Hukum  

Tiga Motif Hakim Lakukan Pelanggaran Kode Etik

Anggota Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata saat menjadi narasumber dalam podcast MiHCaST milik Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila.

Jakarta (Lokapalanews.com) – Anggota Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata mengungkapkan, operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sejumlah aparat pengadilan dan hakim agung mencoreng integritas lembaga peradilan. Penyebab pelanggaran kode etik seperti menerima suap, terjadi karena ada tiga kemungkinan motif mengapa hakim melakukan pelanggaran tersebut.

Pertama, motif personal yang berhubungan dengan moral dan integritas. Kedua lingkungan terkait lingkungan kerja dan lingkungan sehari-hari. Terakhir, mekanisme pengawasan di mana KY dan Mahkamah Agung (MA) berperan penting. Pihaknya tidak yakin korupsi dan suap terjadi karena gaji hakim yang rendah. Karena sebenarnya gaji hakim itu sudah sangat bagus.

“Yang banyak kurang itu soal jaminan kesehatan, rumah dinas, dan keamanan. Sebenarnya penghasilan hakim agung itu sudah sangat bagus. Ada gaji, tunjangan, fasilitas, sampai insentif penanganan perkara. Jadi sebenarnya faktor penghasilan bisa dikesampingkan,” beber Mukti, dalam keterangan tertulis dikutip dari InfoPublik, Kamis (10/8).

Menurut Mukti, untuk menjadi hakim harus sudah selesai dengan urusan duniawi, memegang prinsip “membatasi diri”. Secara universal, prinsip pembatasan diri (self restraint) ini berlaku terutama untuk hakim. Bahkan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) ada soal prinsip rendah hati. Hakim dengan metafora Wakil Tuhan tentu harus menjaga perilaku. Mukti selalu menyampaikan kepada para hakim, untuk memiliki niat yang benar. Ia juga berpesan bahwa ada konsekuensi standar sosial yang tidak sama dengan masyarakat biasa.

“Kekayaan hakim tidak diukur pada berapa banyak harta yang dikumpulkan, tetapi pada berapa putusan yang memuaskan rasa keadilan dalam masyarakat. Tidak bisa dipungkiri pengaruh lingkungan akan memengaruhi sosok hakim. Oleh karena itu, hakim harus berintegritas,” tegas Mukti saat menjadi narasumber dalam podcast MiHCaST milik Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila.

Lanjut Mukti, masih banyak hal yang dilakukan untuk membentuk hakim yang bermartabat, kredibel, dan berkeadilan. Dimulai dengan melakukan tugas dan wewenang KY seoptimal mungkin, termasuk menguatkannya melalui RUU KY.

“Itu yang perlu dipahami. Bahwa ketika KY menjalankan tugasnya atau menguatkan kewenangannya, tujuannya semata-mata agar hakim bermartabat, kredibel, dan berkeadilan. Jadi, dukungan dan penguatan KY sebenarnya merupakan dukungan untuk hakim agar kredibel,” katanya. *