Gelombang kasus kekerasan seksual yang terus menerjang lingkungan kampus di Indonesia adalah alarm darurat yang tak bisa lagi diabaikan. Terungkapnya kasus demi kasus, termasuk yang melibatkan oknum dengan posisi terhormat seperti guru besar, bukan hanya mencoreng citra institusi pendidikan, tetapi juga merusak masa depan dan kesehatan mental para korban. Ini adalah fenomena sistemik yang membutuhkan respons komprehensif dan bukan sekadar tindakan reaktif setelah kejadian.
Mengapa kampus, yang seharusnya menjadi ruang aman untuk menimba ilmu dan mengembangkan diri, justru menjadi arena terjadinya kekerasan seksual? Beberapa faktor kompleks berkontribusi pada situasi ini. Pertama, relasi kuasa yang timpang antara dosen dan mahasiswa, atau bahkan antara mahasiswa senior dan junior, menciptakan kerentanan. Kedua, budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat seringkali meremehkan atau menyalahkan korban, membuat mereka enggan melapor. Ketiga, kurangnya mekanisme pelaporan yang aman, mudah diakses, dan terpercaya semakin memperburuk situasi. Keempat, sanksi yang diberikan kepada pelaku seringkali tidak memberikan efek jera yang signifikan.
Berbagai penelitian dan laporan dari organisasi seperti Komnas Perempuan menunjukkan bahwa angka kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi jauh lebih tinggi dari yang terlaporkan. Stigma, rasa malu, takut akan pembalasan, dan kurangnya kepercayaan pada sistem menjadi tembok penghalang bagi para korban untuk mencari keadilan. Implikasi dari kekerasan seksual bagi korban sangatlah mendalam dan beragam, mulai dari trauma psikologis, depresi, kecemasan, hingga kesulitan dalam belajar dan berinteraksi sosial.
Upaya pencegahan kekerasan seksual di kampus harus dilakukan secara multidimensi dan melibatkan seluruh elemen komunitas akademik. Langkah pertama adalah pendidikan dan sosialisasi yang berkelanjutan mengenai isu kekerasan seksual, kesetaraan gender, dan persetujuan. Kurikulum pendidikan tinggi perlu mengintegrasikan materi ini agar mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan memiliki pemahaman yang sama dan sensitif terhadap isu ini. Kampanye-kampanye yang kreatif dan inklusif juga penting untuk membangun budaya kampus yang menolak segala bentuk kekerasan seksual.
Kedua, pembentukan dan penguatan mekanisme pelaporan yang aman, anonim (jika diinginkan korban), dan mudah diakses adalah krusial. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) yang dibentuk di berbagai kampus harus memiliki sumber daya yang memadai, anggota yang terlatih, dan independensi dalam menjalankan tugasnya. Proses pelaporan harus transparan dan berpihak pada korban, dengan jaminan perlindungan dan pendampingan psikologis serta hukum.
Ketiga, penegakan aturan dan pemberian sanksi yang tegas dan adil kepada pelaku adalah esensial untuk memberikan efek jera dan menunjukkan bahwa kampus tidak mentolerir kekerasan seksual. Sanksi tidak hanya berupa pemecatan, tetapi juga harus mempertimbangkan proses hukum pidana agar keadilan bagi korban dapat ditegakkan secara menyeluruh. Perguruan tinggi harus berkolaborasi dengan aparat penegak hukum untuk memastikan pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal.
Keempat, penyediaan layanan dukungan dan pemulihan bagi korban adalah tanggung jawab kampus. Unit konseling dengan psikolog profesional yang memiliki keahlian dalam penanganan trauma akibat kekerasan seksual harus tersedia dan mudah diakses oleh korban. Dukungan sebaya (peer support) dan jaringan survivor juga dapat menjadi sumber kekuatan dan pemulihan bagi korban.
Terakhir, transparansi dan akuntabilitas dari pihak pimpinan perguruan tinggi dalam menangani kasus kekerasan seksual sangat penting untuk membangun kepercayaan. Informasi mengenai kebijakan, mekanisme pelaporan, dan hasil penanganan kasus (dengan tetap menjaga privasi korban) perlu diumumkan secara terbuka. Evaluasi berkala terhadap efektivitas upaya pencegahan dan penanganan juga perlu dilakukan untuk perbaikan berkelanjutan.
Kasus-kasus kekerasan seksual di kampus adalah tragedi yang tidak boleh terus berulang. Ini adalah momentum bagi seluruh stakeholder pendidikan tinggi untuk melakukan introspeksi, berbenah, dan mengambil tindakan nyata. Kampus harus menjadi ruang yang benar-benar aman, inklusif, dan memberdayakan bagi seluruh civitas akademika. Kegagalan dalam melindungi mahasiswa dari kekerasan seksual adalah kegagalan dalam menjalankan amanah pendidikan itu sendiri. Saatnya bertindak, bukan hanya berbicara, demi masa depan generasi penerus bangsa yang lebih baik dan berkeadilan. *
*Tim Satgas PPKPT Stispol Wira Bhakti