Ara, sapaan akrabnya, menegaskan bahwa angka tersebut adalah batas maksimal pendapatan, bukan minimal. Artinya, masyarakat dengan pendapatan di bawah Rp14 juta tetap bisa mengakses program rumah subsidi.
“Ini batasan penghasilan, bukan syarat minimal,” jelas Ara di kantor Kementerian PKP, Jakarta, Rabu (16/4). Ia menyayangkan kesalahpahaman yang terjadi di masyarakat.
Sebelumnya, batas penghasilan maksimal untuk MBR adalah Rp7 juta (lajang) dan Rp8 juta (keluarga). Ara menilai angka ini sudah tidak sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini.
“Dengan Rp7 juta, bagaimana bisa mencukupi kebutuhan keluarga?” tanya Ara. Ia ingin memperluas kesempatan masyarakat untuk memiliki rumah layak huni.
Ara berencana merevisi batas penghasilan MBR. Ia akan berdiskusi dengan Menteri Hukum untuk membahas perubahan regulasi.
Usulan ini sempat menimbulkan polemik di media sosial. Banyak yang salah mengartikan bahwa gaji minimal Rp14 juta adalah syarat mutlak.
Ara menegaskan bahwa tujuannya adalah mempermudah akses rumah subsidi bagi lebih banyak masyarakat. Kebijakan ini pro-rakyat, bukan sebaliknya.
Pemerintah berupaya menyediakan hunian yang layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Revisi batas penghasilan diharapkan dapat mewujudkan tujuan tersebut.
Kementerian PKP terus mengkaji dan mengevaluasi kebijakan rumah subsidi. Masukan dari masyarakat sangat penting dalam proses ini.
Ara berharap, dengan penjelasan ini, kesalahpahaman di masyarakat dapat diluruskan. Program rumah subsidi adalah untuk membantu MBR memiliki rumah impian.
Pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program perumahan yang tepat sasaran.
Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat secara luas. *R101
