi Tengah dan Polres Palu untuk menginvestigasi permasalahan tersebut. Pada saat itu penyidik dan Dokkes Polres Palu mencoba untuk menghindari fakta bahwa terjadi kekerasan. Namun setelah mendapat pemeriksaan dari Propam Polda Sulteng, belakangan diketahui bahwa korban meninggal karena mengalami kekerasan, bukan karena penyakitnya. Hal ini menghebohkan masyarakat, walaupun di satu sisi, terlihat adanya keterbukaan dari pihak Kepolisian.
Fenomena tersebut memang menjadi sejenis cobaan untuk Polri, meskipun kita harus mengakui juga bahwa Polri telah merespon dan menindaklanjuti permasalahan tersebut secara lebih baik. Ketua Komisi III DPR RI menyatakan bahwa Polri masih menjadi mitra kerja yang paling responsif dalam menindaklanjuti permasalahan masyarakat yang disampaikan oleh Komisi III DPR RI. Pengalaman tersebut mungkin menjadi sebuah pembelajaran bagi Polri yang selalu dirudung dengan sentimen masyarakat dan komen negative di berbagai media. Tagar no viral no justice atau percuma lapor polisi dan lain sejenisnya pernah memberikan efek kepercayaan publik yang rendah kepada Polri. Komnas HAM dan Ombudsman RI juga pernah menyampaikan bahwa Polri menjadi institusi yang paling sering mendapat aduan. Polri kemudian berbenah diri dengan membuka berbagai hotline atau media pengaduan masyarakat terhadap profesionalitas Polri seperti Dumas Presisi.
Namun seiring dengan peningkatan keterbukaan dan responsivitas tersebut, Polri masih mendapatkan permasalahan yang timbul dari pelanggaran/kesalahan atau penyalahgunaan kewenangan oleh oknum anggota Polri, yang kemudian mencoreng nama institusi Polri. Terakhir, dengan kejadian intimidasi terhadap pegiat seni Sukatani yang melantunkan lagu “bayar bayar bayar” yang menyinggung institusi Polri. Lagu tersebut berisikan salah satunya dengan mengkritik bahwa perlu “bayar” jika berurusan dengan polisi. Namun tak berselang lama, para personil kemudian menyampaikan permohonan maaf. Belakangan diketahui, permohonan maaf tersebut timbul diduga akibat intimidasi dari oknum anggota Polda Jawa Tengah yang kemudian viral. Alhasil, Kapolri dan Polda Jateng memeriksa dua orang oknum tersebut dan menjadikan mereka sebagai duta Polri.
Sentimen negatif tersebut juga menunjukkan bahwa perlakuan aparat tersebut hanya bisa terkuak jika sudah meluas (viral) di media atau diketahui oleh masyarakat luas. Hal ini tentu saja membuat citra Polri kembali menurun. Dari berbagai pengalaman yang terjadi terlihat adanya pola umum yang digunakan Polri dalam dalam menangani kritik. Pertama melalui kriminalisasi (UU ITE) yang dilakukan terhadap orang yang mengkritik di media sosial. Kemudian ada juga penggunaan kekerasan terhadap mahasiswa atau aktivis, atau melakukan perlindungan terhadap anggotanya jika sudah terekspos dalam berbagai kasus, termasuk dengan menutup-nutupi proses hukumnya.
Namun begitu, kita juga tidak menutup mata bahwa Polri telah mencoba untuk mengoptimalkan fungsi pengawasannya (Propam) dalam menindaklanjuti pelanggaran atau aduan terhadap anggotanya. Misalnya dengan membuka pengaduan (Dumas Presisi), aturan pengawasan melekat, hotline pengaduan Polri, pelatihan internal untuk pelindungan HAM, dan berbagai cara-cara humanis dan persuasif dalam menghadapi demonstrans. Walaupun begitu, konsistensi dan transparansi masih menjadi pekerjaan rumah untuk membenahi Polri.
Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Polri untuk meningkatkan profesionalitas dan keterbukaan adalah dengan membuka media yang lebih baik untuk seluas-luasnya membuka akses masyarakat terhadap aduannya, penggunaan bodycam untuk pengawasan dan akuntabilitas yang melekat, penguatan Kompolnas untuk mendukung responsivitas dan transparansi penanganan pengaduan masyarakat, dan tentunya perbaikan regulasi baik di tingkat UU sampai dengan Peraturan Kapolri dan SOP. Dengan demikian, Polri memiliki SOP untuk menghadapi kritik atau aduan, sekaligus menghormati Hak Asasi Manusia. Polri dapat diwajibkan untuk mengikuti pelatihan anti-kekerasan, penggunaan soft approach atau pre-emtif, hingga melaksanakan ketentuan terkait seperti KUHAP dan Perkap dalam pelaksanaan kinerjanya. Serta yang terpenting tentunya adalah pelaksanaan reformasi kultur secara konsisten di Polri.
Reformasi kultur di Polri di sini dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalitas dan integritas Polri pada sistem tata kelola organisasi dan SDM-nya. Budaya akuntabilitas, non-represif, dan profesionalisme kerja perlu dibangun secara konsisten dan kontinyu dengan membangun sebuah sistem tata kelola SDM yang terukur dan meritokrasi yang adil. Pembenahan harus dilakukan dari sistem rekrutmen, pelatihan, pengawasan, hingga evaluasi kerja harus dibangun secara terbuka, transparan, dan adil/obyektif. Dengan pembangunan sistem tersebut, maka Polri akan memiliki citra terbuka dan transparan dan berdampak positif pada kredibilitasnya. *
*Penulis adalah Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan