Ketika Mimpi Mencerdaskan Bangsa Terbentur Realita Gaji yang Memilukan

Sang Mentari yang biasanya menyambut dengan kehangatan, terasa begitu terik dan membakar semangat Wayan hari itu. Namun, di balik senyum ramahnya kepada mahasiswa, tersimpan bara kepedihan yang kian membara. Wayan, seorang dosen muda di salah satu perguruan tinggi swasta, baru saja menerima slip gaji bulanannya. Angka yang tertera di sana, lagi-lagi, terasa seperti tamparan keras di tengah perjuangannya.

Made, rekan sejawat Wayan yang lebih senior, seringkali hanya bisa menghela napas panjang setiap kali topik gaji mencuat di antara mereka. Dengan dua orang anak yang masih bersekolah, Made harus memutar otak lebih keras untuk menutupi kebutuhan keluarga. Uang yang diterimanya setiap bulan nyaris habis hanya untuk biaya makan sehari-hari, belum lagi biaya transportasi, listrik, dan kebutuhan tak terduga lainnya. Mimpi tentang rumah yang layak atau sekadar liburan keluarga tampak semakin menjauh.

Nyoman, satu lagi sahabat Wayan dan Made di kampus, bahkan harus mengambil pekerjaan sampingan sebagai penerjemah lepas di malam hari demi menyambung hidup. Kantung matanya yang menghitam dan seringnya terlihat lesu di ruang dosen menjadi pemandangan yang lumrah. Semangatnya untuk berbagi ilmu dengan mahasiswa seringkali terkalahkan oleh kelelahan fisik dan pikiran yang terus berkecamuk memikirkan bagaimana esok hari ia bisa menyediakan makanan di meja makan.

Mereka bertiga, Wayan, Made, dan Nyoman, adalah potret buram dari ironi dunia pendidikan. Mereka adalah para pendidik, pilar-pilar yang seharusnya menopang generasi penerus bangsa dengan ilmu pengetahuan dan inspirasi. Namun, kenyataannya, mereka justru terjerat dalam lingkaran kesulitan ekonomi yang mencekik. Gaji yang jauh dari kata layak membuat mereka merasa seperti korban perbudakan modern, terikat pada pekerjaan yang mereka cintai namun tak mampu memberikan kehidupan yang manusiawi.

Seringkali, Wayan melihat tatapan penuh harap dari mata mahasiswanya, semangat mereka untuk belajar dan meraih masa depan yang lebih baik. Hatinya teriris. Bagaimana mungkin ia bisa menularkan semangat dan harapan itu jika dirinya sendiri merasa terhimpit dan tak berdaya? Ia ingin fokus pada penelitian, mengembangkan materi ajar yang inovatif, namun pikirannya selalu terdistraksi oleh tagihan yang menanti dan perut yang terkadang terasa perih karena harus berhemat.

Made pernah mencoba mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan, namun hatinya terlalu terpaut pada dunia akademis. Ia merasa memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan anak bangsa. Namun, pengorbanan itu terasa semakin berat ketika ia melihat anak-anaknya merindukan sesuatu yang lebih dari sekadar nasi dan lauk sederhana.

Nyoman, di tengah kesibukannya menerjemah di larut malam, seringkali merenung. Apakah ini jalan hidup yang ia impikan? Menjadi seorang pendidik yang dihormati, namun harus berjuang mati-matian hanya untuk sekadar bertahan hidup. Rasa frustrasi dan keputusasaan terkadang menghantuinya, namun ia selalu berusaha untuk tidak menunjukkannya di depan mahasiswa.

Di balik keindahan Pulau Dewata yang memukau wisatawan, tersimpan cerita pilu tentang para pejuang pendidikan seperti Wayan, Made, dan Nyoman. Mereka adalah saksi bisu tentang bagaimana dedikasi dan pengabdian seringkali tidak dihargai dengan sepantasnya. Mereka adalah korban dari sistem yang seolah-olah membutakan diri terhadap kesejahteraan para pendidik, padahal merekalah yang sesungguhnya sedang membangun masa depan bangsa, setahap demi setahap, dengan ilmu dan kesabaran, di tengah himpitan ekonomi yang menyayat hati. Kisah mereka adalah pengingat yang pedih, bahwa kualitas pendidikan tidak akan pernah bisa terwujud sepenuhnya jika para pendidiknya sendiri hidup dalam kesulitan. *yas

Lokapalanews.com adalah salah satu media online di Indonesia hadir dengan sajian informasi yang aktual, informatif, inspiratif, dan mencerahkan di tengah derasnya aliran informasi yang tak jelas kebenarannya.