Tren  

Ketika Ego Bermahkota Duri, Mengungkap Topeng Pemimpin Otoriter di Era Digital

Di era serba terhubung ini, linimasa media sosial seharusnya menjadi panggung interaksi yang sehat dan konstruktif. Namun, ironi kerap kali mencuat, terutama ketika seorang pemimpin – sosok yang seharusnya menjadi teladan dan pengayom – justru meracuni ruang digital dengan status bernada ancaman dan sindiran pedas. Lebih mengkhawatirkan lagi, perilaku ini berlanjut di ruang rapat, tempat ide dan kolaborasi seharusnya tumbuh subur, malah diwarnai intimidasi dan penolakan mentah terhadap kritik. Fenomena ini bukan sekadar “karakter unik” seorang individu, melainkan alarm merah bagi kesehatan mental dan dinamika kelompok yang dipimpinnya.

Mari kita telaah lebih dalam, berbekal pisau analisis psikologi yang tajam. Perilaku pemimpin yang gemar menebar ancaman dan sindiran di media sosial, sambil menunjukkan resistensi akut terhadap kritik, kuat mengindikasikan adanya narsisme patologis. Menurut American Psychiatric Association dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), individu dengan gangguan kepribadian narsistik menunjukkan pola grandiositas (dalam fantasi atau perilaku), kebutuhan akan kekaguman, dan kurangnya empati. Status-status bernada ancaman dan sindiran bisa menjadi manifestasi dari keyakinan superioritas dan upaya untuk mempertahankan citra diri yang rapuh dengan merendahkan orang lain. Penolakan terhadap kritik, bahkan yang membangun sekalipun, adalah tameng ego yang terluka, karena kritik dianggap sebagai ancaman terhadap keagungan yang mereka yakini.

Lebih jauh, kebiasaan berbohong dan penggunaan ancaman dalam forum formal seperti rapat, mengarah pada kemungkinan adanya ciri-ciri kepribadian antisosial. Individu dengan tendensi ini seringkali menunjukkan pola pengabaian dan pelanggaran hak orang lain. Kebohongan menjadi alat manipulasi, sementara ancaman adalah wujud dominasi dan kontrol.

Dr. Robert Hare, seorang pakar psikopati, dalam karyanya “Without Conscience: The Disturbing World of the Psychopaths Among Us,” menyoroti bagaimana individu dengan ciri psikopatik (yang memiliki korelasi dengan kepribadian antisosial) seringkali lihai dalam memanipulasi dan tidak memiliki penyesalan atas tindakan merugikan orang lain. Rapat yang seharusnya menjadi ruang diskusi konstruktif, di tangan pemimpin seperti ini, bertransformasi menjadi arena kekuasaan yang menakutkan.

Penting untuk diingat bahwa kepemimpinan yang sehat bertumpu pada kecerdasan emosional dan kemampuan regulasi diri. Daniel Goleman, dalam bukunya yang berpengaruh, “Emotional Intelligence,” menekankan pentingnya kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, dan pengelolaan hubungan dalam kepemimpinan yang efektif. Pemimpin yang reaktif, defensif, dan gemar mengancam jelas menunjukkan defisit dalam area-area krusial ini. Mereka gagal mengelola emosi negatifnya secara konstruktif dan alih-alih melampiaskannya kepada orang lain, menciptakan lingkungan kerja yang penuh tekanan dan ketidakpercayaan.

Ironisnya, di era transparansi digital, jejak-jejak perilaku “beracun” ini terekam jelas. Status-status di Instastory dan WhatsApp menjadi saksi bisu betapa seorang pemimpin gagal menjadi contoh yang baik. Alih-alih menginspirasi dan memotivasi, mereka justru menabur ketakutan dan kekecewaan. Ini bukan hanya masalah etika, tetapi juga masalah efektivitas kepemimpinan. Tim yang dipimpin oleh sosok otoriter dan manipulatif cenderung tidak inovatif, tidak termotivasi, dan rentan terhadap turnover karyawan yang tinggi.

Sebagai penutup, fenomena pemimpin dengan “ego bermahkota duri” ini adalah pengingat yang keras bahwa kekuasaan tanpa kebijaksanaan dan kematangan emosional adalah bom waktu. Organisasi atau komunitas yang dipimpin oleh individu seperti ini akan sulit mencapai potensi maksimalnya dan berisiko mengalami kerugian yang lebih besar dari sekadar hilangnya kepercayaan. Sudah saatnya kita sebagai anggota tim atau masyarakat lebih kritis terhadap perilaku pemimpin dan berani menyuarakan ketidaknyamanan. Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu menerima kritik, belajar dari kesalahan, dan membangun lingkungan yang aman dan suportif bagi semua orang – bukan mereka yang bersembunyi di balik topeng kekuasaan dan menebar teror digital maupun verbal. *

Lokapalanews.com hadir sebagai salah satu media daring terpercaya di Indonesia dengan informasi tajam, terpercaya, mencerahkan!