Jakarta (Lokapalanews.com) – Sebuah temuan mengejutkan dari Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng, Bali, mengungkap fakta pahit: lebih dari 400 siswa tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di wilayah tersebut ternyata belum mampu membaca dan mengeja. Kondisi ini sontak menuai keprihatinan mendalam dari berbagai pihak, termasuk Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, dalam keterangan persnya yang disampaikan, Rabu (9/4) menyatakan bahwa fenomena ini merupakan sinyal bahaya yang tidak boleh diabaikan. Menurutnya, ketidakmampuan ratusan siswa SMP dalam membaca adalah indikasi adanya permasalahan mendasar dalam sistem pendidikan yang memerlukan penanganan segera dan komprehensif.
“Kita tidak bisa mentolerir satu pun anak bangsa kehilangan hak fundamentalnya untuk bisa membaca. Literasi adalah fondasi utama dari seluruh proses pembelajaran. Ketika kita mendapati 400 anak di jenjang SMP masih kesulitan membaca, ini jelas menunjukkan adanya mata rantai yang terputus dalam sistem pendidikan kita, dan ini harus segera kita benahi,” ujar Hetifah, dilansir Parlementaria.
Lebih lanjut, politisi dari Partai Golkar ini menekankan bahwa situasi yang terjadi di Buleleng seharusnya menjadi peringatan keras bagi seluruh daerah di Indonesia. Ia meyakini bahwa potensi permasalahan serupa bisa saja terjadi di berbagai wilayah lain, namun belum terdeteksi secara sistematis akibat minimnya pelaporan dan evaluasi literasi yang menyeluruh dan akurat.
Hetifah mendesak pemerintah daerah bersama dengan kementerian terkait untuk segera melakukan pembaruan data kemampuan literasi siswa secara nasional. Pembaruan data ini diharapkan mencakup seluruh jenjang pendidikan, termasuk madrasah dan pendidikan non-formal, sehingga potret literasi bangsa dapat tergambar dengan lebih jelas.
“Kita memerlukan pendekatan yang lebih personal dalam proses pembelajaran, menerapkan pembelajaran yang berdiferensiasi sesuai dengan kebutuhan individual siswa, serta melakukan intervensi dini yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari guru, psikolog pendidikan, hingga pendamping khusus,” jelasnya.
Selain itu, Hetifah juga menyoroti perlunya pengkajian ulang terhadap regulasi mengenai kewajiban naik kelas. Menurutnya, regulasi yang ada saat ini berpotensi menutupi fakta bahwa masih banyak siswa yang belum menguasai kompetensi dasar yang seharusnya mereka miliki.
Sebagai bentuk komitmen, Komisi X DPR RI menyatakan kesiapannya untuk terus mendorong kolaborasi lintas sektor dan mendukung kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk mempercepat peningkatan literasi di seluruh pelosok negeri. Dukungan ini akan diwujudkan melalui kebijakan yang dapat menjangkau langsung sekolah-sekolah yang memiliki kebutuhan khusus dalam hal peningkatan kemampuan literasi siswa.
Hetifah berharap agar kasus yang terjadi di Buleleng ini dapat menjadi momentum refleksi secara nasional untuk melakukan pembenahan yang menyeluruh dan berkeadilan terhadap pendidikan dasar di Indonesia. Ia menekankan bahwa isu ini bukan hanya menjadi perhatian Buleleng semata, melainkan menyangkut masa depan pendidikan Indonesia secara keseluruhan.
“Ini bukan sekadar persoalan Buleleng. Ini adalah cerminan wajah masa depan pendidikan Indonesia. Kita harus bergerak cepat dan bersinergi. Komisi X DPR RI siap untuk mendorong sinergi antar lembaga dan mengawal isu ini secara serius,” pungkas Hetifah. *R104