Ungkapan keramat, “Beri dia kekuasaan, maka akan kelihatan karakter aslinya,” bukan sekadar nasihat usang, melainkan pisau bedah psikologis yang menguliti kepalsuan di balik jubah kehormatan. Kekuasaan, ibarat lampu sorot tanpa ampun, memaksa setiap bayangan tersembunyi untuk menampakkan diri. Ia adalah ujian pamungkas, di mana retorika muluk runtuh dan watak sejati akhirnya bertelanjang.
Ketika kekuasaan berada dalam genggaman, rantai kepatuhan eksternal yang selama ini mengikat, perlahan mengendur, memberikan kebebasan fatal untuk menari mengikuti irama ego sendiri. Di ruang tanpa pengawas inilah, topeng kesantunan seringkali dilempar ke sudut ruangan, memperlihatkan wajah asli yang mungkin penuh perhitungan, kerakusan, atau bahkan kekejaman yang selama ini disembunyikan di balik senyum palsu.
Keputusan-keputusan yang diambil di puncak kekuasaan adalah proklamasi tanpa suara tentang prioritas sejati. Ketika kepentingan publik dikorbankan demi lumbung pribadi atau kroni, aroma busuk keserakahan tak lagi bisa disembunyikan di balik dalih “kebijakan strategis.” Kekuasaan yang seharusnya menjadi jembatan kemakmuran bagi semua, justru menjelma menjadi palang pintu yang hanya menguntungkan segelintir elite, sementara mayoritas rakyat terus terperosok dalam jurang ketidakadilan.
Integritas diuji bukan lagi dalam skala kecil, melainkan dalam pusaran godaan yang maha dahsyat. Kekuasaan adalah medan ranjau etika, di mana setiap langkah yang salah dapat menjerumuskan ke dalam jurang korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Mereka yang bermental lemah akan dengan mudah terperdaya oleh bisikan setan kekuasaan, menukar prinsip dengan kemewahan semu dan kehormatan dengan kenikmatan sesaat.
Kekuasaan adalah pelucut ilusi. Ia memaksa individu untuk berhenti bermain peran. Kelembutan palsu menguap, digantikan oleh arogansi yang membutakan. Janji-janji manis mengering, meninggalkan kekecewaan pahit. Di balik kekuasaan, seringkali bukan kebijaksanaan yang bertumbuh, melainkan kesombongan yang membengkak, meruntuhkan jembatan komunikasi dengan rakyat yang seharusnya mereka layani.
Tanggung jawab yang diemban oleh pemegang kekuasaan adalah neraca keadilan. Mereka yang berkarakter kerdil akan berusaha sekuat tenaga untuk mengalihkan kesalahan, mencari kambing hitam, dan bersembunyi di balik retorika defensif. Sementara itu, mereka yang memiliki integritas akan berdiri tegak, mengakui kesalahan, dan berusaha untuk memperbaikinya, menyadari bahwa kekuasaan sejati terletak pada kemampuan untuk bertanggung jawab, bukan untuk mendikte tanpa konsekuensi.
Maka, janganlah kita terpukau oleh gemerlap kekuasaan atau terbius oleh kata-kata indah yang terucap dari bibir para penguasa. Tataplah tindakan mereka, perhatikanlah pilihan-pilihan yang mereka buat ketika tidak ada lagi yang mengawasi. Sebab di sanalah, di balik tirai kekuasaan yang megah, karakter asli mereka akan menampakkan diri, seringkali lebih buruk dari yang pernah kita bayangkan. Dan ketika topeng akhirnya terlepas, bukan hanya wajah buruk yang terlihat, tetapi bangkai moral yang selama ini mereka sembunyikan pun akan tercium baunya. *yas