Jakarta – Praktik pungutan tak lazim terhadap pengemudi transportasi berbasis aplikasi menuai kecaman keras dari Anggota Komisi V DPR RI, Adian Napitupulu. Ia mengungkapkan, pengemudi ojek online (ojol) dibebani biaya berlangganan harian agar bisa mendapatkan order, di luar potongan komisi yang sudah ada.
“Untuk dapat order mereka bayar lagi Rp20 ribu per hari. Sudah mereka bayar (langganan), lalu konsumen memesan dipotong lagi persentasenya minimal 20 persen sampai 50 persen. Pernah nggak kita lakukan audit investigatif untuk keuangan ini?!” ujar Adian dalam Rapat Dengar Pendapat bersama para pengemudi ojol di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Rabu (21/5/2025).
Politisi PDI-Perjuangan itu menilai praktik “berlangganan order” ini tidak manusiawi. Pengemudi harus membayar prioritas order, sementara penghasilan mereka terus ditekan oleh aplikator.
“Mereka bayar untuk dapatkan order prioritas (biaya ini) di luar potongan. Kejam sekali! Yang selama ini terpublikasi ‘potongan-potongan’. Tidak! Ada biaya layanan dan biaya jasa aplikasi dan ada beli order,” tegas Adian, disambut riuh tepuk tangan pengemudi yang hadir.
Ia menambahkan, jika pengemudi tidak membayar biaya langganan tersebut, mereka akan kesulitan mendapatkan order atau pesanan.
Adian menyarankan, Indonesia perlu mempertimbangkan sistem langganan tetap seperti yang sudah diterapkan di negara lain, agar pengemudi tidak terus-menerus “diperas”.
Sebagai contoh, di India, saat ini tidak ada lagi potongan komisi, melainkan pengemudi berlangganan aplikasi dengan potongan tetap.
Lebih lanjut, ia mengkritik lemahnya peran negara dalam mengawasi dan mengatur skema pungutan ini, seolah menutup mata terhadap pungutan tanpa dasar hukum.
Meskipun peraturan mengenai potongan bagi aplikasi sudah tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KP 1001 Tahun 2022, namun untuk biaya lainnya belum memiliki dasar hukum yang jelas.
Adian mengkritik pemerintah yang dinilainya membiarkan terjadinya pembebanan biaya lainnya tanpa dasar hukum dan berlangsung selama bertahun-tahun. “Kita sepertinya hidup bernegara tanpa negara,” ujarnya.
Ia juga menolak alasan aplikator yang menyebut bahwa pungutan semacam itu juga berlaku di luar negeri. “Peristiwa di negara lain itu bukan dasar hukum di Indonesia,” tegasnya.
Sebagai penutup, Adian meminta DPR RI untuk membahas isu ini secara menyeluruh, tidak hanya fokus pada nominal potongan komisi.
“Bagaimana mereka memungut sesuatu dari rakyat dalam jumlah banyak tanpa dasar hukum dan bagaimana kemudian mereka diminta membeli ordernya ke aplikator,” tutupnya.
Sebelumnya, ribuan mitra pengendara ojek online dan taksi online di berbagai kota melakukan demonstrasi besar pada Selasa (20/5/2025) lalu, menuntut penurunan potongan aplikasi menjadi 10%, kenaikan tarif, penerbitan regulasi pengantaran makanan/barang, penentuan tarif bersih, dan UU Angkutan Online Indonesia. *R105