Di balik tembok-tembok kampus yang megah, di mana idealnya ilmu pengetahuan mekar, sebuah praktik busuk tumbuh subur: jual beli skripsi. Ini bukan lagi rahasia, melainkan pemandangan terang-terangan yang diperankan oleh para mahasiswa, seolah bangga dengan ijazah hasil instan. Praktik haram ini bahkan telah menjelma menjadi industri terstruktur, dengan alumni dan oknum dosen sebagai dalang di baliknya, menyasar mahasiswa penerima beasiswa dan mereka yang sibuk bekerja.
Lina (bukan nama sebenarnya), mahasiswi tingkat akhir di sebuah PTS, tak malu-malu mengakui bahwa skripsinya adalah hasil membeli. “Awalnya saya pusing sekali. Dosen pembimbing susah ditemui, topik sulit, sementara saya juga harus bekerja untuk bantu orang tua,” ujarnya dengan nada lelah. “Terus ada kakak kelas, alumni sini juga, menawarkan jasa pembuatan skripsi. Katanya dia punya tim, bahkan ada dosen juga yang ikut bantu koreksi.”
Lina mengaku mengeluarkan jutaan rupiah untuk skripsinya. Uang itu didapat dari sisa uang saku KIP dan sebagian dari hasil kerjanya paruh waktu. “Saya merasa bersalah, tapi waktu itu saya buntu. Teman-teman juga banyak yang begitu,” imbuhnya, suaranya pelan.
Senada dengan Lina, Cempaka (bukan nama sebenarnya), mahasiswi dari jurusan berbeda, juga mengakui hal yang sama. “Saya beli dari kakak kelas, dia alumni juga,” kata Cempaka terus terang. “Katanya dia memang buka jasa ini sudah lama, dan banyak yang pakai. Prosesnya cepat, sekitar satu bulan sudah jadi. Nanti kita tinggal hafal-hafal materinya buat ujian skripsi.”
Cempaka menjelaskan bahwa jaringan alumni ini sangat rapi. Mereka memiliki “tim” yang terdiri dari mahasiswa dan bahkan ada dugaan oknum dosen yang terlibat dalam proses penyusunan skripsi. “Biasanya kita ketemu di luar kampus, di kafe atau kosan. Mereka jelaskan mekanismenya, terus kita tinggal pilih topik yang mau, atau mereka sediakan stok topik yang sudah ada,” bebernya.
Pengakuan Lina dan Cempaka menguak fakta mengerikan: praktik jual beli skripsi ini bukan hanya sekadar kecurangan individu, melainkan sebuah konspirasi terorganisir. Alumni, yang seharusnya menjadi teladan bagi adik-adik tingkatnya, justru menjadi perpanjangan tangan “pabrik” skripsi. Lebih ironis lagi, dugaan keterlibatan oknum dosen semakin menancapkan borok di jantung pendidikan. Bagaimana mungkin garda terdepan integritas akademik justru menjadi bagian dari kebobrokan ini?
Para makelar skripsi ini secara sengaja menyasar mahasiswa yang rentan, seperti penerima KIP yang memiliki uang saku atau mereka yang sibuk bekerja. Tekanan ekonomi dan akademik menjadi celah empuk untuk menawarkan jalan pintas yang berujung pada ijazah palsu.
Masa Depan yang Digadaikan
Praktik jual beli skripsi adalah pengkhianatan terhadap ilmu pengetahuan. Skripsi, yang seharusnya menjadi bukti kematangan berpikir dan kemampuan riset mahasiswa, kini sekadar komoditas yang diperjualbelikan. Ini adalah simulacra: penampilan tanpa substansi. Mahasiswa yang “lulus” dengan cara ini, sejatinya memegang ijazah kosong, bukan dalam bentuk fisik, tapi dalam esensi pengetahuannya.
Apa jadinya nasib bangsa jika para sarjananya adalah hasil dari kecurangan sistemik? Bagaimana mereka akan bersaing di dunia kerja yang menuntut kompetensi riil, bukan sekadar gelar kosong? Ini adalah bom waktu yang siap meledak, menghancurkan fondasi sumber daya manusia kita.
Mengapa fenomena ini begitu marak dan menjadi rahasia umum, namun tak ada tindakan tegas yang berarti? Apakah ada pembiaran sistematis? Apakah ada kekuatan besar yang melindungi “pabrik-pabrik” skripsi ini?
Ini adalah tamparan keras bagi dunia pendidikan. Integritas kampus sedang dipertaruhkan. Jika praktik ini terus dibiarkan, maka kita sedang mencetak generasi penipu, bukan generasi pembaharu. Saatnya bagi semua pihak, dari rektorat hingga kementerian, untuk membuka mata dan bertindak. Jika tidak, borok ini akan terus menganga, membusukkan masa depan bangsa dari dalam. *