BELUM lama ini iseng membuat status di WhatsApp yang isinya bercanda. Beragam komentar teman-teman yang membaca status di WA saya. Ada yang tertawa dan senyum-senyum saja, karena dianggap bercanda, namun ada juga yang serius menanggapi. Mereka meng-capture isi status tersebut secara diam-diam dan mengirimkan ke orang lain.
Belakangan saya juga dapat kabar, staf di salah satu lembaga, ada yang selalu mengikuti isi status saya dan melakukan capture atau screenshot isi status WA saya. Untuk apa? Mungkin saja mereka berniat untuk membenturkan saya dengan orang lain.
Isi status di WA boleh disebut sebagai “buku harian” unek-unek yang biasanya tidak tersampaikan di dunia nyata. Sayangnya, dari postingan itu ada saja yang mudah tersinggung dan merasa “tersengat”. Padahal, postingan tersebut sebenarnya bukan sindiran dan tidak ditujukan untuk dirinya. Kalau saya tidak suka dengan isi status WA seseorang, biasanya langsung diblokir atau dibisukan, bukan malah mengikuti dan mengintipnya kemudian melakukan capture dan screenshot untuk dikirim ke orang lain dengan tujuan adu domba agar isi statusnya dipersoalkan.
Ingat, di dunia ini bukan hanya kita saja yang memiliki masalah dengan satu hal yang sama. Harus dipahami, saat kita membaca sebuah postingan yang menyentil masalah, bukan berarti mereka sedang menyindir kita. Bisa jadi mereka sedang menyindir orang lain yang masalahnya (kebetulan) sama dengan masalah kita. Jadi jangan baper, geer dengan postingan orang lain di media sosial. Di samping itu, bahasa tulisan dengan bahasa komunikasi secara langsung tentu saja sangat berbeda, meski menggunakan kalimat yang sama. Sebuah kalimat postingan media sosial yang mereka tulis dengan bercanda, bisa saja akan dianggap sebagai sebuah sindiran atau hinaan jika dianalogikan negatif. Jadi tetapkan pikiran agar selalu positif.
Pada prinsipnya hak privasi secara implisit terkandung di dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai berikut: Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Mahkamah Konstitusi memberikan terjemahan atas Article 12 UDHR. Dalam terjemahan tersebut, kata “privacy” diterjemahkan sebagai “urusan pribadi/masalah pribadi” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 28G UUD 1945: Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya, atau hubungan surat-menyuratnya, dengan sewenang-wenang, juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan-gangguan atau pelanggaran seperti ini.
Sanksi pelanggaran hak privasi yang dimaksud perlu dilihat lagi secara kasuistis, seperti dalam bentuk apa perbuatan tersebut dilakukan. Misalnya dalam kasus capture isi status di WA. Kita tidak boleh sembarangan meng-capture isi status tersebut, kecuali nama orang atau mereka yang ter-capture sudah mengizinkan. Aturan mengenai capture percakapan yang berisi data pribadi diatur dalam Pasal 26 ayat 1 Undang-undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kita tentu pernah melakukan screenshot atas obrolan di aplikasi pesan WhatsApp, Line, atau di aplikasi media sosial macam Instagram dan Facebook. Hati-hati jika kita hendak menyebarluaskan screenshot percakapan, karena apa yang dilakukan itu berpotensi melanggar aturan yang berlaku di Indonesia. Melanggar atau tidak melanggarnya di sini tergantung dari isi pesan pada screenshot tersebut. Jika screenshot itu mengandung data pribadi seseorang, maka si penyebar berpotensi melanggar pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 19/2016 tentang Perubahan atas UU No. 11/2008 tentang ITE).
Pasal 26 ayat 1 pada UU ITE menyebutkan, “Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan, penggunaan, setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.” Kemudian di ayat 2 menjelaskan, “Setiap orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.”
Menyebarkan isi pesan yang sifatnya personal atau mengandung data pribadi lewat media elektronik, adalah hal yang dilarang. Jika isi pesan itu disebarluaskan kepada pihak ketiga, maka harus ada persetujuan dari orang yang terlibat dalam komunikasi tersebut.
Apabila seseorang merasa dirugikan karena data pribadinya disinggung dalam publikasi screenshot yang disebar oleh lawan bicaranya, ia bisa memperkarakan si penyebar ke pengadilan melalui hukum perdata. Si penggugat bisa meminta ganti rugi lewat jalur pengadilan perdata, asalkan punya bukti yang cukup kuat adanya data pribadi yang disalahgunakan atau disebarluaskan tanpa izin dirinya.
Maksud dari data pribadi itu sendiri dijelaskan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik. Data pribadi dijelaskan adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.
Sementara data perseorangan tertentu adalah setiap keterangan yang benar dan nyata yang melekat dan dapat diidentifikasi, baik langsung maupun tidak langsung, pada masing-masing individu yang pemanfaatannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Data pribadi menyangkut soal hal-hal yang seharusnya dikontrol oleh pemiliknya untuk tidak bisa dikonsumsi oleh publik. Melakukan capture status seseorang tanpa izin bisa menyebabkan terjadinya hal yang tidak diinginkan seperti pem-bully-an terhadap orang yang statusnya di-capture atau bisa jadi yang meng-capture memang sengaja ingin mengadu domba atau ingin mencari keributan dengan tujuan ingin memanas-manasi atau memancing di air keruh dari suatu peristiwa yang terkait dalam status yang di-capture-nya.
Jika kita akan men-share, seharusnya juga berlaku sopan santun, harus minta izin dulu apalagi jika statusnya itu bisa memancing keributan. Tapi itulah dunia maya kadang tidak semua orang mau menerima aturan itu. bahkan ada yang sengaja share atau capture status seseorang untuk menjatuhkan orang tersebut. Inilah dunia sosial media yang harus diterima dengan segala risikonya.
Kesadaran etika dalam dunia maya memang harus dijunjung tinggi oleh orang-orang yang memakainya. Jika itu mengandung data pribadi, alangkah bijak jika data tersebut tidak dipindahtangankan secara semena-mena. Namun, jika hal itu terjadi, maka pemilik data bisa mengajukan ganti kerugian ke pengadilan perdata.
Jadi ketika kita bermedsos dan membaca isi status WA seseorang, jangan kepo, baper dan lebay, karena postingan dan status orang di WA itu ada yang serius, bercanda. Jadi jangan pernah sok tahu, menilai dengan sudut pandang sendiri, memvonis menghukum status dan postingan orang lain. Nikmati saja dengan santai, rileks dan pokoknya jangan suka kepo. Kalau tidak suka, lebih baik diblokir atau dibisukan ketimbang cari masalah apalagi kalau sampai berurusan dengan hukum.
Sikapi dengan bijak, kalau yang baik boleh diambil hikmahnya, yang tak bermanfaat boleh dibuang dan biarkan saja berlalu. Gitu aja kok repot!
Penulis adalah Dosen Stispol Wira Bhakti.